Jakarta (ANTARA News)- Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, termasuk jenis bahan pangan yang beraneka ragam mulai dari beras, jagung, singkong, ubi, garut, ganyong, sukun sorgum maupun sagu.

Sejak jaman nenek moyang dahulu, komoditas pangan yang tumbuh dihampir seluruh wilayah tanah air tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai makanan utama atau pokok mereka, sesuai dengan daerahnya.

Jagung umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Madura, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebagai makanan pokok, sagu menjadi makanan utama warga Maluku dan Papua, sedangkan daerah lain di Indonesia ada yang memanfaatkan umbi-umbian untuk pangan pokoknya.

Namun mulai dasawarsa 1970an pemerintah mulai mengenalkan beras sebagai makanan pokok di Indonesia, termasuk ke wilayah-wilayah yang pangan utamanya dari komoditas paliwija dan umbi-umbian.

Perlahan tapi pasti, upaya pemerintah untuk memasyarakatkan beras sebagai makanan utama bangsa Indonesia akhirnya berhasil dan kini komoditas pangan tersebut telah merambah ke dapur-dapur masyarakat di seluruh Tanah Air.

Namun ironisnya keberhasilan tersebut membawa dampak menyedihkan bagi pangan non beras yang telah bertahun-tahun menjadi makanan utama justru semakin dipinggirkan oleh beras.

Kini konsumsi beras masyarakat Indonesia bahkan menduduki posisi tertinggi dibanding negara-negara ASEAN lainnya yakni mencapai 139kg/kapita/tahun sementara di tingkat dunia rata-rata hanya 60kg/kapita/tahun.

Menurut Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi, jumlah itu termasuk konsumsi nasi atau lontong atau ketupat, di rumah, di restoran, di warung. Selain itu ada juga dalam bentuk snack seperti lemper, bacang, arem-arem atau industri olahan seperti kue-kue dari tepung beras.

"Kalau konsumsi dalam bentuk nasi saja mencapai sekitar 105 kg/kap/tahun. Bandingkan dengan rakyat di negara-negara pemakan nasi seperti Jepang sekitar 70kg/kapita/tahun, China sekitar 90-100kg/kapita/tahun," katanya.

Dari data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, konsumsi (pangan) orang Indonesia cukup baik, misalnya untuk ketentuan standar energi perhari itu 2000 kilokalori per orang per hari kita tahun 2008 itu sudah 2038 kilokalori per orang perhari.

Termasuk juga untuk protein standar ketentuannya 52 gr per orang per hari, tahun 2008 sudah di atas itu 57,43 gr per orang per hari.

Namun dilihat dari keragamannya terlihat konsumsi pangan masyarakat Indonesia kurang beragam, misalnya beras yang tadinya porsi terhadap karbohidrat di tahun 1954 hanya 53,5 persen, tetapi 2008 sudah 86,6 persen peranannya terhadap karbohidrat masyarakat Indonesia.

Porsi jagung untuk kebutuhan karbohidrat turun drastis, dari tahun 1954 yang mencapai 18,9 persen, pada tahun 2008 hanya 0,7 persen. Justru yang terlihat meningkat adalah terigu, pada tahun 1954 masih 0 persen pada waktu itu orang Indonesia belum makan terigu, tapi tahun 2008 sebesar 6,3 persen.

Besarnya konsumsi per kapita terhadap beras itu membuat tekanan kebutuhan beras nasional sangat tinggi, apalagi menurut Bayu konsumsi beras seluruh Indonesia perhari saja sudah sekitar 100 ribu ton.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mengungkapkan pada era tahun 1950-60-an ketergantungan pangan masyarakat Indonesia pada nasi atau beras masih sebesar 53 persen, namun kini ketergantungan itu semakin tinggi hingga 92-95 persen.

Ketergantungan yang tinggi terhadap beras tersebut mengakibatkan konsumsi beras masyarakat Indonesia per tahunnya mencapai 34 juta ton, sementara produksi sedikit di atas konsumsi kurang lebih diperkirakan tahun ini 38 juta ton.

Memang, produksi padi selama tiga tahun terakhir meningkat. Namun pertumbuhan produksi rata-rata hanya mencapai 4,49 persen. Dengan pertumbuhan produksi itu, Indonesia mencapai surplus beras berturut-turut 2,367 juta ton (2008), 3,895 juta ton (2009), dan 4,322 juta ton (perkiraan 2010).

Namun pada kenyataannya setiap tahun pemerintah melalui Perum Bulog masih harus mengimpor beras bahkan akhir tahun ini BUMN itu akan mendatangkan 300 ribu ton lagi dari Thailand untuk memenuhi stok beras 1,5 juta ton.

Tanpa beras
Melihat kondisi tersebut, pemerintah berupaya melakukan gerakan menekan tingkat konsumsi beras di masyarakat dan mendorong peningkatan konsumsi pangan non beras bersumber daya lokal.

Salah satu strategi yang diterapkan untuk itu yakni dengan mengampanyekan mengurangi konsumsi nasi melalui gerakan "Sehari Tanpa Nasi" atau "One Day No Rice".

Di berbagai daerah gerakan "one day no rice" sudah bergulir selama setahun ini seperti di NTT, NTB, Sulut, Maluku Utara, Sumatera.

Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Mulyono Machmur mengatakan gerakan mengurangi makan nasi merupakan bagian upaya pemerintah menyukseskan diversifikasi pangan nasional.

"Hal ini agar ketergantungan pangan pada nasi/beras tidak terlalu tinggi sehingga stabilitas pangan bisa tetap terjaga. Intinya dari kampanye ini bagaimana menyadarkan orang tanpa makan nasi pun bisa," katanya.

Di berbagai daerah kampanye tersebut dimulai dari tingkat birokrasi di pegawai di tingkat provinsi maupun kabupaten. Implementasinya beragam. Ada beberapa daerah yang menerapkan satu minggu satu hari, ada yang satu bulan satu hari dan lain-lain bahkan di Manado misalnya 2 hari seminggu.

Melalui kampanye ini, pemerintah berharap konsumsi beras masyarakat bisa dikurangi dan menggantikannya dengan makanan pokok lainnya atau pangan lainnya seperti sayuran, buah-buahan, protein hewani maupun nabati.

Menurut Mentan Suswono, kampanye "one day no rice" juga akan mendukung ketahanan stok dan diversifikasi pangan. Bahkan dengan mengkonsumsi pangan yang beragam bisa menjadi perbaikan gizi masyarakat.

Namun demikian Tuti Soenardi, seorang pakar gizi kuliner yang sudah berpuluh tahun menggeluti program penganekaragaman pangan melihat bahwa orang Indonesia tidak bisa berpisah dengan nasi.

Oleh karena itu, untuk menghentikan makan nasi tidak bisa serta merta diterapkan namun yang dapat dilakukan adalah melengkapinya dengan pangan lokal. Misalnya, nasi dicampur dengan jagung, atau nasi dengan singkong.

Selain itu, gerakan substitusi pangan lokal ini juga harus dipersiapkan dengan matang. "Berarti pemerintah harus menjamin ketersediaan tepung singkong, jagung, beras aruk, ganyong dan beragam produk pangan lokal lainnya dengan harga murah dan mudah didapat," kata ahli gizi kuliner itu.

Tuti Soenardi juga mengusulkan agar substitusi pangan tidak hanya untuk makanan utama saja tetapi hingga ke kue-kue tradisional atau jajanan lokal. "Jika 10 persen dari bahan kue-kue diganti dengan produk lokal maka akan banyak biaya bisa dihemat." katanya.

Pemerintah rupanya sudah memiliki hitung-hitungan sendiri terkait kampanye mengurangi konsumsi beras masyarakat `One Day No Rice` atau Satu Hari Tanpa Nasi.

Jika kampanye tersebut bisa sukses dilakukan setiap satu bulan satu hari saja, maka konsumsi beras nasional per tahun bisa dihemat hingga 1,2 juta ton.

"Jadi kalau ada `free rice day` satu hari saja per bulan, akan mengurangi tekanan permintaan 1,2 juta ton per tahun," kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi.

Peluang ekonomi
Tak hanya itu, menurut Bayu program Satu Hari Tanpa Beras tersebut ternyata mampu menciptakan peluang ekonomi terhadap pangan non beras.

Kementerian Pertanian mengungkapkan potensi ekonomi pangan non beras diperkirakan mencapai Rp6 triliun per tahun sehingga layak dikembangkan sebagai kegiatan usaha.

Selama ini masyarakat maupun pelaku usaha masih memandang pangan non beras seperti jagung, singkong, ubi, ganyong, talas ataupun sagu sebagai sebagai makanan "inferior" dibandingkan beras.

Oleh karena itu, komoditas pangan tersebut secara ekonomi dinilai tidak layak dikembangkan karena tidak akan memberikan keuntungan.

"Padahal dari hasil penelitian penggantian konsumsi beras dengan komoditas pangan lain dalam sehari ternyata mampu menggerakan perekonomian hingga Rp5 miliar dari pangan non beras," katanya.

Jika uang sebanyak Rp6 triliun itu dimanfaatkan untuk membeli sagu, suku, ubi jalar, ubi kayu, pisang, hotong dan lain-lain akan menciptakan ekonomi baru diluar beras terhadap komoditi-komoditi itu yang tentu saja petani yang diuntungkan.
(S025/T010)

Oleh Rz.subagiyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010