Jakarta (ANTARA News) - Budi daya sarang burung walet yang selama ini identik dengan modal besar dan hanya bisa dimiliki para pemodal kaya terbantahkan.

Seorang praktisi budi daya burung walet dari Pontianak mampu membuktikan bahwa budi daya sarang burung walet tidak harus selalu perlu modal besar, namun bisa dengan modal hemat dan dilakukan masyarakat bawah.

Praktisi budi daya walet yang juga seorang pegawai negeri sipil itu bernama Nasir Salekat. Pria kelahiran Musi Rawas, Sumatera Selatan itu dalam membuktikan klaimnya tidak semata pengalaman, namun ia juga melakukan uji penelitian.

Bangunan sedang menjulang dua lantai di belakang rumahnya yang berada kawasan Pal Tiga, Pontianak, ia biasa melakukan eksperimen seputar budi daya walet yang hemat itu.

Bahkan, sebelum benar-benar terlibat dalam dalam budi daya air liur walet ini , ia pernah membuat tesis untuk meraih gelar Magister Managemen di Universitas Tanjungpura Pontianak dengan topik seputar dampak lingkungan adanya rumah walet dan dampak terhadap pendapatan asli daerah.

"Namun yang masih menjadi cita-cita kuat saya adalah bagaimana menyebarkan budi daya sarang burung walet itu sebagai salah satu cara mengatasi kemiskinan di masyarakat bawah. Saya ingin masyarakat bawah bisa berinvestasi walet ini, juga untuk peningkatan kesejahteraan rumah tangganya," kata Nasir dalam pertemuan dengan ANTARA usai menunjukkan rumah waletnya yang menjadi ajang penelitian.

Untuk merealisasikan cita-citanya, pria kelahiran 44 tahun lalu itu sudah mulai menerapkannya pada beberapa lokasi di Tanah Air, yang pernah ia kunjungi, di antaranya di Musi Rawas dan Palembang (Sumsel), Sukamara dan Palangkaraya (Kalteng), Banyuwangi dan Surabaya (Jatim), serta di Kalbar sendiri di kota Pontianak, Sambas dan Rasau Jaya.

Pada daerah-daerah itu ia menerapkan sistem bagi hasil untuk masyarakat bawah, karena masyarakat bawah hanya menyediakan rumah atau ruangannya untuk direnovasi atau didesain menjadi rumah walet, sedang pendanaannya bisa dari dia atau investor lain.

Program budi daya walet untuk atasi kemiskinan di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, ungkap pria enerjik itu, merupakan yang terbaru dan sudah direalisasikan di satu rumah walet milik warga setempat. Sedang dua rumah lain masih dalam perancangan desainnya.

"Kalau ada tiga orang yang terlibat dalam kongsi investasi walet ini, maka bagi hasilnya masing-masing 30 persen. Sedang sisa 10 persen untuk infak. Kita ingin infak ini dibiasakan dalam budi daya walet ini juga," kata Nasir.

Ia mengakui dalam penyebaran program budi daya walet untuk masyarakat ekonomi lemah ini tidak bisa dilakukan sendiri. Ia sangat apreasiatif bila kemudian sejumlah pemerintah daerah mengundangnya untuk kegiatan lokakarya walet, sehingga tugas penyebaran ilmu budi daya menjadi lebih mudah karena ada dukungan pemerintah daerah.

"Beberapa kepala daerah atau pejabat memang antusias dengan program saya ini. Mereka mengudang saya untuk memberikan semacam "workshop?"tentang budi daya walet. Di antaranya Pemkab Katingan (Kalteng), yang saat itu hadir sekitar 200 warga setempat. Juga di PT Pupuk Kaltim, Bontang," katanya.

Demikian pula ia ingin rumah-rumah ibadah, seperti masjid dan gereja bisa memanfaatkan budi daya walet untuk pembiayaan operasional.

"Rumah ibadah ini kan memiliki menara. Di ruang paling atas menara itu bisa dimanfaatkan sebagai rumah walet," ujarnya.

Menurut pengakuannya, sudah ada beberapa masjid yang menaranya didesain menjadi rumah walet, sehingga akhirnya bisa menjadi sumber pembiayaan operasional masjid itu sendiri.

Nasir memang tidak segan berbagi ilmu dan praktik budi daya walet kepada masyarakat, karena ia melihat kegunaan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, serta prospek ekonomi dan pasar yang masih besar.

Data Asosiasi Pengelola Rumah Walet (Asperuwa) Pontianak, Kalbar menunjukkan dalam sebulan mampu menjual liur walet setidaknya 700 kilogram ke luar negeri, khususnya China, dengan harga berkisar antara Rp10 juta hingga Rp18 juta per kilogram, tergantung "grade"(tingkatan kualitas).

Sementara populasi walet di Indonesia, hampir seluruh wilayah pesisir Tanah Air bisa dijadikan tempat berkembang, meski saat ini untuk kegiatan "eksitu"(dibudidayakan sehingga bukan alami) masih terbatas. Selain Indonesia, walet banyak hidup dan berkembang di Hainan China Selatan, pesisir Vietnam, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Malaysia, dan Thailand Selatan.


Budi daya Hemat

Nasir yang juga Ketua Litbang Asosiasi Pengelola Rumah Walet (Asperuwa) Pontianak itu mengungkapkan bagaimana pembuatan rumah walet bisa bermodalkan sekitar Rp2 juta -Rp40 juta, dan tidak perlu modal ratusan juta hingga miliaran rupiah.

"Yang jelas, rumah walet bukan hanya mampu dikelola pemilik modal besar. Tapi juga dapat dikelola oleh masyarakat ekonomi lemah," kata Nasir menyakinkan.

Sebagai peneliti ia sudah membukukan penemuannya dalam dua buku yang termasuk "best seller", yakni "Membangun Rumah Walet Hemat Biaya" dan "Buku Pintar Budi Daya & Bisnis Walet".

Dalam buku pertama yang sudah masuk cetakan keempat kali dalam setahun terbitnya, Nasir mengemukakan dalam membangun rumah walet hemat tidak mesti membangun bangunan baru. Siapa pun bisa memanfaatkan bangunan yang sudah ada, seperti kamar, garasi, gudang, dan pondok di sawah atau kebun.

"Dengan begitu, penghematan biayanya bisa mencapai 70 persen dibandingkan membangun bangunan baru dengan ukuran yang sama," katanya.

Kalaupun ingin membuat bangunan baru, bisa mulai ukuran kecil, 2x3 meter persegi. Bahan-bahan sekitar atau yang murah bisa dimanfaatkan, misalnya untuk peredam panas memanfaatkan limbah styrofoam atau memanfaatkan atap yang didesain dari daun pandan atau sirap. Sedangkan dindingnya, bisa dibuat dari papan atau tembok semen dengan ketebalan tipis sekitar dua centimeter.

Berdasarkan hasil eksperimen, desain sederhana ini telah terbukti keberhasilannya. "Dalam kurun waktu dua tahun, ruangan tersebut mampu menghasilkan sarang walet sekitar 0,5 kilogram per bulan, bahkan ada yang meningkat mencapai empat kilogram," kata pria yang bergelar insinyur dan magister managemen ini.

Hanya ia mengingatkan, sebaiknya untuk mengurangi risiko kegagalan, rumah walet tidak dibangun di perumahan yang menjadi kawasan walet, karena populasi walet bisa tidak seimbang. Juga dalam membangun desain rumah walet harus tepat yang memperhitungkan tingkat suhu, kelembaban dan intensitas cahaya, serta di lokasinya memang ada burung walet walau satu ekor yang sering terlihat.

"CD atau MP3 audio berisikan suara walet tiruan, akan mampu mengundang walet masuk ke rumah walet yang disediakan," ujarnya.

Namun si pengelola rumah harus juga menjaga kebersihan sekitar rumah walet, karena banyaknya hama walet akan menjadikan burung walet tidak nyaman dan pergi. Hama wallet utamanya hama tikus, ular atau burung hantu.

Namun walet sendiri adalah predator bagi serangga, sehingga rumah yang ada waletnya akan bersih dari serangga .

Bahkan dalam penelitiannya dengan menyerahkan sampel air ke Badan Lingkungan Hidup Kota Pontianak 2007 terbukti air di sekitar rumah walet lebih rendah kadar ecolinya.

Nasir mengingatkan dengan menjaga kebersihan rumah walet ini turut menentukan kualitas sarang (air liur) yang dihasilkan.

"Semakin putih dan bersih semakin bagus kualitasnya dan mahal harganya," katanya sambil menunjukkan hasil panen sarang walet yang dimilikinya.(*)
(UU.Z004/A011/R009)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010