Yogyakarta (ANTARA News) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta memperkirakan sisi selatan Gunung Merapi rawan longsor dibanding sisi lain gunung karena umur bantuan di sisi gunung tersebut lebih tua dibanding sisi lain.

"Deformasi Gunung Merapi mengarah ke selatan, padahal umut batuan di sisi tersebut lebih tua dibanding batuan di sisi lain. Batuan di sisi selatan terbentuk dari lava 1911," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandrio di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, dengan umur batuan yang relatif lebih tua maka sisi selatan akan lebih rapuh sehingga akan mudah runtuh, dan di atas lava 1911 tersebut masih ada lava 1997.

"Belum bisa dipastikan apabila ada longsoran di sisi selatan, material hasil letusan 1997 tersebut akan ikut runtuh ke selatan atau ke barat daya," katanya.

Berdasarkan data deformasi Gunung Merapi di sisi selatan pada Minggu (24/10), tercatat percepatan deformasi mencapai 42 centimeter (cm) per hari atau hampir empat kali lipat dibanding percepatan deformasi pada 21 Oktober.

"Total deformasi sejak awal hingga sekarang diperkirakan sudah mencapai sekitar 1,7 meter," lanjutnya.

Ia mengatakan, material longsoran batuan lava 1911 tersebut akan mengarah ke Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Boyong, Kali Woro, Kali Bebeng, Kali Krasak dan Kali Bedog sehingga BPPTK merekomendasikan masyarakat yang tinggal dengan radius 10 kilometer (km) dari puncak Merapi untuk segera diungsikan.

Di wilayah Kabupaten Sleman, terdapat enam desa yang rawan yaitu Desa Purwobinangun, Desa Girikerto, Desa Hargobinangun, Desa Kepuharjo, Desa Glagaharjo dan Desa Umbulharjo, sedang di Kabupaten Klaten meliputi Desa Balerante, Desa Sidorejo dan Desa Tegal Mulyo.

Sementara itu, di Kabupaten Magelang terdapat dua desa yaitu Desa Kemiren dan Desa Kaliurang yang masyarakatnya harus diungsikan.

Sementara itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Surono mengatakan, sejak Senin mulai pukul 06.00 WIB status Gunung Merapi dinaikkan menjadi Awas berdasarkan berbagai pertimbangan teknis seperti meningkatnya guguran material yang sangat signifikan.

Pada 21 Oktober, guguran adalah sekitar 100 kali per hari, namun dalam jarak sekitar dua hari ada peningkatan guguran menjadi lebih dari 180 kali per hari sejak 23 Oktober.

"Selain itu, aktivitas kegempaan Gunung Merapi pada 2010 ini juga lebih tinggi dibanding sebelum terjadi letusan 2006," katanya.

Perbedaan lainnya adalah pada 2006, pada saat Gunung Merapi dinyatakan berstatus Siaga masyarakat sudah dapat melihat kubah lava, dan pada saat status Awas sudah terlihat titik api diam.

"Tetapi sampai saat ini, titik api diam belum terlihat. Jika ditanya apakah ada kemungkinan letusan Merapi bersifat eksplosif, maka hal itu dimungkinkan," katanya.

Berdasarkan data seismik pada Minggu (24/10) terjadi 194 kali guguran, 80 kali gempa vulkanik, 588 kali gempa multiphase dan tiga kali gempa low frekuensi, sedang pada Senin hingga pukul 06.00 WIB telah terjadi 42 kali guguran, 204 gempa multiphase dan 41 kali gempa vulkanik.

Ia mengatakan, perubahan status Merapi menjadi awas tersebut tidak langsung dapat diartikan bahwa gunung tersebut akan segera meletus. "Perubahan ini dilakukan semata-mata untuk mengantisipasi adanya perubahan mendadak dan mengurangi korban jiwa," katanya.
(E013/A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010