Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Health Collaborative Center (HCC) Dr. dr. Ray W. Basrowi MKK menyebutkan dibutuhkan inovasi yang berarti untuk layanan di fasilitas-fasilitas kesehatan agar capaian pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif untuk bayi di 1.000 hari pertamanya tidak mengalami penurunan di tengah kondisi pandemi COVID-19.

“Inovasi (fasilitas kesehatan) itu penting sekali, pemerintah perlu melakukan investasi di bidang pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui anak. Karena ini bisa jadi cara pemerintah untuk memberikan perlindungan pada ibu- ibu yang seharusnya memberikan ASI,” kata lulusan Magister Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu dalam konferensi pers virtual menjelaskan “Kesiapan Tenaga Kesehatan Indonesia Menyukseskan ASI Eksklusif”, Rabu.

Dokter Ray menjelaskan ASI memiliki peran penting karena memberikan nutrisi terbaik dalam 1000 hari pertama dari seorang bayi untuk bisa mengembangkan potensinya.

Sayangnya akibat pandemi COVID-19, layanan untuk ibu hamil serta ibu yang menyusui bayinya harus ditutup mulai dari tingkat Posyandu hingga Puskesmas.

Kondisi tersebut bisa dimengerti karena fokus penanganan Indonesia saat ini adalah penanganan COVID-19, namun seharusnya ada layanan alternatif yang bisa menampung kebutuhan edukasi dan pusat informasi terkait ASI Eksklusif yang disediakan sehingga para ibu hamil dan ibu menyusui tidak bingung dan bisa terpenuhi kebutuhannya.

Dalam penelitiannya yang diikuti 1.004 responden tenaga kesehatan termasuk dokter umum dan paling banyak bidan selama periode Februari hingga Mei 2021, ditemukan bahwa selama pandemi berlangsung 57 persen fasilitas kesehatan di Indonesia tidak memiliki layanan pemeriksaan ibu hamil dan menyusui secara daring dan telemedisin sehingga tentunya akses ibu- ibu yang baru melahirkan atau sedang menyusui untuk mendapatkan edukasi terkait pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik.

Berkaca dari temuan yang tersebar di 25 Provinsi di Indonesia itu, maka para peneliti menyarankan adanya inovasi yang berarti dari penggunaan teknologi secara khusus seperti telemedisin untuk ibu- ibu hamil dan menyusui terkait laktasi dan cara merawat bayi sehingga tersedia pusat edukasi dan informasi yang layak meski tidak ada layanan tatap muka di fasilitas kesehatan.

Baca juga: Cerita Mytha Lestari gunakan naluri keibuan untuk kali pertama

Baca juga: Kemampuan bayi hisap ASI pengaruhi tumbuh kembang di masa depan


Beberapa inovasi yang bisa dikembangkan di antaranya layanan Posyandu Online atau Konselor Laktasi Online khusus untuk ibu menyusui dan ibu hamil, selain itu bisa juga dihadirkan layanan kelas- kelas menyusui atau seputar laktasi lebih gencar lewat layanan online.

Selain itu, inovasi lainnya yang perlu dilakukan adalah dari segi pelatihan para tenaga medis menangani infodemik soal laktasi dan juga pelatihan rutin agar para konselor laktasi bisa membantu para ibu- ibu hamil dan menyusui memahami pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi selama pandemi.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh dokter Rey dan timnya di lapangan, ditemukan bahwa informasi tidak benar seputar pemberian ASI turut meningkat selama pandemi khususnya lewat media sosial dan aplikasi pesan singkat sehingga menyebabkan ibu- ibu yang harusnya memberikan ASI enggan menyusui anaknya.

“Para tenaga kesehatan ini, perlu adanya pelatihan infodemic management. Kalau di masa COVID-19 para tenaga kesehatan di Wisma Atlet dapat pelatihan serupa, tentu untuk ibu hamil dan ibu menyusui juga bisa. Bisa, dilakukan asal diperkuat modulnya,”katanya.

Dalam penelitiannya, sebanyak 42 persen tenaga kesehatan mengaku tidak ada informasi yang sah dan tersedia secara khusus mengenai panduan untuk ibu- ibu yang menyusui dan ibu hamil mempersiapkan pemberian ASI Eksklusif.

Inovasi dari sisi media sosial juga perlu terus digencarkan khususnya untuk memberantas informasi- informasi tidak benar seputar pemberian ASI eksklusif yang sering disangkut pautkan dengan COVID-19.

Kepercayaan ibu-ibu hamil dan menyusui di tengah pandemi pada pesan di media sosial ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan kepercayaan mereka terhadap para tenaga kesehatan.

"Sudah ada layanan konselor laktasi, tapi ternyata ibu- ibu ini lebih percaya informasi di handphonenya. ‘Ini saya dapat dari WA, atau forward-an kalau menyusui ASI bisa menularkan COVID-19’. Hal- hal ini yang perlu kita tangani. Pemerintah wajib punya kebijakan ketat dalam mengatur hoaks," kata dokter Ray.

Meski pada 2020 lalu HCC menyebutkan angka pemberian ASI eksklusif meningkat selama pandemi COVID-19 dengan total 89 persen, angka tersebut meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan 2018 saat tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia hanya mencapai berkisar di angka 50 persen.

Capai 89 persen itu tentu menggembirakan, namun angka tersebut dapat turun jika fasilitas kesehatan dan juga inovasi tidak dikembangkan untuk menjadi wadah informasi dan edukasi tentang ASI Eksklusif yang tepat bagi para ibu hamil dan menyusui.

Bertepatan dengan Pekan ASI Sedunia 2021, dokter Rey berharap agar pemerintah bisa ikut memprioritaskan edukasi dan layanan yang maksimal untuk ibu hamil dan menyusui agar bisa memberikan ASI eksklusif meski pandemi COVID-19 masih berlangsung.

“2045 itu nasibnya ada di tangan bayi dan anak- anak yang saat ini ada. Bonus demografi itu bisa maksimal jika pemberian ASI juga maksimal, karena banyak penelitian membukti pemberian ASI kepada anak membantu dalam hal pengembangan SDM secara optimal. Jadi untuk bisa mendapat manfaat itu, pemerintah perlu melindungi para ibu hamil dan menyusui untuk menekankan pentingnya ASI dan sistem kesehatan mereka sehingga bisa menyukseskan masa depan,” tutupnya.

Baca juga: Ibu menyusui positif COVID-19 dan sudah divaksin perlu tetap beri ASI

Baca juga: Dokter anjurkan ibu menyusui konsumsi gizi seimbang

Baca juga: Pakar IPB University: Cegah stunting dengan optimalkan fungsi keluarga

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021