Jakarta (ANTARA News) - Di penghujung 2010, 10 negara Asia Tenggara kembali membuktikan komitmennya untuk duduk bersama dalam payung ASEAN sekalipun setahun terakhir sejumlah konflik bilateral hampir "mengoyak" kedamaian di kawasan.

Sebut saja kasus konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Isu mengenai sengketa perbatasan mencuat ketika Kamboja mengangkat permasalahan perbatasan di sekitar candi kuno Preh Vihear dalam pertemuan para Menlu ASEAN tahun 2008, yang kemudian dijawab Thailand.

Sengketa atas candi Preah Vihear merebak kembali, ketika Kamboja mengusulkan candi yang terletak dalam kompleks seluas 4,6 kilometer itu sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO.

Belakangan, kasus itu menimbulkan konfrontasi militer kedua negara di sepanjang zona yang menjadi sengketa, dan jatuhnya korban jiwa.

Lalu, beberapa waktu lalu Indonesia dan Malaysia terjebak dalam konflik batas laut yang membawa serta seluruh elemen sipil di kedua negara dalam sengketa.

Insiden penangkapan tiga pegawai negeri sipil Indonesia oleh aparat Malaysia itu memancing reaksi keras dari masyarakat Indonesia yang kemudian ditanggapi dengan keras pula oleh sejumlah pihak di Malaysia.

Terlepas dari sengketa perbatasan di ASEAN, dua negara mitra wicara ASEAN, China dan Jepang pun sedang terbelit konflik yang sama, yang bermula dari penangkapan nelayan China oleh penjaga pantai Jepang.

Isu perbatasan diakui atau tidak memang merupakan topik sensitif bagi sejumlah negara Asia Tenggara mengingat hampir seluruh anggotanya saling berbagi perbatasan.

Terkait dengan isu perbatasan Kamboja dan Thailand, Sektetaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam lawatannya ke Phnom Penh awal pekan ini mengimbau kedua negara untuk menyelesaikan konflik itu dengan cara damai. Ban Ki-moon juga dijadwalkan hadir dalam pertemuan puncak ASEAN-PBB yang merupakan rangkaian pertemuan puncak ke-17 ASEAN di Hanoi, Vietnam, 28-30 Oktober.

Selain isu sengketa perbatasan, pertemuan puncak ke-17 ASEAN juga dibayang-bayangi oleh musibah bencana gempa bumi dan tsunami di Mentawai, Indonesia yang hingga Kamis (28/10) malam telah mengakibatkan 300an orang meninggal dunia dan puluhan yang lain hilang.

Bencana gempa bumi yang disusul oleh tsunami setinggi lebih dari tiga meter yang menghantam kawasan wisata Mentawai itu sehari kemudian disusul dengan meletusnya Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mengakibatkan sedikitnya 30an orang meninggal dan telah memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah tiba di Hanoi, Vietnam, untuk segera membereskan kopernya dan membawa serta seluruh rombongannya pulang.

Keputusan Presiden Yudhoyono untuk meninjau langsung lokasi bencana di Mentawai dan memastikan tanggap darurat di kawasan itu berjalan semestinya secara tidak langsung membuat pertemuan puncak ke-17 ASEAN kehilangan salah satu pemain "kunci"nya karena harus diakui Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN memainkan peran penting dalam organisasi kawasan tersebut.

Seakan belum cukup dengan itu semua, pertemuan puncak terakhir yang diselenggarakan di Hanoi tahun ini itu juga didera dengan berbagai pertanyaan mengenai pemilihan umum Myanmar, 7 November mendatang, yang diduga oleh sejumlah pihak akan berlangsung dibawah standar internasional pasca keputusan si bungsu dari ASEAN itu untuk tidak mengijinkan para wartawan dan pengamat turut mengawasi jalannya pemilihan umum.

Berbagai tekanan dan imbauan telah ditujukan kepada Myanmar, agar negara itu membuka diri karena suatu pemilihan umum tanpa pengawasan dari pihak ketiga akan memunculkan keraguan baru di mata masysrakat global.

Atas sikap keras kepala Myanmar, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk meminta jaminan pemerintah Myanmar atas terselenggaranya suatu pemilihan umum yang kredibel dan adil. Sedangkan Menteri Luar Negeri Filipina Alberto Romulo dengan terbuka menyebut pemilihan umum Myanmar sebagai sebuah "sandiwara".

Di samping banyaknya isu "sampingan" yang membayangi pelaksanaan pertemuan puncak kali ini, para pemimpin ASEAN --Presiden Filipina Benigno Aquino, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Najib Razak, PM Thailand Abhisit Vejjajiva, PM Kamboja Hun Sen, PM Myanmar Thein Sein, Sultan Brunei Sultan Hassanal Bolkiah, PM Laos Bouasone Bouphavanh, PM Vietnam Nguyen Tan Dung, Menko Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa dan Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan-- sesuai rencana semula tetap mengadopsi rencana utama Keterhubungan ASEAN untuk menuju Masyarakat ASEAN 2015.

Adopsi rencana utama Keterhubungan ASEAN itu akan menghubungkan kawasan Asia Tenggara dengan lebih baik, dalam hal fisik, intitusional dan hubungan antar individu.

Keterhubungan ASEAN di bidang fisik akan meliputi pembangunan infrastruktur di sektor angkutan darat, laut dan udara, energi, pembangunan pipa gas lintas ASEAN dan zona ekonomi khusus.

Sedangkan keterhubungan ASEAN di bidang institusional terkait dengan sejumlah kerjasama ekonomi antar ASEAN, termasuk kebijakan ASEAN single window dan integrasi kepabeanan.

Kemudian Keterhubungan ASEAN di bidang hubungan antar individu merupakan upaya untuk meningkatkan kerjasama di bidang budaya, pendidikan dan pariwisata.

Konsep Keterhubungan ASEAN pertama kali dibahas dalam pertemuan para pemimpin ASEAN pada 2009. Keterhubungan itu nantinya diharapkan mempersempit kesenjangan, meningkatkan daya saing, mendorong perdagangan intra kawasan, menarik investasi dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat ASEAN.

Sejumlah mitra wicara ASEAN telah menyatakan kesediaannya untuk memberikan komitmen bantuan yang dibutuhkan guna mewujudkan Keterhubungan ASEAN.

Salah satunya adalah Jepang yang berkomitmen menyediakan pendanaan sebesar 200 miliar dolar AS untuk rencana Keterhubungan ASEAN.

Sementara itu sekalipun ASEAN sedang dilanda sejumlah isu internal namun hal itu rupanya tidak menyurutkan tekad Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung selaku ketua bergilir ASEAN untuk mendorong ASEAN lebih berperan di tataran global.

"ASEAN perlu untuk memperluas perannya sebagai pendorong penting dalam upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya," kata saat membuka pertemuan puncak itu.

Ia mengimbau negara-negara ASEAN untuk meningkatkan dialog dan kerjasama di isu politik dan keamanan untuk meningkatkan kepercayaan antar negara anggota.

"ASEAN perlu lebih jauh mempromosikan kode etik hubungan antar negara dan ...untuk menjamin perdamaian dan stabilitas kawasn," katanya.

Lebih jauh, kata dia, ASEAN perlu memperkuat kerjasama di bidang keamanan, terutama terorisme internasional,kejahatan lintas batas dan keamanan maritim.

Nguyen tan Dung juga berharap sebagai anggota masyarakat global, ASEAN mampu menjawab tantangan global terutama krisis keuangan dan ekonomi, perubahan iklim, bencana alam dan pandemi.

"ASEAN harus melakukan langkah nyata guna menjamin kerjasama intra-ASEAN dan di saat yang bersamaan mempromosikan kerjasama di kawasan yang lebih luas serta berkontribusi positif bagi upaya bersama masyarakat internasional, termasuk aktivitas terkait PBB," katanya.

Optimisme yang mencoba ditularkan oleh PM Vietnam ke seluruh timpalannya setidaknya merupakan sinyal positif akan munculnya suatu hasil maksimal dari pertemuan puncak tiga hari itu. Tak peduli sengketa perbatasan dwipihak, bencana alam ataupun konflik internal, 10 negara ASEAN melupakan perbedaan saat duduk bersama dibawah payung organisasi yang telah mengawal mereka selama lebih 40 tahun terakhir membangun bangsa di tengah-tengah Asia Tenggara yang damai dan aman. (ANT/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010