Ini hanya tragedi, tak ada yang lain kecuali tragedi. Sayangnya kami tak bisa berkata apa-apa lagi.
Beirut (ANTARA) - Lebanon memperingati setahun bencana ledakan di pelabuhan Beirut pada Rabu. Banyak warga di kota itu masih berduka, marah dan menuntut keadilan.

Satu tahun setelah ledakan maut dari gudang amonium nitrat itu tak seorang pun pejabat tinggi dimintai pertanggung jawaban, membuat marah banyak warga Lebanon yang lama menderita akibat krisis keuangan negara.

Investigasi terhadap peristiwa itu mandek karena desakan untuk memeriksa politisi senior dan mantan pejabat terkait telah ditolak.

Lebih dari 200 orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam kejadian yang disebut-sebut sebagai salah satu ledakan non-nuklir terbesar di dunia itu. Getarannya terasa hingga ke Siprus yang berjarak lebih dari 240 km dari Beirut.

Keluarga korban telah menggelar aksi-aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan bagi mereka yang kehilangan nyawa.

“Lingkungan berubah, semangat berubah, segala sesuatunya berubah di sini,” kata Habib Frem, 72 tahun, yang terluka dalam kejadian yang merusak rumahnya itu. Dia mengenakan pakaian serba hitam untuk memperingati peristiwa itu pada Rabu.

Bekas-bekas ledakan masih tampak di seluruh kota dan pelabuhan masih terlihat seperti medan perang. Sebuah spanduk besar bertuliskan “Sandera dari Negara Pembunuh” dipasang di sebuah bangunan yang menghadap pelabuhan.

Pawai-pawai telah diserukan sepanjang hari, sebagian besar berkumpul di pelabuhan di mana shalat akan digelar setelah pukul 18.00 yang bertepatan dengan waktu kejadian.

“Kami belum lupa, itu adalah satu jam yang penuh kemarahan, kesedihan,” kata Khose Khilichian, warga kawasan Bourj Hammoud di Beirut.

“Saya dan istri sedang ada di balkon, dan tiba-tiba kami berada di tengah ruang keluarga. Rumah saya hancur seluruhnya,” kata dia, seraya menambahkan akan memperingati hari itu dengan berdoa buat para korban.

“Ini hanya tragedi, tak ada yang lain kecuali tragedi. Sayangnya kami tak bisa berkata apa-apa lagi,” kata Avedis Karamalian, 62 tahun, sambil berjalan pagi.

Saat ledakan terjadi, warga Lebanon sedang menghadapi kesulitan di tengah krisis keuangan negara akibat korupsi dan pemborosan selama puluhan tahun.

Kehancuran ekonomi makin parah tahun lalu ketika kaum elit yang berkuasa gagal membentuk pemerintahan baru untuk menyelesaikan beragam masalah, termasuk kemiskinan yang meningkat dan kelangkaan obat dan bahan bakar.

Elit sektarian terkurung dalam perebutan posisi di kabinet baru untuk menggantikan pemerintahan Hassan Diab, yang mengundurkan diri setelah peristiwa ledakan.

“Kami katakan ke semua orang tanpa terkecuali, negara kami berada dalam bahaya,” kata Najib Makati, pengusaha-politisi yang bulan lalu ditugaskan untuk membentuk kabinet.

Makati mengatakan hal itu dalam sebuah pernyataan untuk memperingati apa yang disebutnya sebagai hari jadi yang “menyakitkan”.

Kebuntuan politik telah mencegah upaya-upaya penting untuk melakukan reformasi yang bisa mendatangkan bantuan luar negeri yang dibutuhkan.

Pada Rabu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan akan berusaha mengumpulkan 350 juta dolar dana bantuan dalam konferensi negara-negara donor.

Prancis telah memimpin upaya-upaya internasional untuk menyelamatkan negara bekas koloni mereka itu dari krisis, namun upaya itu sejauh ini belum membawa hasil.

Prancis gagal mendapatkan komitmen dari para politisi Lebanon untuk menyepakati sebuah kabinet berisikan orang-orang spesialis yang non-sektarian.

Menyatakan opininya, beberapa pejabat senior dari PBB, Uni Eropa dan Bank Dunia mengatakan investigasi akan terus berhenti “tanpa sebuah peradilan bebas dan jujur yang mampu menahan intervensi politik”.

“Negara itu sangat membutuhkan pemerintah yang mampu menangani krisis, bekerja sama dengan parlemen untuk mencapai kemajuan dalam reformasi,” tulis mereka.


Sumber: Reuters
​​​​​​​Baca juga: Prancis susun peta reformasi bagi Lebanon
Baca juga: Kuwait akan bangun kembali silo Lebanon yang hancur akibat ledakan
Baca juga: FBI akan bantu penyelidikan ledakan Beirut

​​​​​​​

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021