Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menilai kondisi pasar modal Indonesia masih bergantung pada upaya pemerintah bersama-sama masyarakat dalam menangani pandemi COVID-19.

"Setiap kebijakan pemerintah yang terkait dengan COVID-19, tentu akan berpengaruh pada kinerja pasar modal Indonesia. Meskipun demikian, OJK menilai pelaku pasar sudah cukup siap dalam merespon hal tersebut sehingga tidak terjadi gejolak sebagaimana kebijakan yang sama di tahun 2020," ujar Hoesen dalam acara Peringatan 44 Tahun Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Selasa.

Terbukti sampai dengan saat ini, lanjut Hoesen, pasar masih bergerak datar atau sideways dengan tren IHSG masih mencoba bertahan di level 6.000 dan terkadang menunjukkan penguatan seiring dengan kondisi pemulihan ekonomi nasional.

Hoesen menyampaikan, pada triwulan I 2021, kinerja pasar modal Indonesia berjalan sangat baik. Tercatat, pada penutupan perdagangan 13 Januari 2021, IHSG sempat mencatatkan posisi tertinggi yakni berada di posisi 6.435,21 poin.

Namun, seiring berjalannya waktu, pada triwulan II terdapat sentimen global yang menurunkan kinerja pasar modal domestik, antara lain munculnya varian baru COVID-19, yaitu varian delta di India, kebijakan lockdown di beberapa negara, pernyataan Organisasi Kesehatan Internasional atau WHO yang menerangkan bahwa pandemi belum akan berakhir, meskipun semua negara telah berupaya secara optimal meningkatkan vaksinasi sehingga hal ini mengakibatkan tingginya aksi jual dan menurunnya tren kinerja bursa Asia.

"Sebagai dampak dari hal tersebut, pada 19 Mei 2021, IHSG sempat berada pada posisi terendah yaitu sebesar 5.760,58 poin," kata Hoesen.

Dengan risiko pandemi yang dinilai masih cukup besar dengan peningkatan kasus yang signifikan pada Juni hingga Juli 2021, maka Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan mengenai penetapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak 3 Juli yang beberapa kali diperpanjang hingga 16 Agustus 2021 untuk wilayah Jawa Bali dan luar Jawa Bali sampai 23 Agustus 2021 sehinga berimbas pada menurunnya tingkat konsumsi masyarakat.

Dampak dari kebijakan tersebut, Menteri Keuangan RI dalam webinar Mid Year Economic Outlook yang diselenggarakan pada 7 Juli 2021, merevisi target pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 dari semula berada di kisaran 4,3 persen hingga 5,3 persen menjadi di kisaran 3,7 persen sampai 4,5 persen.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur BI yang diselenggarakan pada 22 Juli 2021 di mana bank sentral menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari sekitar 3,8 persen hingga 5,1 persen.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengoreksi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 3,9 persen pada 2021.

Meskipun demikian, Badan Pusat Statistik menyampaikan bahwa sepanjang triwulan II 2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen (yoy) dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama yaitu pada triwulan II 2020.

Baca juga: OJK: Penghimpunan dana pasar modal bakal capai level sebelum pandemi
Baca juga: OJK akan perpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022Baca juga: OJK akan perpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022
Baca juga: Ketua OJK: Kinerja berbagai indikator sektor jasa keuangan meningkat

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021