Jakarta (ANTARA News) - Selama ini yang mejadi praktik kepemimpinan/manajemen kebanyakan organisasi pemerintahan, bisnis, serta perbankan, bahkan badan penanganan krisis dan kedaruratan yang terhitung skala menengah dan besar adalah memilih penerapan salah satu dari dua model proses manajemen, yakni dari tingkat atas ke bawah dan dari bawah ke atas (top-down and bottom-up).

Dengan salah satu proses yang dianut oleh kebanyakan organisasi, muncul isu bagaimana posisi menajemen menengah? Apakah terbatas pada penyalur informasi keputusan atau informasi hasil karya manajemen bawah ke pemimpin puncak?

Kedua proses berasal dari dunia Barat yang berorientasi hasil (result oriented), sehingga mengandung berbagai kelemahan dalam membangun interaksi dinamis pelaku organisasi untuk kesinambungan penciptaan pengetahuan dalam organisasi.

Dengan mencermati berbagai kelemahan dari kedua model itu, maka berbagai kalangan memunculkan pertanyaan: adakah model ketiga baru? Apakah model ketiga itu lebih tepat guna untuk implementasi proses manajemen di satu negara saja?

Pada dasarnya proses manajemen organisasi dari atas ke bawah strukturnya piramidal berlapis-lapis, dan seringkali statis menunggu petunjuk manajemen puncak. Padahal, manajemen seringkali yang model dari bawah ke atas dianggap sebagai jalan keluar kebekuan proses manajerial. Manajemen dari bawah ke atas strukturnya gemuk dan horisontal.

Manajemen ini hanya terdiri dari tiga lapisan. Yang menengah hanya menjadi penyalur, sementara lapisan bawah banyak yang bekerja secara mandiri. Dalam manajemen ini tidak banyak dialog fungsional.

Kedua model ini dalam praktik lebih banyak merupakan pilihan manajemen puncak, dan keduanya tidak cukup memiliki kapasitas dalam proses penciptaan pengetahuan. Kelemahan yang terkait berupa langkanya pengakuan dan relevansi peranan kapasitas para manajer menengah. Dengan proses, baik yang dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas, peranan manajer menengah sangat terbatas hanya menjadi penyalur yang diam tanpa merasa diberdayakan.

Di negara Barat, banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para manajer menengah sebagai akibat mandeknya dan meruginya operasi bisnis. PHK merupakan kesempitan sikap pandang manajemen puncak karena sejak awal arah gejala menurun, dengan menganggap para manajer menengah umumnya tidak mampu berprestasi (backwardness), stagnan dan resisten untuk berubah.

Bahkan, banyak pengamat/ahli manajemen Amerika Serikat (AS) yang secara tegas memunculkan visi bahwa perusahaan terhitung korporat yang sukses tidak membutuhkan manajer eselon menengah. Yang menjadi isu adalah mengapa sasarannya pada para manajer menengah dengan ungkapan: "Organisasi kita ini kebanyakan lapisan, kebanyakan staf yang tidak memiliki fokus dan lemah dalam prestasi."

Oleh karena itu, Ikujiro Nonaka bersama Hirotaka Takeuchi, keduanya Professor Institute of Business Research, Hitotsubashi University, Tokyo, Jepang, karya mereka pada dasa warsa lalu (1995-an) perlu dicermati karena berkesimpulan bahwa suatu model baru sebagai jalan tengah manajemen adalah middle-up-down, dan kemudian dikembangkan oleh banyak organisasi.

Kajian mereka yang terhitung mendalam dan melebar ke berbagai perusahaan Jepang, yakni proses manajemen middle-up-down. Dalam model baru ini manajer eselon menengah menduduki peranan sentral dalam penciptaan manajemen pengetahuan, dan menata ulang peranan manajemen puncak maupun karyawan eselon bawahan dalam proses manajemen.

Model ini sebagai hasil dikotomi dalam memanaje penciptaan pengetahuan adalah “proses memanaje menengah ke atas maupun ke bawah (middle-up-down). Dengan memberdayakan para manajer eselon menengah untuk penciptaan pengetahuan, yang bertindak sebagai pemimpin suatu kelompok atau satuan tugas/satgas (task force).

Proses demikian itu memposisikan para manajer menengah pada pusat utama penciptaan pengetahuan, denganantar-seksi (intersection) arus informasi horizontal mapun vertikal di dalam organisasi.

Jepang sejak lama menerapkan sistem manjemen tersebut, termasuk dalam menghadapi krisis dan kedaruratan situasi maupun kondisi, seperti bencana alam berupa gempa ataupun tsunami yang akrab dengan kondisi geografisnya.

Bagaimana di Indonesia? Di negeri ini banyak organisasi menerapkan proses manajemen organisasi dari atas ke bawah (top-down) dengan struktur organisasi piramida lantaran berasumsi menerapkan model ini, maka peningkatan pengetahuan hanya oleh para manajer puncak.

Akibat proses dari atas ke bawah adalah keterbatasan lapisan bawahan untuk berinovasi dengan memposisikan manajer eselon menengah yang tidak jelas, berperilaku putus asa (frustrated and illusioned), membeku dalam hirarki organisasi.

Peranan manajer eselon menengah menjembatani kontradiksi antara apa yang menjadi harapan capaian manajer puncak dan kenyataan di masyarakat yang dilayani. Dengan kata lain, para manajer peranan puncaknya membatasi diri dalam menciptakan suatu teori/konsep garis besar (grand theory), sedangkan peranan para manajer eselon menengah aktif menciptakan suatu konsep riil yang dapat dipahami oleh eselon bawah melalui kerjasama kelompok lintas fungsional.

Inilah tantangan untuk organisasi organisasi di negeri ini, yang berada dalam persimpangan jalan (cross road) mengambil langkah mencermati kelayakan (feasibility) penerapan dari menengah ke atas dan kebawah (middle-up-down) untuk memperoleh visi baru dalam operasi yang lebih profesional etis. (*)

*) Bob Widyahartono M.A (
bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat manajemen dan ekonomi studi pembangunan, khususnya Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010