Saya melihat anak-anak di pulau terpencil yang tidak terjangkau sekolah, seharusnya berhak mengidamkan mimpi yang sama dengan anak sekolah lainnya, namun bangunan sekolah pun tidak ada, ini yang menggerakkan kami
Jakarta (ANTARA) - Mengenakan seragam, membawa bekal, berangkat awal takut terjebak macet, hujan seragam basah, buku PR tertinggal, lonceng berbunyi terlambat sudah masuk menapaki ruang kelas.

Beberapa hal yang ditakutkan para siswa yang tengah menempuh pendidikan di ruang kelas sekolah. Namun, ketakutan tersebut tidak sebanding jika melihat perjuangan para sukarelawan dan murid di Yayasan The Floating School yang diigagas oleh Rahmiana Rahman.

Setidaknya, badai, mabuk laut, hilangnya navigasi laut, karam, tenggelam, karang yang tajam, tidak dapat bersandar dan hanyut oleh gelombang laut, itulah hal yang ditakutkan ketika menjejakkan pengabdian dalam menjalankan sekolah terapung di atas kapal.

“Saya melihat anak-anak di pulau terpencil yang tidak terjangkau sekolah, seharusnya berhak mengidamkan mimpi yang sama dengan anak sekolah lainnya, namun bangunan sekolah pun tidak ada, ini yang menggerakkan kami,” kata Rahmiana dalam obrolan di Podcast ANTARA.

Rahmiana yang akrab disapa Ammy mengaku mendapatkan gagasan untuk mendirikan floating school atas dasar kepeduliannya terhadap pendidikan anak-anak Indonesia yang tidak didapat di pulau-pulau kecil Nusantara dibandingkan dengan daerah perkotaan atau pulau-pulau besar.

Berawal di daerah Pangkep dan Jeneponto,  wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki 117 pulau kecil dan hanya 87 pulaunya berpenghuni sisanya tidak, untuk membangun infrastruktur sekolah adalah hal sulit mendatangkan bahan dan alatnya, belum lagi sumber daya manusia pengajarnya.

Oleh karena itu Ammy mendirikan The Floating School dan menggalang relawan untuk dapat mengajar di pulau-pulau kecil dan terpencil tersebut setidaknya satu pekan satu kali.

Pulau Pangkep berbatasan antara Sulawesi Selatan dengan Bali di mana berjarak sekitar 10 jam mengarungi laut Sulawesi Selatan untuk dapat menuju Pulau Dewata.

Ammy adalah seorang alumnus Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Makassar (UNM) 2006, ia bersama rekan pendiri dan sukarelawan lainnya memiliki konsep pendidikan dan nilai ekonomi, yang memiliki arti mendidik dan mengajarkan kemampuan dasar bagi anak-anak untuk bisa mempelajari hal yang bisa menguntungkan segi ekonomi bagi mereka kelak.

Kapal kecil yang dimiliki Ammy setidaknya mampu menampung 50 orang di atas kapal, termasuk awak kapal dan sukrelawan fasilitator. Ia pada awalnya menargetkan sebanyak 50 siswa bisa belajar di atas kapal tersebut tiap minggu dengan periode selama enam bulan, sampai pada akhirnya dinyatakan sebagai alumnus The Floating School.

Namun setelah berlangsung, setidaknya minat anak yang tertarik hingga mencapai 90-an dengan rentang usia antara 13-20 tahun, sehingga terpaksa menjadikan antrean pengajaran bagi yang lain, selain itu keterbatasan fasilitator juga harus membuat sistem antre bergantian belajar.

Hal yang diajarkan tidak rumit, hanya berkutat pada kemampuan dasar literasi atau membaca, kemudian hobi yang anak-anak sukai agar mampu dijadikan bekal mencari penghidupan ekonomi. Selain itu, mengajarkan penggunaan teknologi modern juga diperkenalkan bagi anak-anak.

Hobi dari anak-anak yang digemari diantaranya membaca, melukis, bernyanyi, menari, merangkai kerajinan tangan dan bahasa Inggris. Untuk pengenalan teknologi diperkenalkan dengan laptop, kamera digital, dan juga penggunaan internet dengan telepon genggam.

“Ada momen haru sekaligus miris adalah, ketika anak-anak belajar dengan laptop, jangankan mengetik, untuk menyalakan tombol power saja mereka takut setengah mati, takut rusak dan sebagainya, itu hal dasar yang harus kami perkenalkan,” kata Ammy.

Namun, ada hal yang membuat pengorbanan itu terbalas. Ammy pernah terharu dan senang sejadinya ketika satu saat ia menerima pesan dari alumnus atau anak yang pernah mengikuti Floating School dan ternyata berhasil melanjutkan ke jenjang perkuliahan sesuai yang diidamkannya. Hal tersebut diketahui karena pengenalan pengetahuan dasar juga semangat ketika belajar di atas kapal apung membawa keinginan belajar yang lebih tinggi. Bagi Ammy, capaian tersebut seakan mengobarkan semangatnya untuk mengembangkan floating school lebih besar lagi, hingga kini mampu membangun kapal yang berada di Aceh.

Dampak Internet

Bukan hal mudah memulai hal tersebut, namun di luar dugaan banyak fasilitator dari para sukarelawan yang sukarela mengabdi untuk membuka jendela literasi di wilayah terpencil Indonesia.

Internet, bagi Ammu adalah kunci dalam membuka cakrawala para pemikiran sukarelawan muda. Ia mengunggah cerita dan ilustrasi melalui berbagai blog dan media sosial. Hal tersebut nampaknya menggugah para sukarelawan muda untuk terjun membantu saudara lain di pulau terpencil yang belum beruntung mendapatkan banyak fasilitas.

Akses internet ia dapatkan dari perjalanan laut, dan secara cepat ia berusaha mengabarkan pada kesempatan pertama sebelum bersandar ke pulau selanjutnya. Namun, jaringan-jaringan internet kadang tidak mudah ia temukan, ia harus menepi ke pulau terdekat hanya sekadar bertukar informasi kepada rekan-rekannya sukarelawan lain melalui jaringan dunia maya.

Ia melihat ada pulau terdekat dengan menara jaringan telekomunikasi dan ia yakini di daerah tersebut memiiki akses internet untuk informasi. Beberapa hal yang ia unggah juga bertujuan untuk mencari anak-anak yang ingin belajar di The Floating School (TFS).

“Jadi banyak juga anak-anak yang belajar di sini mengetahui informasi dari internet, yang mana dari para sukarelawan lokal memberitahukan kepada anak-anak setempat, di luar dugaan mereka kerap tidak sabar menunggu kami untuk belajar di kapal,” katanya.

Perlengkapan dan peralatan termasuk kapal ia dapatkan dari para pendonor setempat, baik berupa dana, buku, peralatan bahkan ada dari yayasan besar yang bersedia membantu memperbaiki dan mengembangkan kapal untuk belajar.

Satu kali, para siswa TFS mengadakan pameran dari prakarya meraka baik lukisan, kerajinan tangan, bahkan fotografi, hal tersebut cukup membuat takjub dari para fasilitator dan relawan setempat, meskipun itu adalah prestasi yang di luar dugaan untuk saling memberikan apreasiasi pada tiap karya.

Ammy berharap dengan adanya akses internet yang luas, pergerakan TFS lebih luas dan mampu menjangkau berbagai kalangan yang membutuhkan, setidaknya akan membantu dalam fasilitas belajar.

“Daerah terpencil, internet masih menjadi PR besar, meski beberapa titik sudah ada, kadang kecepatannya masih belum memadai, semoga ada kabar baik dari pemerintah nantinya,” katanya.


Wilayah 3T
 

Beberapa waktu sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Jhonny G Plate mengatakan bahwa ada 824 unit Base Transceiver Station (BTS) di wilayah Papua yang akan diselesaikan pada 2021-2022 guna mendukung transformasi digital.

"Pembangunan 824 titik BTS di wilayah Papua guna mendukung Program Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) bisa menjangkau 12,5 juta masyarakat secara nasional di tahun 2021," katanya.

Selain wilayah Papua, untuk wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), ia mengatakan bahwa 87 persen anggaran Kemenkominfo 2021 dialokasi khusus untuk program transformasi digital yang meliputi empat sektor yakni infrastruktur digital, ekonomi digital, masyarakat digital, dan tata kelola pemerintahan digital.

Infrastruktur digital menjadi sasaran utama guna mewujudkan tiga sektor lainnya yakni ekonomi digital, masyarakat digital, dan tata kelola pemerintahan digital.

Pembangunan BTS perlu didukung oleh pemerintah daerah agar cakupan sinyal telekomunikasi dan internet dapat mendukung pencapaian target pembangunan daerah secara optimal.

Dalam membangun dan menyediakan infrastruktur telekomunikasi di wilayah nonkomersil, tidak terbatas hanya pada pembangunan BTS di daerah 3T, namun juga menyediakan satelit multifungsi yang diberi nama SATRIA (Satelit Republik Indonesia).

Satelit ini akan melengkapi program BTS 4G di lokasi yang tidak terjangkau sinyal tower BTS dan Palapa Ring yang telah diluncurkan pada tahun 2019.

Hasil penelitian di tahun 2017, masih terdapat kurang lebih 150.000 titik layanan publik di Indonesia yang belum terkoneksi internet, padahal sudah 20 tahun operator telekomunikasi hadir di negara kita tapi masih menyisakan daerah-daerah yang tidak terjagkau sinyal. Kondisi ini membuat Indonesia berada di urutan 111 ITU ICT Development Index tahun 2017.

Dengan adanya sambungan internet dan digitalisasi maka, jendela literasi akan semakin terkikis jaraknya dengan nilai yang kecil. Selain itu akan mempermudah para pejuang literasi dan banyak melahirkan tokoh-tokoh seperti Ammy-Ammy yang lain untuk Nusantara.

Baca juga: Di pesisir Pulau Hiri-Malut, Pemkot Ternate bangun internet gratis

Baca juga: Akses internet tak memadai hambat kemajuan Pulau Enggano

Baca juga: Menkominfo: Jaringan internet Labuan Bajo-Pulau Timur sudah terhubung

Baca juga: Telkom perluas layanan internet IndiHome hingga Pulau Rote

 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan9
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021