Presiden Biden mengetahui bahwa cara tercepat untuk mengakhiri sebuah perang adalah kalah.
Kabul (ANTARA) - Kelompok bersenjata Taliban mengklaim telah merebut dua kota terbesar Afghanistan pada Kamis waktu setempat, kata sejumlah media, sementara Amerika Serikat dan Inggris akan mengirim ribuan tentara untuk membantu evakuasi staf kedutaan mereka.

Penguasaan atas Kandahar dan Herat --kota terbesar kedua dan ketiga di Afghanistan-- menjadi kemenangan terbesar Taliban sejak mereka mulai mengintensifkan serangan pada Mei.

Jatuhnya kota-kota besar adalah tanda bahwa orang-orang Afghanistan menerima Taliban, kata juru bicara kelompok itu seperti dikutip stasiun TV Al Jazeera.

Kementerian Luar Negeri AS mengatakan Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin telah berbicara dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pada Kamis.

Baca juga: Taliban kuasai perbatasan Afghanistan utara, Rusia khawatir

Mereka mengatakan pada Ghani bahwa AS "tetap berkepentingan dengan keamanan dan stabilitas Afghanistan" dan berkomitmen mendukung sebuah solusi politik atas konflik di sana.

Menanggapi kemajuan Taliban yang begitu cepat, Pentagon mengatakan mereka akan mengirim sekitar 3.000 tentara tambahan dalam 48 jam untuk membantu evakuasi staf kedutaan.

"Kami berharap dapat menarik staf diplomatik penting di Afghanistan dalam beberapa pekan ke depan," kata juru bicara Kemlu AS Ned Price, seraya menambahkan bahwa kedutaan tidak ditutup.

Seorang sumber yang memahami hal itu mengatakan tak ada jaminan kedutaan AS akan tetap dibuka.

Kemlu mengatakan mereka juga akan mempercepat penerbitan visa imigrasi khusus bagi warga Afghanistan yang telah membantu pemerintah AS di negara itu.

Pemerintah Inggris mengatakan akan mengerahkan sekitar 600 tentara untuk mengeluarkan warga negara mereka dan penerjemah lokal Afghanistan.

Baca juga: Taliban rebut Faizabad dari tangan Afghanistan

Ketika PBB memperingatkan bahwa serangan Taliban yang makin mendekati ibu kota Kabul akan menjadi "malapetaka bagi warga sipil", As dan Jerman mendesak semua warga negara mereka untuk meninggalkan Afghanistan secepatnya.

Di Qatar, utusan khusus internasional untuk Afghanistan menyebut percepatan proses perdamaian sebagai sebuah "hal yang sangat mendesak" dan menyerukan penghentian segera serangan terhadap kota-kota di sana.

Jatuhnya Kandahar dan Herat dikabarkan oleh sejumlah media, termasuk Associated Press.

"Seperti yang Anda lihat, kami berada di dalam markas polisi Herat sekarang ini," kata seorang pejuang Taliban dalam video yang dibagikan oleh juru bicara kelompok itu, Qari Yousuf Ahmadi.

Sebelumnya pada Kamis, Taliban merebut Ghazni, kota yang dilintasi jalan utama antara Kandahar dan Kabul dan berjarak sekitar 150 km barat daya dari ibu kota itu.

Pada Rabu, pejabat pertahanan AS yang mengutip pihak intelijen mengatakan Taliban dapat mengepung Kabul dalam 30 hari dan kemungkinan merebut kota tersebut dalam 90 hari.

Karena jaringan telepon putus di banyak tempat, Reuters tidak bisa segera mengontak pejabat Afghanistan untuk mengonfirmasi kota-kota mana saja yang masih dikendalikan oleh pemerintah.

Baca juga: Taliban berkomitmen pada negosiasi Doha

Membandingkan Saigon

Kecepatan dan kekuatan serangan Taliban telah memicu saling tuduh di antara orang-orang Afghanistan tentang keputusan Presiden Joe Biden untuk menarik pasukan AS dari negara itu, 20 tahun setelah mereka menyingkirkan Taliban usai serangan teroris 11 September di AS.

Biden pada Selasa mengaku tidak menyesali keputusannya, menegaskan bahwa Washington telah menghabiskan 1 triliun dolar dan kehilangan ribuan tentara selama perang paling panjang dalam sejarah AS itu.

Dia juga mengatakan AS terus memberikan dukungan udara, makanan, peralatan, dan gaji bagi tentara Afghanistan.

Pemimpin Partai Republik di Senat AS Mitch McConnel mengatakan strategi Biden untuk keluar dari konflik Afghanistan dengan cara semacam itu membawa AS "bergeser menuju sekuel yang lebih buruk dari kejatuhan Saigon yang memalukan pada 1975."

"Presiden Biden mengetahui bahwa cara tercepat untuk mengakhiri sebuah perang adalah kalah," kata McConnel, sambil mendesak Biden untuk memberikan dukungan lebih kepada tentara Afghanistan.

"Tanpa itu, al Qaida dan Taliban akan merayakan 20 tahun serangan 11 September dengan membakar habis kedutaan kita di Kabul."

Mantan juru bicara Kemlu Morgan Ortagus mengatakan langkah Biden adalah "kegagalan besar kebijakan luar negeri dengan konsekuensi generasi, hanya dalam waktu kurang dari tujuh bulan memimpin pemerintahan ini. Segalanya mengarah pada keruntuhan total."

Baca juga: Taliban perkuat kendali atas Afghanistan utara

Kekerasan vs Diplomasi

Dalam perjanjian dengan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump tahun lalu, Taliban setuju untuk tidak menyerang pasukan asing pimpinan AS saat mereka mundur. Kelompok pemberontak itu juga berkomitmen untuk membicarakan perdamaian.

Melihat cepatnya kemajuan Taliban, prospek bagi tekanan diplomasi untuk mempengaruhi situasi di sana tampaknya terbatas, meski juru bicara Taliban mengatakan pada Al Jazeera: "Kami tidak akan menutup pintu ke jalur politik."

Al Jazeera melaporkan seorang sumber pemerintah mengatakan mereka telah menawari Taliban bagian kekuasaan jika kekerasan dihentikan. Tidak dijelaskan sejauh mana tawaran itu berbeda dari syarat-syarat yang sudah dibicarakan kedua pihak saat berunding di Qatar.

Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan dirinya tidak mengetahui tawaran semacam itu dan menolak pembagian kekuasaan.

"Kami tak bisa menerima tawaran apa pun semacam ini karena kami tidak ingin menjadi mitra pemerintah Kabul. Kami tidak akan tinggal atau bekerja sehari pun dengan (kondisi seperti) itu," kata dia.

Utusan khusus internasional di Doha, yang bertemu dengan perwakilan pemerintah Afghanistan dan Taliban, menegaskan kembali bahwa pemodal asing tak akan mengakui pemerintah mana pun di Afghanistan yang memaksakan penggunaan kekuatan militer.

Sumber: Reuters

Baca juga: Taliban rebut Ghazni, makin dekat ke ibu kota Aghanistan
Baca juga: Taliban bisa rebut Kabul dalam waktu 90 hari

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021