Jakarta (ANTARA News) - Potongan sejarah masa kecil Obama yang pernah empat tahun tinggal di Jakarta (1967 – 1971) nyaris jadi bumerang bagi dirinya. Atas nama romantisme, Barack Hussein Obama Jr. alias Barry yang pernah tinggal di Jakarta dan menuntut ilmu di Sekolah Dasar (SD) Menteng, Jakarta Pusat, ditagih untuk membantu kesulitan Indonesia.

Meskipun di Jakarta dia cuma "numpang" makan bakso, sate dan rambutan selama 20 jam, akan tetapi Barry mau dihadang dengan tumpukan daftar keinginan atas kompleksitas masalah di Indonesia.

Deposito nostalgia yang singkat itu -empat tahun masa kanak-kanak di Indonesia- dipaket sebagai instrumen kapitalisasi tingkat negara. Secara manusiawi sih, mimpi itu sah-sah saja. Yang rada berlebihan, karena romantisme masa kecil Obama ada yang menganggapnya sebagai mantra ampuh menekan Amerika Serikat (AS).

Berbagai kebijakan AS yang merugikan Indonesia, terutama praktik monopoli perusahaan pengelolaan pertambangan di Indonesia, sudah diinventarisasi dalam daftar tukar tambah dosa Negeri Paman Sam itu.

Nyatanya, beban global sebagai pemimpin tertinggi sebuah negara adidaya, tetap keukeh mewarnai sikap Barry selama di Jakarta. Postur kapitalis Amerika yang mengklaim diri sebagai polisi dunia tidak berubah --ya, Amerika tetap Amerika-- meskipun Obama di depan sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) Depok menyebut kata: “Pulang kampung nih."

Kunjungan singkat yang dipersingkat (bandingkan di India selama tiga hari dan Seoul dua hari), mengesankan agak kurang pentingnya Indonesia di mata Amerika. Masjid Istiqlal sebagai simbol kebesaran Muslim, dan UI sebagai markas intelektual muda Indonesia masa depan, boleh jadi hanya sebagai perkuatan dinding latar belakang (backdrop) siaran televisi CNN ke seluruh dunia. Ini untuk menggambarkan Obama diterima secara baik oleh rakyat Indonesia, yang diperkuat dengan dekorasi salam, Assalamu Alaikum.

Bhinneka Tunggal Ika

Ironisnya, karena dari si Barry itu pulalah bangsa Indonesia melalui layar kaca televisi yang dipancarkan ke seluruh dunia, diingatkan, akan arti dan makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai akar budaya dan filosofi bangsa Indonesia sebagai mahkota pluralisme.

Di mata Amerika nampaknya bukan cuma gangguan Islam radikal, yang disebut teroris, harus diwaspadai. Namun pendegradasian semangat pluralisme juga menjadi perhatian serius. Tidak boleh ada penindasan mayoritas terhadap minoritas. Semuanya sama dan sederajat di hadapan konstitusi. Sesungguhnya itulah makna dan pesan dib alik ucapan: "Sate, bakso, enak yaa..."

Sebagai Presiden, di dalam pikiran dan jiwa Obama, konstitusi negaranya adalah episentrum nasionalisme bangsa yang harus dibela mati-matian. Amerika selalu hadir ketika warganegara memerlukannya.

Lawatan Obama ke beberapa kawasan untuk menegakkan kehormatan Amerika, mengingatkan kegigihan Rambo dalam kampanye pencitraan untuk membangkitkan kembali patriotisme AS yang rontok dalam perang Vietnam. Pesan yang dikirim melalui film layar lebar itu puluhan tahun yang lalu berhasil merehabilitasi defisit jati diri bangsa Amerika di mata dunia.

Ritme retorika Obama yang memukau khalayak, menciptakan sebuah tontonan magis yang setara dengan kualitas seorang teaterawan kelas dunia. Obama memang adalah seorang teaterawan politik di panggung besar berskala global. Kemahiran memainkan tempo pengucapan kata demi kata membuatnya mampu menggugah pendengarnya histeris.

Istana dan kampus UI Depok adalah salah satu panggung kolosal Obama yang menyempurnakan kemampuan akting politiknya yang prima dengan kesadaran lingkungan yang tinggi. Contohnya, ketika berada di Masjid Istiqlal, maka Obama memilih konsep lakon mini kata, akan tetapi sarat makna.

Ancaman China

Didukung bentuk badan yang tinggi semampai, Obama nampak nyantai. Dia berhasil menyembunyikan penderitaan rakyat Amerika, yang nyaris dimangsa mimpi buruk sejak terjadi krisis global 2008, akibat ambruknya perusahaan sekuritas keempat terbesar di Amerika, Lehmans Brother’s.

Nilai mata uang Amerika ambruk, perdagangan dan industri terpuruk, pengangguran merebak. Rakyat Amerika traumatis. Obama harus memutar otak. Rakyat Amerika diancam hantu resesi ekonomi global yang bermula di negaranya sendiri. Upaya penyelamatan ibarat berada pesawat yang sedang oleng itu menjadi beban psikologis dan global bagi Obama. Lawan politiknya, partai Republik terus-terusan mengganggunya. Pada pemilu sela 2 November 2010, Republik yang menang. Obama dan Demokrat terpukul secara politis.

Lantas bagaimana dengan ancaman yang dari luar? Sumbernya adalah geliat sang naga China. Negara itulah musuh nyata Amerika di bidang ekonomi. China memainkan “bom" pelemahan mata uangnya (Yuan) terus merangsek menekan dolar AS dalam arena perang nilai tukar mata uang (war of currency). Negara yang berpenduduk satu miliar lebih, dengan laju pertumbuhan ekonomi yang masif itu menempati tempat kedua sesudah Amerika, sehingga membuat Obama juga kerepotan.

Komplikasi permasalahan tidak membuat Obama menyerah. Obama tidak gentar menghadapi ulah premanisme internasional. Dia menjemput bola, melalui konsolidasi lintas kawasan. Obama memilih panggung internasional sebagai medan laga penyelamatan citra Amerika.

Di awal pemerintahannya bertandang ke Mesir dan Turki, yang dianggap sebagai pusat peradaban Islam. Isu perdamaian dunia dan teror dari Islam radikal menjadi agenda pertamanya untuk merangkul dukungan dunia Islam. Itu adalah harga yang harus dibayar akibat penghancuran Irak, invasi ke Afghanistan dan ancaman kepada Iran. Sepak terjang pendahulu Obama, George W. Bush Jr., itulah yang menciptakan kebencian umat Islam kepada Amerika.

Barack Hussein Obama Jr. bercitra Muslim, bahkan salah satu jajak pendapat di AS sebagian rakyatnya yakin Obama penganut paham Islam. Apalagi, sang ayah kandungnya Obama, yang keturunan Kenya, dan ayah tirinya pernah tinggal di Indonesia, Lolo Sutoro, adalah penganut Islam. Di sinilah Barry mencoba menolong keadaan.

Untuk mengerem perluasan jangkauan sang naga China, Obama mendekati India agar mau membuka pasar untuk produk Amerika dan berinvestasi di AS. Bahkan, AS sebelumnya membuka kerja sama nuklir dengan India, padahal antipati terhadap nuklir Iran.

Obama merangkul Korea Selatan untuk meloloskan impor sapi Amerika. Kebetulan Korea Selatan sedang jengkel dan marah dengan China karena main mata dengan Korea Utara. Obama juga menggandeng Jepang yang sedang konflik dengan China dalam kasus sengketa Pulau Senkaku di wilayah Jepang dan Pulau Diaoyu di kawasan China. Kesediaan negara-negara tersebut bekerja sama bisa mengurangi pelestarian mimpi buruk pengangguran di Amerika.

Di mana Indonesia?

Di tempat yang mana di Indonesia yang jadi bagian diri Obama? Bagi pengeritik Amerika di Indonesia, maka dominasi pengusaha Paman Sam secara tidak adil, atas sejumlah pertambangan di Indonesia, barangkali itu yang dimaksud Obama dengan perkataan: Saya adalah bagian dari Indonesia”. Ini sebenarnya bukan taktik baru.

John Fitzgerald Kennedy saat menjadi Presiden AS di tengah rakyat Berlin Barat, Jerman Barat, pada 26 Juni 1963 mengemukakankan: "Ich bin ein Berliner." (Saya adalah warga Jerman). Kennedy menyatakan hal itu untuk merebut simpati warga Jerman Barat, sekaligus menohok Uni Soviet yang menguasai Berlin Timur, di belahan Jerman Timur. Ia juga membuat bangsa Jerman lupa bahwa negerinya kalah perang dan diluluhlantakan Amerika saat mengakhiri Perang Dunia II.

Adalah nama-nama besar, seperti Freeport, Exxon Mobil, Caltex dan Newmont untuk menyebut beberapa konglomerat Amerika yang beroperasi di Indonesia di bidang komoditas strategis. Itu ibarat duri dalam daging yang tidak pernah bisa diatasi, meskipun Amerika dan Indonesia sudah beberapa kali mengadakan pergantian presiden.

Prestasi Indonesia di mata dunia boleh jadi adalah keberhasilan polisi Indonesia menembak mati sejumlah teroris. Kecekatan itu mendapat pengakuan Amerika dan sekutunya, terutama Australia. Demikian cekatannya, sehingga sejumlah kalangan ada yang menyesalkan, mengapa hampir semua ditembak mati di tempat tanpa diadili.

Ketika Obama memberi pencerahan tentang Bhinneka Tunggal Ika dan juga tentang sate dan nasi goreng, maka kedua ungkapan itu hanya bisa jalan di tempat. Terlebih lagi setelah Obama secara tegas mengatakan, dirinya datang tidak untuk melestarikan romantisme, melainkan mengajak bangsa Indonesia untuk fokus melihat ke masa depan.

Obama sekarang sudah pulang. Kita masih sibuk meraba dan mencari tahu, “Apa sih sesungguhnya makna kedatangan sang tamu agung itu?”

Di atas langit Jakarta yang kelabu pada siang hari Rabu, 10 November 2010, pesawat Air Force One menerbangkan Obama menuju Seoul, Korea Selatan. Obama ibarat melayang di atas Taman Makam Pahlawan Kalibata yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. (*)

*) Zainal Bintang (bintang1246@yahoo.com) adalah wartawan senior; dan pemerhati masalah sosial budaya.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010