Jakarta (ANTARA) - Sudah lewat masa di mana pebisnis fesyen bisa bertahan hanya mengandalkan desain menarik dan busana-busana menawan. Mereka dituntut untuk berkembang mengikuti zaman dan keadaan bila tidak ingin ketinggalan di tengah persaingan.

Pandemi COVID-19 membuat pemasukan jenama fesyen Nona berkurang secara signifikan karena dulu mereka mengandalkan penjualan di toko fisik atau bazar-bazar.

"Ketika pandemi itu terjadi memang saya sudah merasakan pentingnya menguatkan online presence," kata pendiri jenama fesyen Nona, Andani Agni Putri, kepada ANTARA.

Perancang yang dulunya engineer perminyakan ini fokus merancang strategi pemasaran secara daring.

Rasanya kurang sreg membeli baju tanpa melihatnya dengan mata kepala sendiri, memegang bahannya, atau mencobanya untuk melihat apakah busana itu cocok di tubuh. Itulah kekosongan yang dirasa konsumen ketika harus berbelanja baju secara daring. Andani mengakui tidak mudah mengisi kekosongan tersebut.

Tantangan pertama adalah menyiapkan foto-foto produk yang bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Sebisa mungkin, dia ingin konsumen bisa melihat detail-detail produk seperti layaknya berbelanja langsung di toko. Deskripsi produk dibuat secara detail agar konsumen mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Ini meminimalkan risiko pengembalian atau tukar barang karena yang datang ke tangan konsumen ternyata tidak sesuai harapan.

"Karena online, mau tidak mau kita enggak bisa kasih produk fisik seperti (jual) offline. Kita harus memikirkan bagaimana customer bisa merasakan kualitasnya secara visual. Harus memikirkan bagaimana merepresentasikan produk secara visual, itu yang cukup menantang," tutur pebisnis yang telah membangun Nona sejak 2017.

Baca juga: Greta Thunberg buka suara soal "greenwashing" hingga pakaian miliknya

Baca juga: Modis di rumah saja dengan koleksi retro piknik 1990-an


Membangun kedekatan dengan konsumen juga salah satu kunci agar jenama itu bisa tetap dekat di hati pencinta fesyen. Sebagai pengganti tatap muka yang bisa terjadi di toko, upaya mendekatkan diri dilakukan lewat kanal-kanal media sosial. Dia tidak mau sekadar berjualan.

"Emotional relevance itu penting karena membuat follower tetap engage dengan media sosial dan marketing tools Nona. Kami merasa kalau cuma hard selling dan komunikasi satu arah, hubungan itu tidak bisa terbentuk dan orang juga cepat jenuh," jelas dia.

Andani tidak menampik pandemi membuat sebagian konsumen berkurang karena prioritas utama di masa sulit adalah memenuhi kebutuhan primer. Tidak semua orang punya privilese untuk berbelanja baju di masa seperti ini. Namun dia melihat ada sisi lain dari pandemi yang harus disyukuri: potensi konsumen baru. Penggunaan gawai dan internet yang semakin melekat dalam keseharian membuat iklan daring lebih efektif, lebih banyak orang yang bisa dijangkau saat mengiklankan produk. Ditambah lagi, konsumen juga mau tidak mau harus belajar dan membiasakan diri belanja secara daring.

"Karena orang sekarang lebih berani beli baju, jadi ada kustomer baru juga dari mereka yang biasanya cuma beli offline dan sekarang beli online, customer new normal," katanya.

Dunia digital yang sangat dinamis membuat Andani tidak bisa lengah. Hal-hal baru selalu harus dipelajari agar bisa bersaing. Kemampuan beradaptasi juga krusial.

"Kita juga harus selalu bisa membuka wawasan, apa yang sedang trending di media sosial, apa yang sedang dibahas, social culture dan tren apa yang sedang terjadi."

"Sebagai pelaku bisnis kita harus tahu bukan cuma fesyen saja, tapi semua yang terjadi di masyarakat," ungkap Andani.

Dia berharap pemerintah memberikan dukungan kepada pelaku UMKM melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan agar para pengusaha kecil bisa tetap menjalankan usaha di tengah daya beli yang menurun. Termasuk keringanan pajak agar pebisnis-pebisnis sepertinya bisa punya arus kas yang sehat dan membayar gaji karyawan di saat pemasukan turun.

Andani pun mengharapkan pemerintah untuk membantu UMKM yang berpotensi mengekspor produknya ke mancanegara.

Iid Fitriaditya, salah satu pendiri brand busana ibu menyusui Nyonya Nursing Wear, turut merasakan kesulitan mengelola bisnis akibat pandemi virus corona. Sebelum pandemi, jenama yang berdiri sejak 2013 itu bisa lebih leluasa dalam meraih pasar.

"Keadaan ekonomi saat itu memungkinkan kita bisa memprediksi keadaan dan membuat strategi lebih mudah," kata Iid.

Ketahanan finansial bisnis brand tersebut hanya bertahan beberapa bulan di tengah kemerosotan omzet kala pandemi terasa di Indonesia. Sandang tak lagi jadi prioritas utama di tengah masyarakat yang panik memenuhi kebutuhan primer di awal pandemi membuat perputaran uang di pasar bidang fesyen melambat.

"Omzet kami turun 60-70 persen, tentu saja membuat cash flow terganggu, yang kalau itu terjadi berkepanjangan bisa membunuh UMKM."

Brand tersebut berusaha menyikapi kebijakan pemerintah dengan kepala dingin. Tantangan yang paling besar adalah memprediksi kebutuhan pasar di masa depan. Mereka kemudian memilih untuk "riding the wave", memanfaatkan tren pemasaran yang sedang berjalan untuk mendapatkan traffic.

"Tentu saja memanfaatkan tren harus cepat dilakukan jika ingin menarik perhatian konsumen. Tren kebutuhan masyarakat tentu saja masih ada di sektor kesehatan, yang kami lakukan adalah beradaptasi dengan menggunakan bahan pakaian anti bakteri sebagan value tambahan di produk Nyonya Nursing Wear untuk tetap menarik minat pasar."

Dia mengakui keadaan bisnisnya belum stabil karena kebijakan yang diberlakukan pemerintah sangat mempengaruhi pasar. Oleh karena itu, pihaknya mencoba "menciptakan permintaan" lewat edukasi seputar pentingnya Air Susu Ibu, menyajikan informasi terkait itu di media sosial juga mengundang para ahli untuk bicara soal tema terkait dalam fitur siaran langsung di media sosial.

"Selain itu kolaborasi dengan brand lain terus dilakukan, baik itu dengan brand lokal maupun internasional seperti Disney."

Adaptasi digital tidak terlalu sulit bagi Nyonya Nursing Wear, sebab sejak awal mereka telah gencar melakukan pemasaran lewat media sosial dan lokapasar.

"Analisa dan evaluasi dalam pemasaran digital menjadi sangat penting agar budget yang dikeluarkan efisien dan tepat sasaran. Terus meng-update algoritma media sosial dalam meraih traffic secara organik menjadi kunci bertahan selain menggunakan iklan berbayar."

Adaptasi digital, syarat wajib pebisnis jika ingin mempertahankan keberadaan, telah berkali-kali disinggung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.

Sandiaga Uno mengatakan akan melanjutkan dan mempercepat program akselerasi digital bagi pelaku ekonomi kreatif.

Menurut Sandiaga, digitalisasi pelaku ekonomi kreatif harus didukung dengan pelaksanaan program konkret, di antaranya Bangga Buatan Indonesia yang dilaksanakan secara kolaboratif oleh kementerian dan lembaga terkait.

“Bangga Buatan Indonesia ini memiliki target mendigitalisasi 30 juta pelaku UMKM sebelum tahun 2023,” kata Sandiaga.

Per Agustus, sudah lebih dari 14 juta UMKM atau 22 persen dari total UMKM yang bergabung dengan aplikasi e-commerce.

Baca juga: Kemenperin bikin inkubator bisnis cetak IKM fesyen dan kriya tangguh

Baca juga: Fesyen UKM Indonesia tampil di MAGIC Fashion Trade Show AS

Baca juga: Frank Ocean luncurkan produk fesyen

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021