Jakarta (ANTARA) - Sudah sekitar 1,5 tahun Indonesia menghadapi pandemi COVID-19. Tampaknya, belum ada tanda-tanda virus yang menyerang saluran pernapasan tersebut akan betul-betul berakhir.

Bahkan, wacana hidup berdampingan dengan COVID-19 pun sempat diramalkan oleh Presiden Jokowi sebelum adanya vaksin yang diyakini efektif mengatasi virus yang diketahui pertama kali menjangkit di salah satu pasar tradisional di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.

Dalam rentang waktu sekitar 1,5 tahun, telah banyak upaya dan langkah-langkah nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menangani COVID-19.

Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro, PPKM darurat hingga PPKM berlevel.

Kebijakan yang diterapkan itu juga diiringi dengan berbagai perlindungan sosial hingga pemberian insentif kepada masyarakat serta pelaku usaha guna menghadapi amukan pandemi COVID-19.

Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-76 Republik Indonesia, Ibu Pertiwi masih diselimuti rasa cemas terpapar COVID-19.

Hingga Selasa (17/8), berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19 jumlah kasus aktif sebanyak 358.357 jiwa, kasus konfirmasi sebanyak 3.892.479, pasien yang berhasil pulih atau sembuh yakni 3.414.109 orang dan meninggal dunia sudah mencapai 120.013 jiwa.

Dalam menjalankan berbagai kebijakan penanganan COVID-19, pemerintah (eksekutif) dibantu sekaligus diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai lembaga legislatif, para wakil rakyat memiliki fungsi mengawasi program yang diterapkan pemerintah apakah betul-betul efektif dan telah mencapai target.

Sebagai contoh, pengawasan percepatan vaksinasi di daerah. Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan ialah mendatangi langsung masyarakat dan memastikan apakah vaksinasi terealisasi atau tidak, sudah merata atau tidak dan lain sebagainya.

Anggota Komisi IX DPR RI Ratu Ngadu Bonu Wulla mengharapkan program vaksinasi ini merata dan adanya akselerasi vaksinasi. Kepastian percepatan program vaksinasi terealisasi hingga ke daerah-daerah terpencil dan terpelosok, adalah ikhtiar untuk mencapai kekebalan komunal atau disebut juga herd immunity.

Apalagi, saat ini angka vaksinasi Indonesia untuk mencapai kekebalan komunal masih tergolong jauh. Per Selasa (17/8) baru sekitar 29.159.049 orang yang telah menerima dosis lengkap.

Sedangkan masyarakat yang baru menerima dosis pertama berjumlah 54.982.550 orang. Sementara, untuk target atau sasaran vaksinasi nasional ialah 208.265.720 jiwa. Dari data itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia mesti harus ekstra berjuang agar target vaksinasi secara nasional dapat terwujud.

Masih belum merata dan belum maksimalnya vaksinasi di lapangan, diakui oleh wakil rakyat dari Fraksi NasDem tersebut. Hal itu ia temukan saat melakukan serangkaian kunjungan kerja atau menyerap aspirasi ke masyarakat.

Di sela-sela reses, Ratu mengaku selalu mengingatkan masyarakat agar mau mengikuti vaksinasi, sebab salah satu kendala percepatan vaksinasi ialah adanya penolakan dari masyarakat.

Hal itu diperparah dengan banyak hoaks atau informasi bohong yang berseliweran tentang vaksin. Jika masyarakat sudah diedukasi tentang pentingnya vaksinasi, maka kewajiban atau tugas utama yang harus dilakukan pemerintah terutama sektor kesehatan ialah menyiapkan sumber daya manusia dan dosis vaksin.

Dia menyebut berbagai temuan dan kekurangan penanganan COVID-19 memang harus dikritik. Akan tetapi, untuk membangun Indonesia, kritik saja tidak cukup butuh solusi dan dukungan semua pihak agar pandemi segera berakhir.

Selain stok vaksin yang masih terbatas, Ratu juga menyoroti masih tingginya tarif tes usap yang mencapai Rp900 ribu. Padahal, salah satu upaya nyata memutus mata rantai penularan virus ialah dengan meningkatkan "testing" atau penelusuran kontak erat, "tracing" tindak lanjut berupa perawatan pasien COVID-19 dan "treatment" yakni upaya utama penanganan COVID-19.

Harga tes usap yang masih tergolong sangat tinggi dapat berimbas pada batasan pelacakan kasus COVID-19. Sebab, secara mandiri masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan tes usap karena biayanya yang sangat mahal.

Harga tes usap yang tergolong mahal, beberapa waktu terakhir juga mendapat sorotan publik termasuk oleh Presiden Jokowi. Mantan Wali Kota Solo tersebut mengaku telah menghubungi Menteri Kesehatan dan meminta agar biaya tes usap berkisar Rp450 ribu hingga Rp550 ribu.

Tingginya tarif tes usap memang menjadi sebuah ironi. Di satu sisi, Indonesia berjibaku menangani COVID-19, namun di sisi lain harga tes usap dinilai sangat tidak terjangkau.

Jika membandingkan biaya tes usap di Indonesia dengan negara lain misalnya India, maka akan ditemukan perbandingan harga yang mencolok. Di negara berjuluk Anak Benua tersebut, biaya tes usap hanya sekitar Rp100 ribu.

Oleh sebab itu, jika pemerintah serius dan komitmen menangani COVID-19, sudah seharusnya tarif tes usap diturunkan hingga bisa terjangkau oleh masyarakat.

Dengan demikian, secara mandiri diyakini masyarakat akan berbondong-bondong memeriksakan diri dan rantai penularan virus pun dapat segera diputus.

"Tingginya harga PCR ini berdampak pada seluruh sektor kehidupan," kata politisi NasDem tersebut.

Meskipun Presiden sudah memerintahkan harga tes usap turun dari Rp900 ribu menjadi Rp450 ribu hingga Rp550 ribu, namun Komisi IX DPR akan berusaha supaya harga tersebut bisa ditekan lagi.

Baca juga: Masih ada jalan atasi pandemi COVID-19

Komitmen pemimpin
Menurut epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat Defriman Djafri Ph.D salah satu kelemahan dalam penanganan COVID-19 ialah kurangnya komitmen yang tegas dan jelas dari seorang pemimpin.

Bila pemimpin suatu daerah tegas dan komitmen menjalankan langkah-langkah atau kebijakan penanganan COVID-19, maka diyakini penyebaran virus tidak akan separah ini.

Defriman menilai kepala daerah paling mengetahui kondisi suatu wilayahnya. Namun, fakta yang terjadi ialah acap kali kepala daerah mengatakan hanya mengikuti arahan dari provinsi atau pusat.

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut juga mewanti-wanti jangan sampai penanganan COVID-19 hanya fokus di hulu tetapi lupa di hilir. Akibatnya, tenaga kesehatan bisa kewalahan mengurusi pasien, keterbatasan tempat tidur, kelangkaan tabung oksigen dan lain sebagainya.

Selain itu, inkonsisten juga kerap terjadi dalam penanganan COVID-19. Sebagai contoh ketika pemerintah pusat mengetatkan aturan, namun di provinsi, kabupaten atau kota malah melonggarkan kebijakan dan sebaliknya.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh masing-masing kepala daerah ialah memberdayakan modal sosial yang ada di masyarakat. Pemberdayaan tokoh adat, tokoh agama, dan pemangku kepentingan lain. Jika hal itu dijalankan secara maksimal, maka akan lebih memudahkan penanganan COVID-19.

Terkait kebijakan PPKM saat ini, peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut mengkritisi langkah pemerintah yang mengeluarkan indikator kematian dari PPKM.

Indikator atau jumlah kematian akibat COVID-19 seharusnya menjadi tolok ukur oleh pemerintah dalam menerapkan kebijakan PPKM. Dalam konteks kebencanaan, angka kesakitan dan mortalitas atau kematian juga menjadi indikator penting.

Jika keakuratan data menjadi alasan indikator kematian dihilangkan dari PPKM level 4, maka seharusnya data yang diperbaiki bukan malah menghilangkan salah satu indikatornya.

Ia mengingatkan data-data yang dilaporkan pemerintah daerah setiap hari ke pusat, harus dinilai berapa lama keterlambatan waktu saat seseorang terinfeksi sampai dilaporkan ke Satgas Penanganan COVID-19 daerah.

Sebagai contoh, penelitian yang telah dilakukannya di Sumatera Barat, rata-rata seseorang yang terinfeksi COVID-19 hingga dilaporkan ke Satgas daerah berkisar delapan hingga 12 hari. Artinya, data yang ditampilkan hari ini merupakan gambaran data delapan hingga 12 hari lalu.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia paham tentang keterlambatan waktu tersebut, mulai dari seseorang terinfeksi COVID-19 hingga dilaporkan ke Satgas setempat.

Dengan analisa dan evaluasi seperti itu, maka pemerintah akan mengetahui kapan jumlah orang terinfeksi paling banyak, selain itu, hal tersebut juga bisa menganalisa faktor-faktor penyebab seseorang terinfeksi selama kurun waktu delapan hingga 12 hari.

Soal vaksinasi, ia menilai animo masyarakat mulai tinggi. Peningkatan itu juga butuh analisa mendalam apakah ada kaitan antara kebijakan syarat kepengurusan administrasi dengan vaksinasi atau tidak.

Kesadaran masyarakat untuk mengikuti vaksinasi perlu dicari tahu. Selain bisa jadi karena adanya unsur "keterpaksaan" sebagai syarat administrasi, misal syarat masuk ke tempat-tempat tertentu, bisa juga dikarenakan masyarakat mulai khawatir terpapar dengan varian Delta sehingga mau mengikuti vaksinasi.

Melalui sejumlah upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 di Tanah Air, diharapkan momentum hari kemerdekaan membawa Indonesia "merdeka" dari virus yang telah mengubah wajah Ibu Pertiwi sekitar 1,5 tahun terakhir.

Baca juga: Peringatan Kemerdekaan momentum pemersatu bangsa lawan pandemi

Baca juga: SBY sebut bangsa Indonesia harus yakin badai akan berlalu

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021