Boyolali (ANTARA News) - Suara gemuruh dari puncak Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sering terdengar dan hal itu sudah terbiasa dirasakan oleh warga lereng gunung itu.

Merapi termasuk salah satu gunung yang teraktif di dunia dan terletak di empat kabupaten, yakni Boyolali, Magelang, Klaten, di Provinsi Jateng, dan Sleman, DI Yogyakarta.

Jika Gunung Merapi terjadi erupsi, maka empat wilayah kabupaten tersebut yang langsung terkena dampaknya. Padahal di lereng gunung itu, terdapat ratusan ribu jiwa penduduk yang terancam keselamatannya.

Warga Kabupaten Boyolali misalnya yang masuk wilayah rawan bencana (KRB) III Gunung Merapi di antaranya, Desa Tlogolele, Klakah, Jrakah, Kecamatan Selo, dan Desa Cluntang, Sangup di Musuk.

Karena, warga di sejumlah desa tersebut sudah sering mendengar dan melihat aktivitas Merapi setiap hari, maka mereka sudah terbiasa. Bahkan, warga sekitar lereng Merapi menyatu dengan lingkungan alam itu.

Selain itu, warga juga memiliki kearifan yang kental melekat sebagai kepercayaan mereka, sehingga mereka juga tahu jika Merapi akan murka dengan tanda-tanda keanehan alam tidak seperti biasanya.

Meski demikian, pemerintah melalui Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, secara khusus memantau perkembangan gunung itu. Bahkan, lembaga itu juga menempatkan pos-pos pengamatan di setiap kabupaten di lereng Gunung Merapi, dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan melalu data alat elektronik seismograf.

BPPTK inilah yang akan melaporkan status Gunung Merapi itu, dari aktif normal meningkat menjadi waspada, kemudian siaga. Status tertinggi awas, maka warga yang di lereng gunung diminta untuk mengungsi, karena Merapi dalam kondisi bahaya.

Menurut petugas di Pos Pengamatan Gunung Merapi Desa Jrakah, Selo, Boyolali, Tri Mujianto, BPPTK memberikan surat pemberitahuan status itu, ke kepada pemerintah daerah setempat. Pemkab akan menindaklanjuti kepada warganya yang terancam erupsi Gunung Merapi.

"Kondisi awas ini, jika terjadi erupsi pos Jrakah akan membunyikan sirine tanda bahaya. Warga secepat mungkin untuk menyelamatkan diri ke tempat yang aman," kata Tri.

Namun, kata Tri, kalau sudah status awas, warga yang masuk kawasan rawan bencana seperti Desa Tlogolele, Klakah, dan Jrakah di Selo, harus sudah meningglkan kampung untuk mengungsi.

Menurut Tri, Merapi terjadi erupsi sangat besar, pada tanggal 26 Oktober 2010 dini hari, membuat dirinya meninggalkan Pos Jrakah bersama warga lainnya untuk menyelamatkan diri ke arah Merbabu.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Boyolali, Sumantri, sejak status Merapi dinyatakan siaga oleh BPPTK, pemkab melalui pemerintah Kecamatan dan desa terus gencar melakuakn sosialisasi terhadap warga sekitar.

Selain itu, Pemkab juga telah melakukan persiapan penanganan bencana Merapi seperti sosialisasi, menyediakan posko pengungsian, logistik, obat-obatan, alat dapur umum, jalan dan tanda evakuasi untuk memudahkan warga saat Bencana terjadi.

Begitu juga, sejumlah relawan dari berbagai elemen masyarakat, TNI, Kepolisian, SAR, dan satuan kerja pemkab Boyolali.

Komandan Distrik Militer 0724 Boyolali, Soekoso Wahyudi, juga sebagai koordinator lapangan penanganan bencana menjelaskan, pihaknya telah mempersiapkan tempat pengungsian sementara di setiap desa yang masuk KRB.

Selain itu, kata Dandim, tempat pengungsian akhir, juga telah disiapkan di Lapangan Desa Samiran, Kecamatan Selo, seperti barak pengungsian, alat transportasi evakuasi, alat dapur umum, logistik, obat-obatan, dan ratusuan personel baik dari relawan, SAR, Kepolisian, dan Kesbanglimas.

"Jika Merapi terus meningkat kondisi, pihaknya bergerak mengevakuasi warga," katanya.

Namun, ribuan warga di lereng Merapi yang masuk KRB, saat terjadi erupsi tahun ini, banyak yang panik dan ketakutan berlarian untuk menyelamatkan diri.

Padahal, Merapi terjadi erupsi tahun 2006, pemkab berusaha melakukan pendekatan kepada warga lereng gunung untuk mengungsi justru tidak digubris. Warga percaya erupsi tidak akan mengenai desanya, sehingga mereka tetap bertahan tinggal di rumah masing-masing.

Bupati Boyolali Seno Samodro mengatakan, warga di lereng Gunung Merapi, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, mulai menyadari tentang bahaya yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Merapi.

"Jumlah warga yang mengungsi di Boyolali, akibat bencana Merapi di luar perkiraannya," kata Bupati.

Menurut Bupati, ada belasan ribu pengungsi di antaranya, sekitar 8.000 jiwa menempati di TPA Samiran akibat bencana Merapi.

"Saya kaget jumlah pengungsi sebanyak itu. Namun, saya menyambut gembira warga sudah mulai sadar mau mengungsi demi keselamatan jiwanya. Tahun-tahun sebelumnya mereka sulit untuk mengungsi," kata Bupati.

Menurut ingatan Bupati, hal tersebut merupakan yang pertama kali dalam sejarah, warga mau sukarela untuk mengungsi.

Selain itu, pihaknya juga mengapresiasi positif pemberitaan media massa dalam memberikan penyadaran ancaman bencana bagi keselamatan jiwa mereka.

Menurut Bupati, penanganan pengungsi tersebut sangat penting, terutama masalah logistik tidak boleh kurang, kondisi kesehatan, dan masalah pendidikan bagi anak-anak di pengungsian.

"Kami telah melibatkan 25 satuan kerja di lingkungan pemkab untuk turun ke lapangan membantu warga di pengungsian," kata Bupati.

Bupati menjelaskan, meski sempat terjadi kendala kurang meratanya pendistribusian logistik, tetapi hal itu, hanya soal teknis lapangan.

"Kami meminta agar seluruh Satker untuk terlibat sesuai dengan Tupoksinya," kata Bupati.

Namun, Bupati berharap warga tetap bersabar dan tetap bertahan di pengungsian, karena untuk menangani ribuan pengungsi pasti ada kekurangannya.

Kewalahan

Pemerintah Kabupaten Boyolali, mulai kewalahan menampung para pengungsi yang jumlahnya terus bertambah dan mencapai puluhan ribu jiwa akibat bencana letusan Gunung Merapi.

Menurut Wakil Bupati Boyolali Agus Purmanto, jumlah pengungsi bencana Merapi di Boyolali tidak terduga mencapai sekitar 60 ribu jiwa, sehingga kehabisan tempat untuk penampungan.

Menurut dia, para pengungsi selain ditempatkan di gedung-gedung pemerintahan, GOR, rumah warga, juga menempati gedung-gedung sekolah di Boyolali.

Akibat tersebut menyebabkan aktivitas kegiatan belajar mengajar untuk siswa SD diliburkan, karena sekolahannya digunakan untuk menampung para pengungsi.

Namun, kata Agus, untuk tingkat SMP dan SMA masih berjalan seperti biasa.

Pengungsi yang menempati di gedung SMP dan SMA hanya menggunakan ruang laboratorium dan aula sehingga tidak menggangu kegiatan belajar mengajar siswa.

Kendati demikian, Wabup sudah meminta Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Boyolali segera menyiasati agar aktivitas belajar mengajar siswa SD dapat dijalankan.

"Kami sudah minta agar siswa SD dibuat kelompok-kelompok belajar masing-masing sekolah. Guru mendatangi setiap kelompok itu, meski kondisi darurat di pengungsian," kata Wabup.

Menurut Wabup, hal tersebut terpaksa dilakukan, karena kondisi tanggap darurat belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.

Pihaknya belum dapat memindahkan lokasi penampungan ke lain tempat, karena gedung-gedung yang kosong, semuanya sudah dipenuhi para pengungsi.

Menurut Wabup, jumlah pengungsi yang menempati gedung sekolah di Boyolali hingga saat ini, mencapai 16.140 orang tersebar di 23 sekolah.

Sementara Ketua DPRD Boyolali, Slamet Paryanto menjelaskan, pihaknya sudah melakukan rapat pimpinan termasuk merekomendasikan kegiatan belajar mengajar sekolah segera dijalankan meski kondisinya darurat.

Pemkab tetap menangani para pengungsi dengan baik, tetapi proses pembelajaran tetap berjalan normal.

Paryanto menjelaskan, pihaknya juga akan mengosongkan gedung DPRD di lantai dua dari pengungsi untuk kegiatan pembahasan kerja legislatif-eksekutif, sedangkan lantai bawah tetap untuk menampung pengungsi.(*)

B018/Z003

Oleh Bambang Dwi Marwoto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010