Khusus PLTS atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah perlu mencari solusi komprehensif agar rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap, tidak membebani APBN dan PT PLN (Persero).

"Kalau di jaringan PLN harus bayar. Padahal, salah satu misi BUMN itu untuk keuntungan. Kalau yang diuntungkan sebagian, maka tidak akan berlangsung lama," kata Mukhtasor, Guru Besar Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya saat menjadi narasumber pada diskusi "Roadmap Pengembangan EBT di Indonesia" yang digelar Energy and Mining Editor Society (E2S) secara virtual, Kamis.

Mukhtasor mengaku telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang isinya mengusulkan untuk mencari jalan tengah. Pasalnya, penggunaan PLTS atap mahal, namun pemakaian sedikit. Kondisi ini bisa membuat portofolio PLN tidak bagus.

"Persoalan di PLN justru kontribusinya bukan di PLN itu sendiri, tapi ada dari IPP (independent power producer), sponsor dan lainnya. Untuk IPP feed in tarif maka harga akan naik dan ada risiko oversupply," kata mantan Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014).

Menurut Mukhtasor, jika selisih harga listrik PLTS atap dibayar oleh APBN, maka akan membebani negara. Sementara, kalau asumsinya negara mampu, maka APBN sebaiknya harus dialokasikan untuk investasi EBT.

"Khusus PLTS atap saya sampaikan ke Presiden ada jalan tengah bagi semua pemangku kepentingan dan menjadi model gotong royong sebagai bangsa," ujarnya.

Negara melalui pemerintah, menurut Mukhtasor, mengambil peran kepemimpinan dan terdepan dalam transisi energi dengan mengintegrasikannya lewat transisi industri nasional di bidang EBT di dalam negeri.

"Saya tidak ingin solusinya parsial yang akan memberatkan negara. Solusinya harus komprehensif dengan cara rantai pasok diperkuat karena sudah ada tinggal nanti business to business," ungkap dia.

Menurut Mukhtasor, jika pemerintah memberikan kompensasi atau insentif, jangan diberikan di hilir, namun di hulu.

Caranya, dengan menurunkan biaya modal. Industri pemasok PLTS di hulu diberikan kompensasi, akhirnya kalau pasang PLTS atap harganya lebih murah dan PLN tidak akan diganggu.

"Jangan sampai nasib EBT ke depan seperti migas. Kalau migas kemandirian energi itu tidak tampak. Itulah yang dipesankan oleh Bung Hatta yang namanya pembangunan negara dan capital makin lama makin besar," kata dia.

Pembicara lain Sunarsip, Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, mengatakan kondisi pasokan listrik di Jawa dan Bali sebenarnya over capacity.

Kalau muncul istilah gagasan baru dengan mengembangkan EBT, apalagi PLTS atap, harus diperhitungkan kondisi kelebihan pasokan yang terjadi saat ini.

"Jangan sampai pengembangan masif PLTS atap malah membebani PLN dan keuangan negara. Yang menjadi catatan bahwa sebenarnya target rencana induk energi disusun dengan asumsi yang optimistis, padahal realisasinya kita tidak pernah mengalami pertumbuhan ekonomi sampai 7,5 persen," ungkap dia.

Menurut Sunarsip, biasanya dalam industri listrik itu dibuat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataannya, saat ini konsumsi listrik sudah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.

Dengan kondisi tersebut, jangan sampai yang sedang dipersiapkan pemerintah untuk pengembangan EBT malah menambah beban untuk pelaku industri lain.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Aditya mengatakan prinsip yang dipegang pemerintah sebagai regulator harus imbang.

Bahwa regulasi itu tidak bisa memuaskan semua pihak, ketika timbangan lebih berat ke utility, akan ada reaksi dari pihak lain.

Dia juga menyanggah bahwa revisi permen PLTS atap bahwa harga ekspor-impor listrik akan naik dari 65 persen ke 100 persen. "PLTS atap tidak untuk diperjualbelikan, yang kita tingkatkan adalah nilai ekspornya," kata dia.

Menurut dia, berdasarkan survei, nilai ekspor dari PLTS atap adalah 20 persen lalu dikalikan 100 persen. Pengguna PLTS atap pasti akan menggunakan untuk sendiri lebih dulu, sisanya diekspor. "Apakah nanti pendapatan PLN berkurang, sudah kami lakukan kajian. Memang pendapatan PLN akan turun," kata dia.

Satya W Yudha, Anggota DEN, mengatakan revisi Permen ESDM soal PLTS atap bertujuan mengurangi penggunaan listrik. Dalam konteks penurunan emisi karbon, lanjut dia, kalau yang berpartisipasi banyak otomatis penggunaan energi yang masih campuran tadi berkurang.

Menurut Satya, pengembangan PLTS atap demi memajukan industri. Dia menyebutkan ada beberapa hal yang menyangkut PLN bahwa tugas kenegaraan dipisahkan dari tugas industri murni. Sekarang PLN pun sudah contracted take or pay. Ini menjadi hal yang tidak mudah.

Baca juga: Guru Besar ITS harapkan pemerintah turunkan biaya modal PLTS atap
Baca juga: Dinilai berpotensi rugikan negara, DPR pertanyakan regulasi PLTS atap
Baca juga: Semakin ekonomis, pengguna PLTS atap diharapkan terus bertambah

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021