Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa kajian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang saat ini tengah dilakukan sebagaimana menjadi rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019 diharapkan selesai pada awal tahun 2022.

"Diharapkan kajian PPHN berikut naskah akademiknya akan selesai awal tahun 2022," kata Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Kajian itu sendiri dilakukan Badan Pengkajian MPR RI yang bekerja sama dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI serta melibatkan pakar, akademisi dari berbagai disiplin ilmu, perguruan tinggi, lembaga, dan kementerian.

Bamsoet menegaskan bahwa keliru jika ada yang mengatakan PPHN tidak pernah dibahas di parlemen.

Baca juga: MPR: Diperlukan perubahan terbatas UUD 1945 tetapkan PPHN

Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menjelaskan bahwa setelah kajian PPHN selesai pimpinan MPR RI akan menjalin komunikasi politik dengan para pimpinan partai politik, kelompok DPD, dan para pemangku lainnya.

Komunikasi itu bertujuan untuk membangun kesepahaman kebangsaan tentang pentingnya memiliki PPHN bagi Indonesia sebagai bintang penunjuk arah pembangunan bangsa dalam jangka panjang.

Dia mengatakan apabila semua pimpinan partai politik telah sepakat dan menugaskan anggotanya untuk mengajukan dukungan tanda tangan sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR yang terdiri atas DPR dan DPD, barulah pimpinan MPR RI akan mengurus teknis administrasi pengajuan usul amendemen UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 yang hanya fokus pada penambahan dua pasal.

"Dengan demikian, amendemen terbatas tidak akan mengarah kepada hal lain di luar PPHN," jelas Bamsoet.

Baca juga: Ketua MPR RI: Amendemen UUD 1945 tidak akan menjadi 'bola liar'

Selain itu, Bamsoet mengatakan kebutuhan akan PPHN telah mendapat dukungan dari Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Muhammadiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta sejumlah kampus di Indonesia.

Mantan Ketua DPR RI itu juga menyatakan bahwa bentuk hukum ideal bagi PPHN adalah melalui Ketetapan MPR, bukan melalui undang-undang yang masih dapat diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) maupun bukan diatur langsung dalam konstitusi.

Karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat, dan bersifat direktif maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi, papar Bamsoet.

Baca juga: Ketua MPR tekankan pembangunan butuh haluan agar punya perspektif sama

Pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum ideal bagi PPHN mempunyai konsekuensi, yakni perlunya perubahan dalam konstitusi atau amendemen terbatas UUD 1945 yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan dua pasal.

"Yakni, penambahan 1 ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” ujar Bamsoet.

Menurutnya, persetujuan amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN sangat tergantung pada dinamika politik yang berkembang serta keputusan partai politik dan kelompok DPD.

Perjalanan masih panjang dan MPR saat ini hanya melaksanakan tugas konstitusional yang menjadi rekomendasi MPR periode sebelumnya, pungkas Bamsoet.

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021