Di situ aturan terkait bank digitalnya lebih detil, kemudian juga ada syarat-syarat tertentu, manajemen risiko dan lain-lain
Jakarta (ANTARA) - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengapresiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja menerbitkan aturan baru soal bank digital yang tertuang dalam POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum guna mendorong bank di tanah air mengakselerasi layanan perbankan digitalnya.

"Saya apresiasi OJK. Sudah lama sebenarnya ditunggu terkait POJK 12 2021. Di situ aturan terkait bank digitalnya lebih detil, kemudian juga ada syarat-syarat tertentu, manajemen risiko dan lain-lain termasuk juga bagaimana perbankan yang selama ini tradisional, konvensional, atau masih setengah digital, itu kira-kira OJK mau bilang tolong cepet deh beralih ke digital. Regulasinya sudah dipayungi. Itu satu hal yang positif," ujar Bhima dalam diskusi Infobank bertajuk "Peluang Bank Digital: Memperkuat Ekosistem Perekonomian Digital" di Jakarta, Jumat.

Dalam beleid tersebut, OJK mempertegas pengertian bank digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking.

OJK sebagai regulator industri jasa keuangan juga menegaskan pihaknya tidak mendikotomikan atau memisahkan antara bank yang telah memiliki layanan digital, bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru.

Bhima juga menyoroti persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru yang berbadan hukum Indonesia (BHI) termasuk untuk bank tradisional maupun bank yang beroperasi dengan cara digital (full digital). Menurut Bhima, Indonesia memang menjadi salah satu pasar perbankan yang kurang efisien selama ini.

Data terakhir menunjukkan masih ada 106 bank umum di Indonesia. Jumlah bank yang terlalu banyak tersebut mengakibatkan adanya perebutan dan peta persaingannya menjadi tidak sehat.

"Jadi full support untuk kemudian mengecilkan jumlah perbankan dari besaran modal inti itu Rp10 triliun untuk bikin bank baru, tentunya orang juga mikir untuk bikin bank gak semudah sebelumnya. Di situ ada hal yang positif, persaingan harapannya lebih efisien termasuk juga dengan kehadiran bank digital itu bisa cepat transmisinya kepada suku bunga kredit, biar masyarakat menikmati suku bunga yang lebih rendah. Tentu harapannya ke sana," kata Bhima.

Kendati demikian, lanjut Bhima, dengan ketentuan modal inti minimal Rp10 tersebut diperkirakan akan terjadi gelombang merger akuisisi untuk berlomba-lomba masuk ke bank digital. Ia memproyeksikan kemungkinan besar arahnya ke depan jumlah bank digital tidak akan banyak.

"Ini dari sisi risiko ya kita belajar kalau konglomerasinya hanya ada dua, tiga, atau empat bank yang cukup dominan khususnya di pasar digital ini, mungkin juga OJK kerjanya lebih serius lagi karena risiko-risikonya terkait dengan risiko sistemiknya too big to be failed itu mungkin juga akan meningkat," ujar Bhima.

Bhima menambahkan terkait dengan pengertian bank digital adalah bank yang menggunakan sarana elektronik tanpa kantor fisik atau kantornya terbatas, perlu didefinisikan lebih spesifik oleh regulator.

"Apakah kemudian punya 100 kantor fisik cabang itu disebut sebagai bank digital? Tapi harapannya sih langsung saja bahwa memang bank digital tidak memiliki kantor fisik kecuali kantor pusat. Jadi harapannya full neobank jadi benar-benar efisien," kata Bhima.

Baca juga: OJK ubah syarat modal pendirian bank baru jadi minimum Rp10 triliun
Baca juga: OJK terbitkan aturan dorong bank akselerasi layanan perbankan digital
Baca juga: OJK: Transformasi digital penting agar bank lebih kompetitif

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021