Jakarta (ANTARA) - Sudah satu tahun lebih pandemi membayangi  Indonesia dan sejak saat itu itu pula banyak berita bohong atau atau hoax yang yang bertebaran terkait  dengan virus corona.

Terkait dengan hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta agar masyarakat bersikap kritis dan skeptis saat membaca informasi yang berseliweran di media sosial agar tidak terjebak hoaks.

Koordinator Pengendalian Konten Internet Kominfo Anthonius Malau menyarankan setidaknya waspadai judul informasi yang bombastis dan bersifat provokatif.

"Waspadai mulai dari judulnya, masyarakat harus membiasakan diri untuk skeptis agar tidak langsung percaya saat membaca berita dengan judul provokatif," kata Anthonius dalam bincang-bincang "Edukasi Misinformasi COVID-19", Jumat.

Mewaspadai judul yang bombastis bisa dilakukan banyak orang, termasuk kalangan yang tidak terlalu mengerti cara melakukan verifikasi fakta di dunia maya, katanya.

Dia menyarankan masyarakat untuk mencari sumber berita resmi yang membahas topik serupa sebagai pembanding yang bisa membantu mengidentifikasi informasi yang faktual.

Kemudian, periksalah apakah sumber berita yang tersebar memang dari institusi terpercaya. Identifikasi apakah informasi tersebut berdasarkan fakta atau opini.

​​​​​Baca juga: Satgas: Informasi vaksin picu varian baru Corona adalah hoaks

Cek juga keaslian foto yang disematkan dalam informasi tersebut. Ada fitur reverse image search dari platform seperti Google atau Yandex dengan melakukan drag and drop pada kolom pencarian gambar. Nantinya akan terlihat asal mula dari gambar tersebut. Berita berisi informasi tidak benar bisa menampilkan foto dari sumber yang tidak berkaitan dengan keterangan provokatif.

Untuk pemeriksaan fakta dengan teknis lebih rumit, dia menyarankan kepada orang-orang yang tidak terlalu memahami caranya agar meminta tolong kepada orang terdekat yang tidak gagap internet.

"Bisa tanyakan kepada anak untuk cek foto, saya lihat anak muda lebih skeptis dan lebih kritis," katanya.

Dia memaparkan alasan mengapa masih saja ada masyarakat yang percaya akan hoaks. Ada orang-orang yang enggan percaya kebenaran dan memilih hanya percaya kepada apa yang sesuai dengan anggapannya.

"Apa yang benar ya sesuai anggapan dia. Apa kata ilmuwan dan pakar tidak berguna untuknya karena dia dalam posisi hanya yakin apa yang dia atau kelompoknya percayai," jelas Anthonius.

Malas mengecek ulang isi informasi juga menjadi faktor lain dari kenapa masih ada orang yang percaya hoaks. Ini bisa disebabkan karena tidak tahu caranya atau gara-gara algoritma media sosial sering menampilkan konten yang banyak dikomentari dan dibagikan. Ada juga orang yang menganggap sebuah informasi benar karena telah viral.

"Ada hoaks lama bersemi kembali, karena muncul berulang-ulang orang jadi berpikir itu benar."

Faktor lainnya adalah orang yang sudah memberi opini padahal baru membaca judul, belum membaca berita seutuhnya. Ini bisa disebabkan karena orang tersebut sedang menghemat paket kuota internet sehingga tidak mau membuka situs berita, atau tersulut emosinya gara-gara judul yang bombastis, serta tidak bisa membedakan mana sindiran dan kebohongan.

Di tengah pandemi COVID-19, kata Anthonius, bahaya yang mengancam bukan cuma virus corona, tetapi juga hoaks mengenai COVID-19.

Mengapa ada orang yang membagikan hoaks? Menurut Anthonius, ada tiga motif penyebar hoaks, yakni orang yang ingin terkenal dan viral seperti penyebar hoaks babi ngepet di Depok, orang yang didorong alasan ekonomi karena ingin mendulang trafik pengunjung serta alasan politik yang banyak terjadi menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Per 31 Juli 2021, ada 8.814 hoaks umum, 1.859 hoaks mengenai COVID-19, 295 hoaks vaksin COVID-19 dan 42 hoaks pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat.

Kominfo mencegah dan menindak dengan cara pemberian literasi digital agar masyarakat punya wawasan terkait pemanfaatan internet, memblokir situs dan konten penyebar hoaks, mengklarifikasi isu hoaks di masyarakat lewat berbagai media serta menindak pelaku pembuat dan penyebar konten bekerjasama dengan Polri.

Inisiatif Kominfo dalam melawan hoaks dilakukan dari hulu ke hilir. Upaya dilakukan di hulu dengan meningkatkan kapasitas literasi digital masyarakat.

Selain itu, Kominfo juga menindak langsung untuk mengurangi persebaran hoaks lewat teknologi dan kolaborasi dengan platform media sosial. Di sini, Kominfo berkolaborasi dengan penyedia platform media sosial dalam menindak konten hoaks (take down) juga meningkatkan inovasi teknologi seperti lewat aplikasi tracking.

Di bagian hilir, Kominfo memberikan bantuan teknis dalam mengawasi penyebaran konten hoaks.

"Idealnya di hilir akan berkurang bila di hulu sudah diperbaiki," dia menegaskan pentingnya literasi digital.

Memerangi hoaks tidak bisa dilakukan sendirian, tapi harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Apalagi berdasarkan penelitian, kecepatan penyebaran hoaks 20 kali cepat dibandingkan penyebaran klarifikasinya.

Kominfo menegaskan pentingnya peran pers di Indonesia dalam meningkatkan kesadaran serta mengubah perilaku masyarakat mengenai pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19. Salah satunya adalah pentingnya vaksinasi.

Menurut Anthonius, ada tiga peran media untuk mengubah perilaku masyarakat agar lebih peka dan serius terhadap bahaya COVID-19 serta penanggulangannya.

Pertama, menarik perhatian masyarakat tentang pemberitaan COVID-19, lalu memberi pengetahuan mengenai bahaya COVID-19 serta mengubah perilaku masyarakat agar sadar bahwa mereka harus melindungi diri dan orang lain dengan menerapkan protokol kesehatan.

Mengurangi hoaks adalah pekerjaan besar kita bersama-sama, peran pers penting untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Baca juga: Sikap pemerintah terhadap akun pesohor yang tolak vaksin

Baca juga: Mahfud sebut berita hoaks jadi ancaman serius

Baca juga: Hoaks! Warga Baduy tetap sehat walau tidak divaksin

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021