...badan-badan tersebut tahu riwayat masalah di negara itu, dan harusnya bersiap untuk skenario terburuk dengan mengambil pelajaran di Myanmar dan tempat lain.
London (ANTARA) - Kekhawatiran tentang data sensitif yang jatuh ke tangan Taliban setelah mereka menguasai Afghanistan telah menghidupkan kembali perdebatan di kalangan pakar keamanan terkait etika pengumpulan data oleh badan-badan bantuan dan institusi multilateral.

Ketika kelompok pemberontak itu menduduki Ibu Kota Kabul pada Minggu (15/8), penduduk menjadi resah jika data biometrik mereka yang dikelola badan-badan bantuan dan pasukan keamanan bisa digunakan untuk melacak dan mengincar mereka.

Para ahli privasi telah lama memperingatkan bahwa pengumpulan data biometrik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan-badan pembangunan, dan pemberian kartu identitas digital telah memperbesar risiko bagi para pengungsi dan kelompok rentan lainnya.

"Tidak cukup perhatian diberikan oleh badan-badan bantuan pembangunan dan multilateral untuk memahami konteks secara lokal --siapa yang dapat menggunakan data itu, dan jika data itu bisa digunakan untuk mempertahankan ketidaksetaraan dan diskriminasi," kata Raman Jit Singh Chima dari kelompok hak asasi digital Access Now.

"Dalam kasus Afghanistan, ini sangat mengejutkan, karena badan-badan tersebut tahu riwayat masalah di negara itu, dan harusnya bersiap untuk skenario terburuk dengan mengambil pelajaran di Myanmar dan tempat lain," kata Chima.

Taliban telah menyita peralatan biometrik militer AS yang berisi data seperti hasil pemindaian iris mata dan sidik jari, dan informasi biografis yang bisa digunakan untuk mengenali orang-orang Afghanistan "yang membantu pasukan koalisi", kata The Intercept.

Bahkan, kartu identitas digital nasional Afghanistan, Tazkira, yang diperjuangkan oleh Bank Dunia sejak 2018 dan diperlukan untuk mengakses layanan publik, pekerjaan dan pemilu, bisa mengekspos kelompok-kelompok etnis yang rentan, kata Chima.

Bank Dunia membela kartu identitas itu dengan mengatakan "kemajuan pembangunan tidaklah mungkin jika sebagian besar populasi secara resmi tidak "eksis". Karena itu, memberikan identitas legal bagi semua orang sangat penting untuk pembangunan".

Maksud Baik

Badan pengungsi PBB (UNHCR) dengan cepat merangkul teknologi biometrik, pertama kali dengan menguji sistem pengenalan iris mata kepada pengungsi Afghanistan di Peshawar, Pakistan pada 2002.

Sistem yang memindai retina dan sidik jari diterapkan di sejumlah negara lain, dan digunakan oleh UNHCR untuk menangani krisis pengungsi Syria.

UNHCR mengatakan registrasi biometrik memungkinkan penghitungan dan identifikasi pengungsi yang lebih akurat, memastikan registrasi dan pemberian bantuan jadi lebih efisien, dan membantu mencegah kecurangan.

Namun para kritikus menunjuk pada tantangan teknis, seperti pencocokan wajah yang memberi hasil keliru. Mereka mengatakan pendaftaran pengungsi secara biometrik dapat disalahgunakan oleh negara tuan rumah yang meminta akses dengan alasan keamanan.

Ada risiko data pengungsi biometrik sensitif dibagikan dengan negara pendonor dan digunakan oleh mereka untuk tujuan selain kemanusiaan, kata Katja Lindskov Jacobsen, peneliti keamanan di Universitas Kopenhagen.

"Di tengah maksud baiknya, penggunaan teknologi biometrik dalam penanganan pengungsi secara kemanusiaan mungkin membawa beragam risiko bagi populasi pengungsi" karena data mereka dapat diakses tanpa sepengetahuan atau seizin mereka, kata dia.

Pada Juni, Human Rights Watch mengatakan UNHCR telah membagikan informasi tentang pengungsi Rohingya tanpa seizin mereka kepada Bangladesh sebagai negara tuan rumah, yang kemudian membagikannya kepada Myanmar --negara yang mereka tinggalkan-- untuk keperluan verifikasi pemulangan pengungsi.

Kelompok hak asasi mengatakan praktik pengumpulan data UNHCR "bertentangan dengan kebijakan badan itu sendiri dan mengekspos pengungsi kepada risiko lebih lanjut".

Menanggapi tudingan itu, UNHCR menyatakan bahwa "tindakan-tindakan spesifik telah diambil untuk memitigasi potensi risiko" dalam berbagi data. Mereka juga mengatakan para pengungsi "secara tegas ditanya apakah mereka memberikan izin jika data mereka dibagikan" kepada kedua negara itu.


Risiko Tidak Proporsional

Para ahli privasi juga telah lama mempertanyakan dampak dari pengumpulan data biometrik untuk program kontra-terorisme dari Somalia hingga Palestina seperti dimandatkan oleh dewan keamanan PBB.

Amerika Serikat memperkenalkan sistem biometrik di Irak dan Afghanistan untuk membedakan pemberontak dengan warga sipil "tanpa uji pendahuluan tentang dampaknya terhadap hak asasi manusia dan tanpa perlindungan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan," kata Privacy International pada Mei.

Ketika warga Kabul yang panik berusaha pergi menyelamat diri pekan ini, Taliban mengatakan mereka tidak akan menuntut balas kepada prajurit dan pejabat pemerintah, atau kontraktor dan penerjemah yang bekerja pada pasukan internasional.

Namun demikian, badan-badan bantuan dan otoritas pemerintah harus hati-hati memantau identitas atau sistem pangkalan data, dan menyembunyikan atau menutup akses ke data-data itu segera, kata Chima.

Kekhawatiran bahwa Taliban bisa menggunakan data tersebut untuk menarget para aktivis atau orang dari pemerintahan sebelumnya menegaskan kebutuhan yang mendesak untuk membicarakan penggunaan teknologi biometrik dalam kontraterorisme atau untuk kendali perbatasan, kata para aktivis HAM.

"Kelompok rentan dan terpinggirkan berada dalam bahaya yang tidak proporsional, khususnya minoritas ras, suku dan agama, pengungsi dan imigran, juga mereka yang tinggal di zona konflik," kata Marlena Wisniak dari Pusat Eropa untuk Hukum Nirlaba.

"Sayangnya, dampak negatif ini tidak sepenuhnya disadari atau ditangani," kata Wisniak.

Sumber: Reuters

​​​​​Baca juga: Warga Afghanistan ceritakan pemandangan mengerikan di bandara Kabul

Baca juga: Keluarga wartawan Jerman dibunuh Taliban


 

Situasi berangsur normal di ibu kota Afghanistan

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021