Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha memandang perlu adanya regulasi terkait pengamanan data hasil Pemilihan Umum 2024 jika Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI serta pemilu anggota legislatif menggunakan sistem pemungutan suara elektronik (e-Voting).

"Ketentuan e-Voting ini perlu diatur melalui undang-undang agar jangan sampai di kemudian hari menjadi celah digugat yang berujung pada pembatalan hasil pemungutan suara elektronik," kata Pratama Persadha ketika menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu pagi.

Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) mengemukakan hal itu terkait dengan wacana penggunaan sistem e-Voting pada Pemilu 2024. Namun, aturan itu belum ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Baca juga: CISSReC sebut e-Voting Pemilu 2024 sangat memungkinkan

Di sisi lain, Pratama memandang penting keberadaan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) guna memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya.

Sebelumnya, Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU RI pada Pemilu 2014 ini berpendapat bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 sangat memungkinkan menggunakan sistem e-Voting.

Soal teknis teknologinya, menurut dia, sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu. Namun, terkait dengan undang-undang yang mengatur e-Voting kemungkinan akan memakan waktu relatif lama di DPR RI.

"Jadi, sebelum menerapkan e-Voting, dari sisi undang-undang harus clear terlebih dahulu," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Baca juga: CISSReC: Industri siber bisa bantu pulihkan ekonomi nasional

Menyinggung soal infrastruktur, dia memandang penting menentukan mana saja full lewat internet atau membuat tempat pemungutan suara (TPS) khusus untuk e-Voting. Sistem ini yang harus disiapkan, termasuk pengamanannya agar tidak mudah menjadi korban peretasan.

Selain itu, juga berkaitan dengan kesiapan pusat data nasional. Tanpa ada pusat data nasional, menurut Pratama, akan mempersulit e-Voting di Tanah Air.

"Indonesia memerlukan pusat data nasional yang aman dan benar-benar teruji sehingga nanti tidak ada lemot dengan alasan traffic penuh dan alasan teknis lain berkenaan dengan jaringan serta pusat data," katanya menjelaskan.

Tak kalah penting, lanjut dia, adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan. Ini tugas berat bagi KPU untuk melakukan edukasi kepada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, maupun keamanan sistem itu sendiri.

Baca juga: CISSReC ungkap data BRI Life diretas dan dijual di internet

Prinsipnya, kata Pratama, mempersiapkan e-Voting dengan baik dan meminimalkan kemungkinan gangguan sistemnya dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama voting via internet.

Ditekankan pula bahwa keamanan harus dijadikan prioritas utama karena dalam berbagai kasus e-Voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu.

"Harus ada proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. KPU bisa bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)," kata Pratama.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021