Jakarta (ANTARA News) - Dalam kenyataan sehari-hari terungkap berbagai alasan mengapa bisnis yang sudah berskala menengah dan berskala kecil dengan pengalaman domestik selama kurun waktu tertentu, sebutlah beberapa tahun beroperasi, akhirnya berani memutuskan untuk mulai masuk ke pasar internasional.

Paling tidak, mereka memiliki lima alasan sekaligus tantangan nyata mencakup: 1. diversifikasi usaha, 2. peluang dan berdaya ungkit (leverage) untuk tumbuh; 3. perluasan jaringan kerja melintasi batas geografis; 4. profitabilitas dan sikap optimis untuk memasuki masa depannya; 5. rasa aman dan nyaman keluarga dalam zaman risiko ekonomi dan politik (an era of economic and political risk).

Jelas, motivasi berprestasi bukan ditentukan oleh oknum pemain politik dan birokrasi pemerintahan setempat, apalagi yang tidak pernah mendalami artinya berbisnis dan berjiwa kewirausahaan.

Peningkatan kompetensi dan produktivitas sumber daya manusia sebagai operatornya, terutama di eselon manajemen menengah makin dibutuhkan. Yang banyak dipraktikkan dalam operasi bisnis memasuki internasionalisasi banyak ikut-ikutan tanpa persiapan rofesionalisme dan etika dalam melobi dan negosiasi di masyarakat internasional.

Selama ini proses seleksi untuk menikmati pendidikan manajemen bisnis itu lebih dilakukan atas dasar latar belakang kemampuan orang tua atau sponsor yang mendanai pendidikan. Adapun di pihak institusi pendidikan adanya kecenderungan untuk menerima peserta didiknya melalui ujian kepandaian formal (test bright), seperti hanya dengan mengukur hasil kelulusan (indeks prestasi/IP).

Hal itu kurang memfokus pada sikap dan jiwa kewirausahaan calon karyawan dalam berinteraksi dan membangun jaringan kerja atas dasar percaya (trust). Karena itu, banyak lulusan sekolah-sekolah formal, termasuk lulusan perguruan tinggi dan akademi, baru lulus bersertifikat/ijazah, namun belum cukup memiliki motivasi untuk langsung diberi tugas dan tanggung jawab.

Masyarakat kita umumnya memang menghargai keteraturan baku yang terhitung kuno karena kebiasaan atas dasar kelas-kelas sosial dan cara memberi nilai kecakapan karyawan dalam jenjang fungsional.

Sikap menunggu petunjuk atasan itu yang menghambat kreativitas dalam pemecahan masalah (problem solving skills). Kesinambungan kebersamaan dalam kelompok lintas fungsional (kerjasama tim atau team work) memecahkan masalah belum cukup terbentuk karena pendidikan formalnya masih terpola menurut sistem pendidikan yang diatur pemerintah.

Jangan lupa keterbatasan kompetensi dan profesionalisme manajemen puncak di satu pihak yang seringkali mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Di pihak lain keterbatasan kapasitas banyak elite politisi dan birokrat pemerintahan untuk mau dan mampu belajar menghargai merupakan sebab musababnya tertinggalnya mutu sumber daya manusia.

Yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari adalah para elit politisi dan birokrasi mengotakkan manajemen bisnis kita. Mereka lebih menyukai berinterksi tingkat tinggi, dan menyerahkan kontak-kontak yang kurang berarti kepada eselon bawahan yang sama sekali tidak memahami makna pendidikan.

Penyelenggara pendidikan bisnis lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat pelaku bisnis, dan karena itu sertifikat sebagai bukti telah mengikuti pendidikan untuk keperrluan kompetensi berkarya dalam komunitas bisnis.

Belakangan ini pelatihan pasca-kelulusan sekolah formal mulai direncanakan secara berkesinambungan oleh komunitas bisnis sendiri. Tujuannya adalah mendidik para lulusan baru (fresh graduates) sebagai mengintroduksi anggota komunitas bisnis dengan memberi tekanan pada disiplin diri dan mengalami peralihan kehidupan dari sebagai peserta didik ke suatu kehidupan berkarya dalam bisnis.

Peserta didik ditempa untuk menyadari pentingnya berkarya, di mana ia akan berkarya dan menyesuaikan diri dengan budaya dan visi perusahaan dengan sistem dan prosedur dasar, termasuk aturan sopan santun, memahami budaya berharmoni, dengan membiasakan diri bekerja dalam tim (teamwork).

Pendidikan dan pelatihan untuk karyawan non-manajerial merupakan kunci penting dalam kebersamaan tim meningkatkan produktivitas perusahaan. Produktivitas karyawan yang makin meningkat hanya dapat dicapai melalui budaya keterampilan dan kesadaran membangun saling mendukung dan saling percaya mempercayai antar-karyawan. Proses ini harus secara bergiliran dalam kelompok-kelompok kecil yang terus dirancang implementasinya tanpa menggangu rutinitas operasi bisnis.

Ke masa depan internasionalisasi usaha kecil menengah (UKM) memerlukan piranti yang tepat guna, antara lain pemanfaatan teknologi yang menciptakan efek multiplier dalam suatu kawasan tertentu. Norma kemajuan bisnis diukur secara kualitatif dan kuantitatif oleh peningkatan mutu sumber daya manusianya.

Pendidikan dan pelatihan dalam ruang (indoor education and training) dan pelatihan di lapangan (outdoor training) tetap dibutuhkan secara bekesinambungan oleh perusahaan yang berniat melangkah maju, dan melakukan perluasan melalui diversifikasi, agar karyawan sebagai sumber daya manusia merasa dibutuhkan untuk memiliki kompetensi profesional, beretika dan berjiwa kewurausahaan.

Munculnya eselon menengah dalam manajemen dan masyarakat makin memungkinkan terjadinya perluasan usaha. Kriteria kelas menengah tidaklah uniform, tetapi ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat, bukan oleh birokrasi dan elite yang tidak pernah mendalami apa artinya proses jiwa berbisnis dan kewirausahaan

Makin banyaknya anggota kelas menengah dalam masyarakat kita, maka makin menumbuhkan kesadaran peluang untuk mendidik diri atau mengalami proses pendidikan bisnis di luar perusahaan. Tentu ini membutuhkan anggaran dana dan proses waktu (timing) yang tepat pula. (*)

*) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi bisnis; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010