Jakarta (ANTARA) - Ahli pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) Idul Rishan mengatakan hakim konstitusi bisa menerobos asas "nemo judex in causa sua" yang menyatakan hakim tidak dapat memeriksa, menguji, dan memutus setiap perkara yang terkait dengan dirinya.

"Ahli memiliki keyakinan asas 'nemo judex in causa sua' jelas bisa diterobos untuk menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman," kata Idul Rishan dalam sidang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK terhadap UUD 1945 yang digelar di MK, Jakarta, Selasa.

Itu disampaikan Rishan setelah hakim konstitusi Saldi Isra mengajukan pertanyaan mengenai doktrin seperti apa yang dapat mengesampingkan asas hukum bahwa hakim dilarang mengadili perkara yang terkait dengan dirinya sendiri.

Rishan menambahkan, rambu-rambu utama untuk menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman tersebut adalah independensi jabatan hakim demi membatasi ruang gerak pemerintah atau pembentuk undang-undang dalam mengatur masa jabatan hakim konstitusi.

Perkara ini, lanjut dia, tetap harus diputus oleh majelis hakim konstitusi dengan seadil-adilnya agar tidak menjadi preseden di masa yang akan datang bahwa masa jabatan hakim konstitusi dapat sewaktu-waktu diubah, termasuk masa jabatan hakim aktif yang sedang menjabat di MK.

"Akan melahirkan distorsi pada jaminan kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, sebab bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari bahwa jabatan hakim konstitusi dapat diubah sewaktu-waktu atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu dari pembentuk undang-undang," ujar Rishan.

Baca juga: Hakim MK minta DPR jelaskan mekanisme pemutusan akses dalam UU ITE

Baca juga: Prof Zainal Arifin kecewa putusan MK terhadap pengujian UU KPK


Selain itu, dia juga mengatakan bahwa perdebatan konstitusionalitas atas perubahan UU MK harus menghilangkan narasi untung-rugi. Menurutnya, substansi utama dari sidang UU MK tersebut adalah upaya memitigasi intervensi kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya persoalan perubahan masa jabatan hakim konstitusi.

Ini bukan persoalan kesejahteraan dan tidak bisa dimaknai secara finansial karena majelis hakim konstitusi adalah negarawan, ucap Rishan.

Selain Idul Rishan, Despan Heryansyah juga menjadi ahli yang menyampaikan keterangan dan dihadirkan pemohon, yakni dosen yang juga menjabat Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana dalam sidang lanjutan uji materi UU MK hari ini.

Permohonan Allan teregistrasi dengan Nomor 90/PUUXVIII/2020 yang pada intinya mempersoalkan mengenai masa jabatan hakim konstitusi dalam UU MK, yang mana salah satunya menjelaskan bahwa alasan kenaikan syarat usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun tidak ditemukan dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan tersebut.

Mengenai uji materi UU MK sendiri, terdapat dua nomor perkara lain yang terdaftar dan mengajukan gugatan yaitu 96/PUU-XVIII/2020 dan 100/PUU-XVIII/2020.

Sidang pada hari Selasa (24/8) ini ditunda hingga sidang berikutnya pada hari Rabu 15 September 2021 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari dua nomor perkara lainnya.

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021