Padang (ANTARA News) - Perambahan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Blok Letter W, Nagari Lubuk Gadang Timur, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar) untuk perladangan telah berlangsung sejak 1980-an.

Kepala Seksi Pengelolaan TNKS wilayah IV, San Andre Jatmiko, ketika dikonfirmasi menyebutkan, perambahan dilakukan masyarakat di kawasan hutan di sisi jalan Provinsi Sumbar yang menghubungkan antara Solok Selatan dengan Kabupaten Kerinci (Jambi) yang berada di Letter W.

Aksi perambahan dilakukan bukan saja oleh masyarakat lokal, katanya, tetapi mayoritas masyarakat pendatang yang berasal dari Kabupaten Kerinci (Jambi) dengan modus silih berganti.

Kawasan yang dirambah digunakan untuk berladang tanaman muda seperti jagung, kacang buncis, dan tanaman kentang serta sebagian kecil untuk tanaman tua seperti kulit manis dan jeruk.

Petugas TNKS juga menemukan bangunan gubuk-gubuk masyarakat yang melakukan perambahan, sebagian masih ada yang dihuni, dan ada telah ditinggalkan.

San menjelaskan, saat pihaknya melakukan inventarisasi perambahan kawasan TNKS pada 2009, ditemukan perambahan TNKS di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan provinsi di Blok Letter W.

Hasil survei Integrated Conservation and Development Project (ICDP) TNKS, jelasnya, setidaknya terdapat sekitar 1.000 kepala keluarga (KK) dan mayoritas berasal dari Kerinci.

"Ini merupakan fenomena baru karena yang melakukan perambahan adalah pendatang, bukan masyarakat setempat," katanya dan menyebutkan sekitar 50 persen dari masyarakat yang melakukan perambahan itu mengaku hanya sebagai buruh.

Perambahan, kata San, dilakukan masyarakat memberikan dampak yang berlipat ketimbang aksi pembalakan liar karena hasilnya mulai dari pohon besar sampai pada rumput yang berada di daerah itu.

Sementara itu, dampak aksi perambahan dapat menyebabkan ketahanan tanah berkurang sehingga bisa mengakibatkan ancaman longsor dan erosi yang tentunya resikonya pada masyarakat.

Upaya penanganan perambahan itu, kata San, pihaknya mencoba melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar kawasan TNKS, serta memasang papan informasi sebagai larangan di beberapa titik strategis. Selain itu, juga mengarahkan dan membantu masyarakat untuk mengembangkan alternatif mata pencaharian.

"Masyarakat peladang di kawasan TNKS itu, meminta agar dilakukan transmigrasi lokal untuk mereka, tapi usulan itu bukan kebijakan kami," katanya dan menambahkan, pihak TNKS dengan dibantu pihak kepolisian juga akan melakukan penanganan secara represif.

Kepala Resort TNKS di Sei Lambai, Rika Putra Abbas menambahkan pada 2008 muncul isu penjual lahan yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan itu, tapi setelah penyelidikan tidak diperoleh surat jual-beli tersebut. Modus jual-belinya dengan pola silih rugi.

Dalam ekspos di Solok Selatan, juga terungkap ditemukan beberapa tapal batas antara kawasan TNKS dengan ladang masyarakat yang pindah tempat (lari dari posisi semula, red).

"Tapal batas dipasang sejak tahun 1990-an. Dalam perjalanan waktu, kita temukan ada yang bergeser, bahkan hilang," kata Rika dan menambahkan, untuk melakukan pemeliharaan tapal batas, TNKS wilayah IV mulai melakukan dari Surian, Kabupaten Solok.

Sementara untuk melakukan penggantian tapal batas itu, merupakan kewenangan Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Medan, karena pihak yang membuat peta sejaknya awal dengan melibatkan masyarakat setempat.

"Pihak petugas TNKS juga tetap melakukan sosialisasi," katanya dan menambahkan, pihaknya juga membuat jalur hijau di sepanjang batas dengan pepohonan yang hasilnya dapat diolah oleh masyarakat, seperti aren atau durian.  (SA/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010