Jakarta (ANTARA News) - Pemanasaan global yang mengancam ekosistem dunia menginspirasi semua negara untuk mengambil aksi nyata mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab naiknya suhu di permukaan bumi.

Tidak terkecuali Indonesia yang mengalami laju peningkatan emisi karbon rata-rata 6,58 persen per tahun juga akan berusaha menurunkan emisi gas buang karbonnya

Menurut model yang dikembangkan Dr Armi Susandi, MT dari ITB, Indonesia akibat peningkatan emisi karbon secara global, akan mengalami penambahan suhu sebesar 3 hingga 3,5 derajat Celsius pada 2100 dibandingkan suhu pada 1990.

Ada empat penyebab emisi terbesar yaitu dalam pembangkitan energi (40%), industri (17%), transportasi (20%), dan aktivitas konsumsi oleh rumah tangga (14%).

Presiden Susilo Bambang Yuhoyono berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon itu sampai 26 persen sampai 2020, sementara Presiden AS, Obama, pada KTT PBB 2008 menyatakan komitmen baru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen dalam kurun waktu yang sama.

PBB sendiri merekomendasikan setiap negara menurunkan emisi gas buang antara 25 sampai 40 persen sebelum 2020.

Menghadapi isu pemanasan global ini Indonesia juga mengadopsi Komitmen Oslo 2010, yaitu melakukan penyelamatan lingkungan dengan penanaman pohon dan beralih dari menggunakan energi yang berbahan baku fosil ke selain fosil.

Penanaman pohon, terutama di wilayah tropis merupakan salah satu hal penting yang bisa dilakukan untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak pemanasan global.

Pada pertengahan 2010, Indonesia dan Norwegia menandatangani "Letter of Intent" untuk kerjasama mengurangi emisi akibat kerusakan hutan. Kesepakatan ini merupakan bagian dari program PBB untuk pengurangan emisi akibat kerusakan hutan di negara berkembang, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD). Emisi karbon terjadi sebagai akibat dari perubahan bahan bakar fosil monoksida yang hanya bisa direduksi dengan penanaman pohon-pohon.

Komitmen pemerintah untuk melakukan penghijauan sudah dinyatakan berulang kali. Penanaman pohon itu diwujudkan melalui program nasional penanaman satu miliar pohon atau lebih dikenal dengan satu miliar pohon Indonesia untuk dunia `One Billion Indonesia Tree For World (Obit).


<i>Transmigrasi dan Pengurangan Emisi</i>

Tak luput pula Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga melakukan kegiatan pengurangan emisi gas buang itu melalui berbagai kegiatan dalam kerangka program nasional transmigrasi.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam kurun waktu tiga tahun melakukan program penanaman pohon dan, tidak kurang dari 282.220 pohon telah ditanam di 45 permukiman transmigrasi (kimtrans) di berbagai provinsi dengan beragam jenis pohon.

Pada 2008 telah dilakukan penanaman pohon di empat permukiman transmigrasi sebanyak 25.000 pohon dengan jenis trembesi, mahoni, dan jarak pagar di lima provinsi yaitu Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan NTT.

Sedangkan pada 2009 telah dilakukan penanaman 74.720 pohon dengan jenis mahoni, glodokan, mangga cempedak, dan kemiri dengan lokasi di Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTT, dan Maluku Utara.

Dan untuk tahun 2010 ini, penanaman pohon dilakukan di 27 kimtrans dengan jenis mahoni, kayu bawang, bakau, mangga dan gamelina sebanyak 182.500 pohon, yang tersebar di provinsi Jambi Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTB, dan Maluku Utara.


<i>Trans Hutan Tanaman Rakyat</i>

Bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga melakukan penghijauan atas hutan-hutan yang rusak melalui Program Trans-HTR (Hutan Tanaman Rakyat).

HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun perorangan atau koperasi untuk meningkatkan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Dengan program ini, hutan bukan hanya dihijaukan tapi juga menghasilkan manfaat produktif pada transmigran.

Program trans-THR ini bisa dikelola perorangan atau koperasi untuk meningkatkan kualitas hutan produksi dan setiap keluarga transmigran akan mendapat sekitar delapan ha sampai dengan 15 ha lahan hutan untuk dikelola.

Pada tahap awal, Trans-HTR bakal dilaksanakan di KTM Pauh-Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi, dan KTM Padauloyo Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. KTM Trans-HTR itu diharapkan dapat menyerap tenaga kerja baru sebanyak 200.000 orang.

Berbeda dengan gerakan menanam satu miliar pohon, maka Trans-THR tidak sekedar menanam tetapi setiap transmigran akan memelihara sehingga pohon bisa tumbuh besar dan cepat bisa dipanen.

Selama ini gerakan penanaman pohon, persis seperti namanya, sering terjebak dalam aktivitas menanam saja, bukan menumbuhkan pohon, padahal agar sebuah pohon bisa benar-benar menjalankan fungsinya untuk menghisap CO2, logam berat, maka usia kedewasaan tertentu harus dicapai.

Trans-THR ini mungkin merupakan model pengurangan emisi karbon yang nyata, bisa dihitung perkiraan sumbangan bagi pengurangan `global warming`.

Secara kasar sepanjang daur hidupnya satu pohon bisa mengonsumsi 1 ton CO2, sehingga jika dalam kurun waktu tiga tahun telah ditanam tidak kurang dari 282.220 pohon telah ditanam di 45 pemukiman transmigrasi (kimtrans) maka telah terjadi pengurangan emisi karbon sebanyak 282.220 ton per tahun sebagai sumbangsih para transmigran.

Itu belum dihitung jika program Trans-THR di dua lokasi sudah berjalan, karena pada tahun pertama dengan kemampuan menampung masing-masing 1.000 kepala keluarga transmigran dengan kepemilihan lahan hutan 8 hektare maka sumbangan bagi pengurangan emisi karbon per tahun mencapai 16 juta ton karbon per tahun.

Sebuah sumbangsih yang tidak sedikit, apalagi muncul KTM Trans-HTR di sejumlah provinsi.


<i>Manfaat Ganda</i>

Menakertrans Muhaimin Iskandar bertekad untuk menjadikan transmigrasi bermanfaat ganda yaitu kesejahteraan dan penghijauan.

"Menyangkut isu pemanasan global, Program Transmigrasi semakin disempurnakan dengan menggunakan pendekatan baru yaitu penyelarasan lingkungan dan pendayagunaan energi terbarukan," katanya.

Ia menjelaskan, penanaman pohon menjadi pilar dalam penyelarasan lingkungan, baik pohon produktif maupun pohon yang dimaksudkan untuk menyerap emisi karbon. Sementara pendekatan `renewable energy` sekarang dalam taraf pengembangan pada skala yang lebih besar termasuk dengan melibatkan transmigran dalam penanaman tanaman sumber energi nabati.

Jika tahun sebelumnya hanya mengembangkan skala kecil seperti biogas dari kotoran hewan dan penggunaan mikrohydro maupun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk menyuplai listrik bagi pemukiman transmigrasi, maka sekarang tengah dikembangkan dua model baru ketransmigrasian untuk mendukung energi terbaharukan skala yang besar.

Menurut Muahaimin, model pertama, dikembangkan di Meurauke, Papua, yaitu menggabungkan pengembangan ekonomi transmigran dengan investasi di bidang energi alternatif. Dan kedua, membangun Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Bener Meriah, Aceh, sebagai `Green City`.

Rudi Gobel, media adviser yang bekerja pada Medco Eenergy, mengatakan bahwa program transmigrasi bisa dipadukan dengan upaya positif mengurangi penggunaan emisi karbon dengan pengembangan energy alternative berbahan baku nabati seperti tebu dan singkong. Dua bahan baku yang ditanam transmigran itu bisa diolah menjadi etanol atau gasohol yang bisa menggerakkan pembangkit listrik atau mesin motor.

"Sudah beberapa tahun ini perusahaan kami melakukan pengembangkan biofuel di kawasan transmigrasi di Merauke, Papua, sebagai upaya untuk pengembangan energi alternatif terbarukan yang tidak menggunakan bahan fosil," katanya.

Ia menjelaskan, lahan pembibitan menggunakan lahan transmigrasi dengan sistem kerja sama yang saling menguntungkan. Selain itu, transmigran juga bisa mengembangkan budi daya singkong atau tebu, keduanya sangat cocok ditanam dilahan kering yang tidak perlu memerlukan banyak air.

Khusus komoditas singkong, seorang pakar singkong dari Cirebon, Jabar, Ir Sujadi mengatakan, dengan teknologi termaju satu hektare tanaman singkong mampu menghasilkan 100 ton sampai 150 ton. Hasil produksi itu jika diolah menjadi etanol maka menghasilkan 17.000 sampai 25.000 liter etanol karena enam kilogram singkong bisa mengasilkan satu liter etanol.

"Dengan adanya investor bioetanol yang siap menampung singkong dari transmigran maka pendapatan transmigran minimal mencapai Rp60 juta per hektare per tahun, jika rata-rata singkong dijual Rp600 per kilogram," katanya.

Ia mengatakan, saat ini banyak investor bioetanol yang berani menggarap budidaya singkong dalam skala luas di Pulau Jawa dengan pola kemitraan dengan petani.

"Alangkah baiknya jika hal itu dikembangkan juga di lokasi transmigrasi karena hasil etanol bisa menjadi sumbangan yang luar biasa bagi kemajuan di daerah yang selama ini kesulitan mendapatkan bahan bakar," katanya.

Menurut Muhaimin, hingga kini ketransmigrasian juga sudah menggunakan sumber-sumber energi alternatif terbarukan di kawasan permukiman transmigrasi (kimtrans) di antaranya dengan pembangkit listrik tenaga angin (PLT Angin), pemanfaatan debit atau aliran air untuk digunakan untuk memutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Saat ini, ada 175 unit lokasi yang menggunakan energi surya (PLTS) yang tersebar di empat provinsi yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Selain permukiman penduduk, berbagai fasilitas yang mengambil manfaat itu antara lain balai desa, sekolah, rumah ibadah, rumah pintar dan puskesmas.

"Pengembangan energi yang ramah lingkungan di lokasi transmigrasi tersebut diharapkan bisa turut serta membantu pemerintah mengurangi subsidi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menghemat anggaran belanja negara," katanya.(*)
(T.B013/H-KWR/R009)

Oleh Oleh Budhi Santoso
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010