Pemanfaatan PLTS atap tersebut dapat menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN
Jakarta (ANTARA) - Kementerian ESDM membidik kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebesar 3,6 GW pada 2025 sebagai komitmen mendorong target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.

"Tingginya minat masyarakat terhadap PLTS atap akan memberikan peluang penurunan konsumsi sumber energi fosil, yaitu batu bara. Penghematan dari konsumsi batu bara sekitar tiga juta ton (per tahun)," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam keterangan pers yang dikutip di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan laporan International Renewable Energy (Irena), penggunaan energi bersih dari Matahari mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 121.500 orang dan penurunan potensi gas rumah kaca sebesar 5,4 juta ton karbon dioksida.

"Ini akan ada investasi tambahan sekitar Rp45-64 triliun," sambung Dadan.

Potensi bisnis lain yang bisa dihasilkan adalah mendorong terciptanya produk hijau atau green product.

Sistem perdagangan internasional saat ini punya mekanisme baru yang mewajibkan setiap produk hijau dibuat dengan proses yang lebih bersih, sehingga produknya dikategorikan hijau dan tidak terkena pajak tambahan.

Pemerintah menyadari pengembangan PLTS atap yang semakin masif dapat mengurangi nilai pendapatan PT PLN (Persero). Namun, di sisi lain, pemanfaatan PLTS atap tersebut dapat menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN.

"Kalau 3,6 gigawatt terpasang, setahun berkurang sekitar Rp5,7 triliun. Potensi untuk menurunkan BPP sebesar Rp12,6 per kWh mengurangi subsidi Rp0,9 triliun dalam satu tahun, termasuk kompensasi dari pemerintah Rp2,7 triliun," ungkap Dadan.

Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa manfaat lain yang mampu dibangun adalah ekspor-impor listrik. Pengadaan ekspor dan impor diprediksi menghasilkan bisnis baru senilai Rp2-4 triliun.

Saat ini pemerintah sedang mengkaji skema baru perhitungan tarif ekspor impor listrik PLTS atap. Nilai transaksi ekspor impor akan ditingkatkan dari sebelumnya 60 persen ke 100 persen.

Skema itu nantinya akan tertuang dalam regulasi baru, yakni Rancangan Revisi Peraturan Menteri PLTS Atap Nomor 49 tahun 2018 yang sedang selesai tahap harmonisasi.

"Cukup panjang prosesnya dari Januari 2021. Tanggal 18 Agustus 2021 baru keluar berita acara, harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM sudah selesai," terang Dadan.

Poin penting lain dalam aturan baru tersebut adalah jangka waktu proses perizinan pemasangan PTLS atap diatur menjadi lima hari dan mengatur juga mekanisme pelayanan berbasis aplikasi.

Ketentuan lain yang direvisi adalah terkait reset deposit sisa saldo kWh PLTS atap. Ketentuan yang berlaku bila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor, selisih lebih diakumulasikan paling lama tiga bulan akan diperpanjang menjadi enam bulan.

Revisi Permen PLTS atap merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca.

Baca juga: Semakin ekonomis, pengguna PLTS atap diharapkan terus bertambah
Baca juga: Dengan Gerilya, Kementerian ESDM-Kemendikbudristek pacu PLTS atap
Baca juga: Kementerian ESDM: Jumlah pengguna PLTS atap melonjak 1.000 persen

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021