Surabaya (ANTARA News) - Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (Kapolda Jatim), Irjen Pol Badrodin Haiti, menyatakan bahwa ada 40 teroris asal Jatim, baik mereka yang sudah ditahan maupun mereka yang masih menjalani proses hukum, dan masuk daftar pencarian orang (DPO).

"Karena itu, saya minta bantuan ulama untuk membina napi teroris untuk meluruskan pemahaman mereka tentang jihad, `thogut`, dan khilafah," katanya saat berbicara dalam Halaqah/Seminar Penanggulangan Terorisme oleh MUI Pusat di Surabaya, Minggu.

Dalam halaqah yang dihadiri Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Nasional Ansyaad Mbai dan Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchory, mantan Kadiv Binkum Mabes Polri yang pernah bertugas di Poso itu mengatakan napi teroris di Poso juga dibina dan dilatih.

"Para napi di Poso itu selalu dipantau untuk diberi pembinaan atau pencerahan, ditangkap aspirasinya, dan diberi pelatihan ketrampilan, kemudian mereka diberi modal untuk membuka usaha," katanya.

Di hadapan 100 peserta halaqah dari 40 ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, dan sebagainya itu, Kapolda Jatim juga sempat memperlihat foto ke-40 teroris asal Jatim, baik yang berstatus napi maupun masuk daftar pencarian orang (DPO).

"Di Jatim, Muspida Jatim sudah ada program untuk mengumpulkan para kiai se-Jatim secara rutin yang mungkin akan dimulai bulan depan (Desember). Itu penting, karena masih banyak perbedaan pandangan soal jihad, `thogut`, khilafah, dan sebagainya," katanya.

Menurut dia, teroris itu bukan hanya bom, bisa juga berupa pembunuhan, penculikan, dan sebagainya yang tujuannya sama dengan teroris, bahkan pelakunya juga tidak berdiri sendiri, namun ada kaitan antara Jawa, Sulawesi, Aceh, bahkan hingga luar negeri seperti Filipina, Arab Saudi, dan sebagainya.

"Itu karena faktor penyebab terorisme itu bukan hanya faktor ideologi, karena ada juga terkait faktor ketidakadilan politik seperti NII pada tahun 1949, faktor ketidakadilan global seperti AS dan sekutunya, dan faktor separatisme," katanya.

Oleh karena itu, katanya, solusi mengatasi terorisme adalah dengan mempersempit ruang gerak melalui penertiban administrasi kependudukan (KTP dan surat pindah).

"KTP atau surat pindah itu bisa dibuat dimana-mana, karena itu nama teroris itu banyak dengan memanfaatkan sistem administrasi," katanya.

Hal yang tak kalah penting adalah pengawasan rumah kos/kontrakan, penertiban wajib lapor 1x24 jam bagi tamu, perlu daya tangkal dimiliki masyarakat seperti masyarakat Bali yang mengalami kemandekan ekonomi akibat terorisme, dan langkah preventif melalui razia-razia.

"Yang juga penting adalah deradikalisasi, karena itu peran ulama sangat penting untuk membentengi masyarakat agar tidak terpengaruh radikalisme dan selektif terhadap tamu yang kadang memanfaatkan keramahan orang Indonesia," katanya.

Dalam kesempatan itu, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Nasional, Ansyaad Mbai, menyatakan bahwa teroris itu bukan masalah agama, melainkan masalah politik dan perbedaan pandangan, penafsiran, atau persepsi dalam agama.

Sementara itu, Ketua MUI Jatim, KH Abdusshomad Bukhory, menyatakan bahwa pihaknya akan meningkatkan halaqah dengan peserta yang lebih banyak dan narasumber yang berskala nasional seperti Ustadz Jakfar Umar Thalib.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010