Jakata (ANTARA News) - Sampai saat ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum mampu menjalankan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN yang sudah diundangkan sejak enam tahun silam, tepatnya pada 19 Oktober 2004.

Menurut Staf Ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) HM Daryono, di Jakarta, Rabu, UU itu agaknya sebagai cacat sejarah. "Ibarat biji tumbuh-tumbuhan, genetikanya sudah cacat sehingga buahnya tidak ada meskipun sudah lama ditanam."

Presiden Megawati Sukarnoputri tatkala menandatangani UU SJSN satu hari sebelum dia turun tahta, atau sebelum habis masa jabatannya sebagai Presiden RI ke-5, mungkin saja dia berharap pada Pemilu 2004 akan terpilih lagi dalam Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara bebas itu. Dan andaikan tidak terpilih Mega sudah meninggali warisan berharga bagi rakyat kelas menengah ke bawah atau rakyat yang selama ini tidak mempunyai jaminan kesehatan dan penghidupan yang layak.

Tukang becak, ojek, jamu gendong dan pekerja mandiri lannya, tidak mempunyai penghasilan tetap sehingga tak mampu untuk membayar premi asuransi seperti layaknya pekerja di perusahaan. Adanya UU SJSN mewajibkan semua rakyat miskin menjadi peserta dan mendapatkan jaminan kesehatan dan tunjangan hari tua.

Sayangnya, Megawati tak terpilih lagi sehingga UU-nyapun sampai saat ini belum ada yang melaksanakan. Padahal tujuan dari UU itu untuk memberikan rasa aman dan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan anggota keluarganya.

Mengapa UU yang cukup baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu tidak kunjung dilaksanakan? Bagaimanan sebaiknya peran Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebagai lembaga jaminan sosial terbesar di Indonesia mampu mewujudkan pelaksanaan SJSN?

Dua permasalahan itulah yang menjadi tantangan peran Jamsostek untuk menjadi pionir memprakasai terlaksananya UU jaminan sosial itu.


Harus terimplementasi

Polemik soal sistem SJSN ini seyogianya harus dapat segera dihentikan dengan mempercepat pelaksanaan UU tersebut. Menurut Achmad Subianto, mantan Ketua Umum Asosiasi Asuransi Sosial dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI), UU SJSN tidak dapat segera dilaksanakan karena masih ada silang pendapat apakah pelaksananya perlu lembaga baru ataukah hanya menggabung dari empat lembaga yang ada seperti Taspen, Jamsostek dan Askes.

Ketika menyusun RUU-nya, badan penyelenggara jaminan sosal harus tetap eksis dan tidak ada peleburan atau penggabungan badan pengelola. Oleh karena itu, perlu segera diwujudkan status Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Badan itu jangan sampai berbentuk Perseroan Terbatas (PT Pesero), karena selama ini perseroan sering merugikan peserta.

Tim yang ditujuk pemerintah justru menginginkan adanya penggabungan empat lembaga jaminan sosial itu ke dalam satu lembaga yang melebur jadi satu, BPJS. Penanganan itu, kata Subianto, dinilai kurang adil karena tidak semua personal di dalam lembaga itu mau dan dapat menjalankan program SJSN dimana pesertanya berasal dari masyarakat yang tidak semua mempunyai pekerjaan tetap. Itu sebanya, ketika Jamsostek dan Taspen diwacanakan untuk dilebur kedalam BPJS, ada reaksi dari Serikat Kerja BUMN tersebut.

"Penggubungan empat lembaga menjadi BPJS itu kalau jadi agak terkesan arogan, karena banyak peserta lama akan dirugikan. Sebaiknya dibuat saja lembaga baru yang khusus menangani masalah jaminan kesehatan atau hari tua yang belum di-cover oleh lembaga lain," katanya.

Ia mengutip salah satu pendapat dari pejabat Sekneg, Lambock Nahattand yang mengatakan, penyusunan SJSN merupakan payung sekaligus menggambarkan sistemnya, tanpa menggabungkan lembaga yang telah ada.

Pak Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai Wapres, juga sependapat dengan usulan dari Sekneg, dalam pelaksanaan SJSN tidak perlu menggabungkan lembaga yang sudah ada, kata Lambock.

Dengan tidak digabungkannya lembaga itu maka BPJS akhirnya murni sebagai lembaga yang dapat berdiri sendiri yang menaungi empat lembaga yang ada, ditambah satu lembaga lain yang kepesertaannya noncontributory atau tidak membayar iuran, karena sudah ditangung negara lewat APBN. Jaminan yang dapat diberikan peserta noncontributory itu dapat untuk memberikan jaminan rumah dan kesehatan termasuk hari tua.


Peran Jamsostek

Kebesaran Jamsostek awalnya hanya nempel kepada UU Perburuhan seperti Undang-undang No 3 Tahun 1951 dan UU No 14 Tahun 1969 terus melaju setelah kesadaran masyarakat cukup tinggi akan pentingnya perlindungan kesehatan tenaga kerja dan keuangan negara kian membaik. Jamasostek ahirnya perlu berdiri sendiri dengan payung hukum UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.

Lembaga itu jika dilihat dari UU-nya, sudah lebih dari 17 tahun. Ibarat anak sudah cukup dewasa dalam menjalankan berbagai program nasional. Saat Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi dan keuangan, Jamsostek juga berperan sebagai katup penyelamat pekerja saat banyaknya perusahaan melakukan PHK. Bahkan kala itu menyediakan lebih dari Rp4 triliun sebagai antisipasi banyaknya klaim akibat PHK.

Sampai saat ini Jamsostek memang belum dapat membantu memberikan santunan para penganggur yang bukan anggota Jamsostek, termasuk juga mengurusi pesangon para pekerja mana kala pekerja itu terkena PHK.

Sejalan dengan meningkatnya kinerja Jamsostek, sudah saatnya dapat menjalankan UU SJSN. Kiprahnya sudah terbukti dari banyaknya penghargaan yang diterima, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan penilaian Jamsostek salah satu lembaga pubik yang lebih transparan dalam pengelolaan uang dan baik dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan.

Di bidang keuangan, kata Dirut PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga, kinerja keuangan terus meningkat. Pihaknya berhasil membukukan peningkatan laba bersih sebesar 26,68 persen menjadi Rp1,381 triliun pada tahun anggaran 2009. Pada 2008 meraih laba bersih Rp1,090 triliun. Total pendapatan bersih meningkat menjadi Rp564,18 miliar dibanding tahun sebelumnya (2008) yang hanya Rp513,09 miliar.

Dalam hal peningkatan kesejahteraan, Jamsostek hingga 2009, sudah menyalurkan dana peningkatan kesejahteraan peserta (DPKP), baik bergulir maupun nonbergulir sebesar Rp853,9 miliar, lanjut Hotbonar, seraya menambahkan hingga saat ini peserta aktif dari pekerja formal baru mencapai 8,2 juta orang dari potensi sekitar 35 juta orang.

Degan membaiknya kinerja Jamsostek sebagai lembaga penjamin hari tua dan kesehatan para pekerja, sudah saatnya Jamsostek berani mengajukan diri untuk memprakarsai pelaksanaan UU SJSN karena cukup punya kapasitas, jumlah aset besar, kantor cabang tersebar di seluruh Indonesia, dan sumberdaya manusianya relatif cukup mumpuni dibanding dengan asuransi purnabakti lainnya.

Jamsostek harus berani menjadi pionir meminta kepada pemerintah untuk menjalankan SJSN karena jika pemerintah tidak menjalankannya, maka akan ada kesan seolah Presiden tidak melaksanakan janjinya. Ketika dilantik, Presiden bersumpah, "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya lainnya".

Presiden tampaknya akan terbantu jika Jamsostek dapat segera menjalankan UU SJSN, karena tujuannya memberikan jaminan sosial yang menyeluruh guna meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkeadilan. (Y005/K004)

Oleh Oleh Theo Yusuf Ms
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010