Yogyakarta (ANTARA News) - Status aktivitas vulkanik Gunung Merapi di perbatasan wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Jumat pukul 09.00 WIB diturunkan dari "awas" menjadi "siaga".

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan untuk menurunkan status Gunung Merapi dari "awas" menjadi "siaga" berdasarkan pengamatan instrumental dan visual.

"Dari pengamatan instrumental dan visual yang kami lakukan terus-menerus untuk melihat perkembangan kegempaan Merapi, kami memutuskan untuk menurunkan status dari `awas` ke `siaga`," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono di Posko Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Yogyakarta.

Menurut dia, pemantauan instrumental yang dilakukan secara terus menerus itu, menunjukkan adanya penurunan jumlah dan energi kegempaan, mulai dari gempa vulkanik, "multiphase", tremor dan guguran.

Penurunan gempa vulkanik dan "multiphase" menandakan adanya penurunan pergerakan fluida magma yang terdiri atas cairan dan gas. Sedangkan penurunan jumlah guguran menunjukkan bahwa kondisi gunung semakin stabil, karena tidak lagi terjadi deformasi.

"Spektrum gempa tremor juga sudah jauh menurun, yang juga menandakan bahwa gunung berapi ini semakin stabil," katanya.

Sementara itu, berdasarkan pemantauan visual dari Pos Pengamatan di Ketep, Kabupaten Magelang, dan Manisrenggo Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, terlihat masih ada asap yang keluar dari puncak Merapi.

Namun, ketinggian kolom asap tersebut sudah jauh berkurang, dan kini berada di kisaran 500 meter hingga 700 meter dari puncak gunung.

Pemantauan satelit terhadap konsentrasi gas sulfur dioksida (SO2) di udara juga menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dibanding sebelum dan setelah letusan besar pada 5 November yang mencapai 200 hingga 300 kiloton. "Saat ini, konsentrasi gas SO2 di udara sudah sangat kecil," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, ancaman primer bahaya letusan Gunung Merapi yaitu awan panas sudah jauh menurun.

Namun demikian, menurut dia, masih perlu terus diwaspadai ancaman sekunder yaitu lahar dingin, karena endapan material vulkanik hasil letusan Merapi sudah memenuhi seluruh sungai yang berhulu di gunung itu.

Meski demikian, Surono mengingatkan bahwa status Gunung Merapi masih bisa dinaikkan kembali menjadi "awas", maupun sebaliknya diturunkan menjadi "waspada", tergantung dari perkembangan aktivitas gunung tersebut.

Sementara itu, volume material vulkanik hasil letusan yang mengendap di seluruh sungai diperkirakan sekitar 150 juta meter kubik, dan berpotensi menimbulkan banjir lahar dingin jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi di Gunung Merapi.

Atas sejumlah analisa tersebut, PVMBG kemudian menetapkan radius rawan bahaya letusan Merapi menjadi 2,5 kilometer dari puncak gunung.

"Radius itu berlaku untuk semua sektor, karena Gunung Merapi mengalami perubahan tipe erupsi yang sebelumnya cenderung mengarah ke selatan. Namun, kini tipenya menjadi eksplosif yang bisa mengarah ke semua arah," katanya.

Kubah lava yang biasanya menandai fase akhir erupsi Gunung Merapi pun sampai sekarang belum terbentuk, sehingga sistem letusan gunung ini menjadi terbuka, dengan bukaan ke arah selatan, sehingga ancaman ke selatan akan lebih tinggi dibandingkan dengan arah lainnya.

Sedangkan radius ancaman bahaya lahar dingin Merapi adalah jarak 300 meter dari bibir sungai.

Pemerintah daerah, kata Surono, direkomendasikan untuk melakukan penataan ruang ulang mengacu pada kawasan rawan bencana (KRB) yang telah ditetapkan yaitu 2,5 kilometer dari puncak Merapi.

Oleh karena itu, untuk wilayah Provinsi DIY, menurut dia PVMBG merekomendasikan tidak ada kegiatan di KRB III, terutama di Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak, dan Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

Pendakian ke Merapi belum diperbolehkan, karena endapan material vulkanik gunung ini belum stabil. "Gunung Merapi masih mengalami fase deformasi," katanya.

Sementara itu, Kepala BNPB Syamsul Maarif mengatakan dengan penurunan status aktivitas vulkanik Merapi tersebut, pengungsi sudah dapat kembali ke rumah masing-masing, kecuali daerah yang masih termasuk dalam kawasan rawan bencana.

"Kami juga masih akan melaksanakan proses tanggap darurat, karena untuk memudahkan kami dalam melayani masyarakat," katanya.

BNPB telah menetapkan tanggap darurat bencana Gunung Merapi untuk Provinsi DIY dan Jawa Tengah hingga 9 Desember 2010.



Diizinkan kembali ke rumah

Warga korban letusan Gunung Merapi di pengungsian diizinkan kembali ke rumah masing-masing, menyusul penurunan status aktivitas vulkanik gunung ini dari level tertinggi "awas" menjadi "siaga", Jumat.

"Warga yang berada di pengungsian diizinkan pulang ke rumah, namun tidak boleh berada di radius zona bahaya 2,5 kilometer dari puncak Gunung Merapi," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif di Yogyakarta.

Meskipun status Gunung Merapi telah diturunkan dari level awas menjadi siaga, katanya, pemerintah masih tetap melakukan tanggap darurat agar bisa melayani kalangan warga yang menjadi letusan gunung yang berada di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Ia mengatakan pemerintah sudah mulai membangun hunian sementara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebanyak 2.613 unit yang diperkirakan selesai pada minggu ketiga bulan Desember 2010, sedangkan di Jawa Tengah dibangun 366 unit yang diperkirakan selesai pada 8 Desember 2010.

"Nantinya warga yang tinggal di hunian sementara diberi bekal kebutuhan hidup selama 10 hari yang merupakan bahan makanan sisa di posko pengungsian. Pengungsi yang tinggal di hunian sementara juga akan diberi jaminan hidup berupa uang sebesar Rp 5.000 dan beras 0,4 kg per hari selama satu bulan," katanya.

Syamsul mengatakan masyarakat nantinya akan didorong untuk melakukan kegiatan padat karya. Kegiatan ini bisa berupa pembersihan pohon salak, pembersihan jalan, pembuatan bronjong, dan kegiatan rehabilitasi lain yang bertujuan agar kalangan masyarakat mempunyai daya beli.

Sebelumnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menetapkan radius zona bahaya letusan Merapi menjadi 2,5 kilometer dari puncak gunung ini.



Selesai pekan ketiga Desember

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menargetkan pembangunan hunian sementara bagi masyarakat korban letusan Gunung Merapi yang kehilangan rumah tempat tinggalnya akan selesai pada pekan ketiga Desember 2010.

"Pembangunan hunian sementara (huntara) bagi warga masyarakat yang kehilangan tempat tinggal akibat letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan diselesaikan pada pekan ketiga Desember, sedangkan untuk Jawa Tengah (Jateng) akan diselesaikan pada 8 Desember 2010," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, pihaknya optimistis pembangunan hunian sementara itu akan dapat selesai dalam waktu yang telah ditargetkan, karena pada dasarnya saat ini proses pembangunan hunian sementara sudah dimulai.

Di DIY jumlah total hunian sementara yang akan dibangun sebanyak 2.613 unit, sedangkan di Jateng 366 unit, dengan masing-masing dana yang dialokasikan untuk pembangunan tersebut adalah Rp25 miliar dan Rp4,9 miliar.

Masyarakat yang akan tinggal di hunian sementara tersebut, menurut dia akan memperoleh bekal hidup dan jaminan hidup dalam waktu yang telah ditentukan, masing-masing 10 hari dan satu bulan.

"Bekal hidup akan diberikan dalam bentuk uang sebesar Rp5.000 per orang per hari dan beras sebanyak 0,4 kilogram per orang per hari. Logistik ini akan diambilkan dari sisa logistik yang diberikan kepada pengungsi," katanya.

Sedangkan jaminan hidup akan diberikan dengan besaran Rp5.000 per orang per hari.

Selain bekal hidup dan jaminan hidup, masyarakat yang terdampak letusan Gunung Merapi juga bisa mengikuti program "cash for work" atau padat karya, sehingga masyarakat memperoleh bekal untuk mencukupi kebutuhan hidup dengan lebih baik.

"Tetapi ada wacana untuk menyerahkan dana `cash for work` tersebut ke masing-masing dukuh karena ada pihak yang memperkirakan bahwa program padat karya tersebut akan mengurangi semangat gotong royong di masyarakat," katanya.



"Sleman Bangkit"

Penurunan status aktivitas vulkanik Gunung Merapi dari "awas" menjadi "siaga" mulai Jumat 3 Desember 2010 disambut positif masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan mencanangkan "Sleman Bangkit".

Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan dengan semangat dan slogan "Sleman Bangkit" diharapkan masyarakat mengadakan gerakan gotong royong untuk pembersihan lingkungan, menggerakan roda perekonomian dan menumbuhkan kehidupan baru yang lebih baik.

"Jika kegiatan bersih rumah para pengungsi, Pemerintah Kabupaten Sleman tetap memfasilitasi pengungsi jika masih berada di pengungsian. Bagi para pengungsi yang kehilangan rumah tinggal diminta untuk tetap di pengungsian menunggu penyelesaian pembangunan `shelter` atau rumah hunian sementara," katanya.

Menurut dia, meskipun status Gunung Merapi telah turun, namun pihaknya meminta agar masyarakat yang kembali ke rumah untuk tetap berhati-hati dan waspada terutama yang berada di pinggir sungai yang berhulu di Gunung Merapi.

"Kami minta masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai berhulu Merapi seperti Sungai Gendol, Kali Kuning, Boyong, Krasak dan Kali Opak untuk tetap waspada, karena masih ada ancaman skunder banjir lahar dingin," katanya.

Ia mengatakan sesuai rekomendasi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Surono, jika terjadi peningkatan atau penurunan aktivitas Merapi, status aktivitas akan dinaikkan atau diturunkan, sehingga diharapkan masyarakat tetap mengikuti arahan pemerintah yang dirumuskan berdasarkan data aktivitas gunung ini.

"Kami juga meminta untuk tidak ada kegiatan di daerah Kawasan Rawan Bencana II Gunung Merapi dalam radius 2,5 kilometer dari puncak Merapi terutama di wilayah Cangkringan, Ngemplak dan Pakem. Demikian juga masyarakat yang berada pada jarak 300 meter dari bibir sungai yang berhulu di puncak gunung Merapi, pada saat terjadi hujan di sekitar gunung Merapi untuk tidak melakukan kegiatan pada wilayah bahaya lahar tersebut," katanya.

Sri Purnomo mengatakan untuk membantu meringankan beban masyarakat yang berada di kawasan bencana Merapi, Pemkab Sleman pada 1 Desember telah mengirimkan surat permohonan bantuan Jaminan hidup (jadup) kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang ditembuskan Menteri Sosial dan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Pengusulan jadup berupa 0,4 kilogram beras per jiwa per hari, dan uang lauk pauk Rp5.000 per jiwa per hari," katanya.

Ia mengatakan bantuan tersebut diperuntukkan bagi pengungsi di `shelter` atau hunian sementara sebanyak 13.065 jiwa untuk 30 hari, pengungsi nonshelter yang berada di wilayah Cangkringan sebanyak 19.985 jiwa selama 30 hari.

"Selain itu juga untuk pengungsi di zona 10 kilometer sebanyak 12.046 untuk 20 hari, untuk pengungsi zona 15 kilometer sebanyak 54.784 jiwa untuk 10 hari, dan zona 20 kilometer dengan jumlah 22.541 pengungsi untuk lima hari," katanya.



Pengungsi lansia

Pengungsi mandiri korban bencana Merapi sebanyak 511 orang kini masih tetap bertahan di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena mereka sudah tidak memiliki tempat tinggal dan tergolong warga lanjut usia (lansia), serta tidak mempunyai keluarga.

Camat Nanggulan Bowo Pristiyanto, di Wates, Jumat, mengatakan di wilayahnya masih terdapat 77 pengungsi mandiri yang tersebar di tujuh desa, di antaranya Kembang, Banyuroto, Donomulyo dan Tanjungharjo, semuanya tidak memiliki tempat tinggal dan berusia lansia.

"Alasan mereka memilih tinggal di Nanggulan karena mereka tempat tinggal belum aman dan kebanyakan mereka adalah manula, orang cacat dan hewan ternak. Ada juga yang mempunyai anak sekolah dan sekolah mereka yang ada di Desa Kepuh, Kabupaten Sleman masih belum aman serta kebanyakan dari mereka masih trauma atas kejadian letusan Gunung Merapi," katanya.

Sementara itu, Kabid Sosial Dinsosnakertrans, Untung Waluyo, mengatakan, pengungsi yang masih ada di Kulon Progo tersebar di sembilan kecamatan yakni Kalibawang terdapat 10 orang, Nanggulan sebanyak 77 orang, Sentolo ada 92 orang, Girimulyo ada 15 orang, pengasih sebanyak 136 orang, Wates ada 8 orang, Lendah ada 127 orang, Temon ada 25 orang, dan Kokap ada 21 orang.

"Pengungsi adalah mandiri, yang ada di rumah penduduk atau keluarga, ada juga yang masuk ke panti lansia karena mereka sudah lansia dan perlu perawatan yang lebih," katanya.

Sebelumnya, ia mengatakan bantuan logistik yang tersedia berupa telur empat kuintal, beras, mi instan, sarden dan obat-obatan serta kebutuhan wanita masih tersedia hingga satu minggu kedepan, sehingga tidak perlu dikhawatirkan keterjaminan logistik pengungsi.

"Berdasarkan keputusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, bantuan korban Merapi yang ada di kabupaten dikelola oleh Dinas Sosial setempat, dan bantuan tanggap darurat bencana masih cukup untuk satu minggu ke depan," katanya.

Terkait banyaknya permintaan masyarakat dari luar Kabupaten Kulon Progo, ia mengatakan, pihak pemohon adalah pemerintah kabupaten setempat bukan secara individu atau pun kelompok.

"Untuk permohonan bantuan logistik ke Kulon Progo harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten setempat. Kami mohon maaf,bagi masyarakat bukan warga Kulon Progo yang mengajukan permohonan bantuan logistik tidak kami layani," katanya.



63 napi kembali ke Sleman

Sebanyak 63 narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Sleman yang dievakuasi ke Rumah Tahanan Pajangan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, akibat erupsi Gunung Merapi, Jumat dipindahkan kembali ke tempat semula yaitu Lapas Sleman.

"Pemindahan narapidana tersebut dari Rumah Tahanan (Rutan) Bantul ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sleman itu karena kondisi Merapi sudah tidak mengkhawatirkan," kata Kepala Sub Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Bantul, Sirwan di Bantul, Jumat.

Menurut dia, sebanyak 63 narapidana (napi) yang dipindah kembali dari Rutan Bantul ke Lapas Sleman terdiri atas 50 laki-laki dan 13 perempuan.

Pemindahan tersebut dilepas langsung oleh Kepala Rutan Bantul sekitar pukul 10.00 WIB. "Tidak ada upacara khusus maupun pembekalan sebelum pemindahan narapidana ini, melainkan hanya penjemputan dari rombongan Lapas Sleman yang sebelumnya telah konfirmasi," katanya.

Ia mengatakan napi yang telah dipindah ke Lapas Sleman tersebut sebagian merupakan kasus narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba) dan kasus pidana umum lainnya seperti pencurian dengan pemberatan.

"Selama narapidana berada di Rutan Bantul mereka ditempatkan di blok sesuai dengan kasus atau jenis yang dikelompokkan, tidak ada perlakuan berbeda antara narapidana Sleman dengan Bantul," katanya.

Menurut dia, sebenarnya napi Lapas Sleman yang dievakuasi ke Rutan Bantul sejak 6 dan 9 November 2010 sebanyak 101 orang. "Namun, dalam perkembangannya, sejumlah narapidana telah dipindah ke Lapas Yogyakarta dan Rutan Wonosari , kemudian ada yang diambil untuk bersih-bersih, serta dinyatakan bebas, dan tersisa 63 narapidana yang dipindah itu," katanya.

Sirwan mengatakan dengan kepindahan narapidana tersebut penghuni Rutan Bantul saat ini sekitar 150 orang, mereka ditempatkan dalam empat blok yaitu blok Madukoro dihuni warga binaan khusus wanita, blok Amarta dihuni khusus tahanan, kemudian blok Pringgodani khusus narapidana.

Kemudian kata dia, blok Condrodimuko terdapat warga binaan dalam tiga kelompok yakni tahanan baru dalam masa pengenalan lingkungan, tahanan kasus narkoba dan khusus anak-anak.



"Kenduri Jogja"

Pemerintah Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan menggelar "Kenduri Jogja" pada Minggu 5 Desember 2010 pukul 06.30 WIB untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kota ini aman, nyaman, dan siap dikunjungi wisatawan.

"Melalui kegiatan ini, kami ingin menyebarkan semangat sekaligus mengajak masyarakat untuk datang ke Yogyakarta, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di luar Yogyakarta," kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, di Yogyakarta, Jumat.

"Kenduri Jogja" akan digelar di dua lokasi utama, yaitu di Titik Nol Kilometer, dan Tugu yang diikuti berbagai elemen masyarakat di kota ini dengan membawa tumpeng.

Menurut dia, kondisi Kota Yogyakarta harus segera dipulihkan pascaletusan Gunung Merapi yang mengakibatkan dampak tidak hanya kepada masyarakat di Kabupaten Sleman tetapi juga Kota Yogyakarta.

Ia mengatakan ajakan untuk kembali datang ke Yogyakarta tersebut diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi pemulihan kondisi pariwisata di Kota Yogyakarta yang terganggu akibat letusan Gunung Merapi.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X direncanakan akan hadir dalam kegiatan itu, dan memotong tumpeng besar yang dibawa dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Yulia Rustiyaningsih mengatakan tumpeng besar tersebut akan terbuat dari nasi putih dilengkapi dengan urap sayuran, serta lauk pauk berupa ayam "ingkung" (ayam utuh) tujuh ekor.

"Angka tujuh memiliki makna khusus. Dalam bahasa Jawa angka tujuh disebut `pitu`, yang bisa diartikan sebagai `pitutur` (nasihat), `pitedah` (petunjuk), dan `pitulungan` (pertolongan)," katanya.

Dalam acara itu, gubernur dijadwalkan memberikan pernyataan tentang ajakan untuk datang ke Yogyakarta.

"Gubernur DIY dan seluruh muspida provinsi maupun Kota Yogyakarta kemudian akan bersama-sama menikmati tumpeng yang telah disediakan, diikuti warga masyarakat yang hadir," katanya, dengan berharap akan hadir sekitar 15.000 warga pada acara tersebut. (E013*V001*B015*ANT-068*ANT-159/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010