Jakarta (ANTARA) - Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak menjamin adanya pembangunan nasional yang berkelanjutan, kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari.

Ia menjelaskan pengalaman pada masa lalu dan situasi saat ini menunjukkan adanya semacam cetak biru pembangunan nasional sebagaimana yang termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak menjamin berbagai program pembangunan nasional akan berkelanjutan.

"Fakta, selama GBHN digunakan pada Orde Lama dan Orde Baru tidak ada pembangunan yang berkelanjutan. Yang ada pembangunan dikelola secara berkelanjutan oleh kelompok tertentu," kata Feri saat berbicara pada Forum Diskusi Denpasar 12 yang berlangsung secara virtual di Jakarta, Rabu.

Ia menyebut belum pernah membaca kajian yang menunjukkan GBHN mampu memastikan pembangunan nasional berjalan berkelanjutan.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Perlu dengarkan pendapat publik terkait amendemen

Baca juga: Ketua MPR: Hasil kajian PPHN diharapkan selesai awal tahun 2022


Upaya menciptakan pembangunan nasional yang berkelanjutan jadi salah satu alasan membentuk PPHN lewat amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Usulan membentuk PPHN itu disampaikan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR RI di Jakarta pada 16 Agustus 2021.

Dalam pidatonya, Bambang Soesatyo atau yang populer dengan nama Bamsoet, menyebut PPHN akan menjaga rencana visioner Pemerintah dapat terlaksana meskipun pasangan presiden dan wakil presidennya berganti.

"PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis Pemerintah seperti pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antarwilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya," tutur Bamsoet dalam pidatonya bulan lalu.

Kemudian pada pertemuan dengan mahasiswa secara virtual bulan lalu, Bamsoet juga menyampaikan PPHN penting untuk melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan.

Terkait pendapat Bamsoet itu, Feri menerangkan GBHN telah berganti formatnya jadi UU No. 25 Tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Baca juga: Ahmad Basarah: Rencana pemindahan Ibu Kota Negara harus dipagari PPHN

Baca juga: Akademisi UII: Wacana PPHN dalam UUD 1945 anulir sistem presidensial


"Undang-undang No. 25 ini penting menciptakan pembangunan yang berkelanjutan," ucap Feri yang juga aktif menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Akan tetapi, UU itu juga tidak menjamin pembangunan dapat berkesinambungan jika tidak ada kehendak politik para penguasa untuk meneruskan kebijakan dan program-program yang tidak sesuai dengan kepentingan kelompoknya, meskipun itu bermanfaat bagi rakyat, tutur Feri Amsari.

"Kepentingan politik sangat egois sehingga walaupun kampanye presiden, calon-calon presiden, kepala daerah, anggota legislatif menyesuaikan dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, tetapi faktanya begitu sudah menjabat tidak ada proses pengawasan agar betul-betul proses pembangunan sesuai dengan undang-undang (No.25/2014) ini," ujarnya.

Oleh karena itu, persoalan bahwa pembangunan tidak berkelanjutan bukan karena tidak adanya GBHN atau PPHN. Feri berpendapat kondisi itu terjadi karena tidak ada pengawasan dan penegakan terhadap UU No. 25/2014 dan lemahnya kehendak politik dari para penguasa.

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021