Jakarta (ANTARA News) - Jangan pernah mati sebelum lihat kota Istanbul. Kalimat mengagetkan itu disampaikan Walikota Istanbul, Kadir Topbas saat menjamu makan malam para pemimpin kantor berita Asia Pasifik di sebuah kapal pesiar yang berlayar di Selat Bosphorus pada 25 Nopember 2010.

Walikota Topbas sengaja mendatangani meja delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Dirut Perum LKBN Antara Ahmad Mukhlis Yusuf yang juga Presiden Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA). Satu meja bersama Topbas adalah Dewan Pengawas Antara Asro Kamal Rokan, Pemred yang juga Sekjen OANA Saiful Hadi, dan saya selaku Kepala Sekretariat OANA. OANA adalah tempat berhimpunnya 43 kantor berita dari 33 negara.

Topbas bertanya apakah kami sudah melihat kota Istanbul. Ia menyebut landmark kota seperti Masjid Biru Sultan Ahmet dan Aya Sofya, sebuah bangunan bekas gereja basilika pada zaman Bizantium, yang pernah diubah menjadi masjid pada masa Kekaisaran Ottoman, dan sekarang oleh pemerintah Turki modern dijadikan museum.

"Ke Istanbul belum lengkap kalau tidak ke Masjid Biru dan Aya Sofia. Kedua bangunan bersejarah itu simbol toleransi beragama di Turki," ujar Topbas merekomendasikan.

Akhirnya, setelah Sidang Umum OANA usai, panitia membawa delegasi ke Aya Sofya. Semua yang disampaikan Walikota Istanbul itu benar adanya: Aya Sofya adalah simbol toleransi beragama di Turki yang mengagumkan dunia.

Di pintu masuk, Aliye Yannatou, petugas yang mengantar kami, menjelaskan bahwa sampai tahun 1453, Aya Sofya atau disebut juga Hagia Sophia ialah gereja katedral Bizantium yang dibangun oleh Konstantius, putra Konstantin yang Agung. Jadi jangan heran, kota Istanbul dulunya bernama Konstantinopel. Artinya: kotanya Kontanstin yang Agung.

Gereja ini, begitu cerita Aliye, sering jatuh bangun dihantam gempa, meski bangunannya dibuat berbentuk kubah. Pada 7 Mei 558, di masa Kaisar Justinianus, kubah setelah timur runtuh terkena gempa. Pada 26 Oktober 986, gereja kembali terkena gempa.

"Renovasi besar-besaran dilakukan di abad ke-14," kata Aliye.

Bentuk kubah gereja ini besar dan tinggi. Ukuran tengahnya saja 30 m. Tingginya 54 m. Interiornya dihiasi mosaik dan fresko, tiang-tiangnya terbuat dari pualam warna-warni, dan dindingnya dihiasi ukiran. Siapapun yang melihatnya akan berdecak kagum. Sungguh indah dan mempesona.


Lukisan Yesus

Di pintu masuk, terdapat lukisan besar Yesus dengan mahkota bertahta berlian. Tangan kanannya diangkat memberi berkah dan tangan kirinya memegang sebuah kitab bertuliskan: "Saya adalah sinar dunia dengan berkat Tuhan". Tampak juga lukisan Bunda Maria dengan para malaikat.

Yang unik, di dalam gereja selain terdapat hiasan khas gereja, para pengunjung juga bisa menyaksikan kaligrafi seperti yang biasa terdapat di masjid. Ada tulisan Arab besar-besar seperti "Allahu Akbar" atau "Muhammad SAW". Di pojok, terdapat mimbar dan tempat Imam memimpin shalat.

"Gereja ini pernah menjadi masjid yang ramai didatangi jemaah bukan saja dari Istanbul, tapi dari seluruh Turki dan negeri lain," kata Aliye.

Petugas yang fasih berbahasa Inggris dan Rusia itu mulai menjelaskan betapa tingginya toleransi beragama yang disebut-sebut Walikota Istanbul Kadir Topbas.

Pada tahun 1453, katanya, Konstantinopel berhasil direbut oleh Kesultanan Ottoman dibawah pimpinan Sultan Mehmed II. Atas keberhasilannya, Sultan Mehmed II dijuluki "al-Fatih" (Sang Penakluk). Kemudian nama Konstantinopel diganti menjadi Istanbul yang berarti kota Islam. Setelah jatuhnya Konstantinopel, kota ini menjadi ibukota Kekaisaran Ottoman.

Ada cerita menarik saat penaklukan Konstantinopel. Pasukan Ottoman berhasil memasuki kota pada hari Selasa 27 Mei 1453. Sultan Mehmed II turun dari kudanya dan ia bersujud syukur kepada Allah. Lalu, ia pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid. Ia mengganti nama Hagia Sophia menjadi Aya Sofia. Hari Jumatnya langsung dijadikan tempat untuk shalat Jumat.


Dibiarkan apa adanya

Sultan Mehmed II membiarkan bangunan bekas gereja itu apa adanya. Sebagai penakluk, ia bisa saja memerintahkan bumi hangus. Tapi itu tidak dilakukan. Satu-satunya yang berubah di bangunan itu adalah penggantian tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit. Itupun baru dilakukan hampir seratus tahun kemudian oleh Sultan Selim II (1566-1574).

Pengantian tanda salib menjadi bulan sabit itu hanya sekedar penanda bahwa bangunan itu adalah masjid, bukan lagi gereja. Selain itu, tidak ada yang dibongkar-bongkar.

Selama hampir 500 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid. Pada masa Turki modern, untuk menghormati umat Kristen dan menjaga toleransi beragama, Aya Sofya dijadikan museum oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 1937. Kegiatan ibadah kaum Muslimin dipindahkan ke Masjid Biru yang lokasinya berhadap-hadapan dengan Aya Sofya.

Sejak saat itu, Masjid Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istanbul. Mungkin inilah yang dikemukakan Walikota Kadir Topbas mengapa Aya Sofya menjadi simbol toleransi beragama yang tinggi di Turki.(*)
(A017/R009)

Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010