Jakarta (ANTARA) - Faktor dominan yang mendorong terjadinya arus pengungsi dari suatu negara adalah konflik sosial politik di negara asal.

Afghanistan merupakan negara yang telah mengalami konflik berkepanjangan selama puluhan tahun. Pada awal Agustus 2021 ini telah terjadi perubahan peta politik di Afghanistan.

Sehingga terjadi arus pengungsian secara masif dari Afghanistan. Indonesia diprediksi akan menjadi negara transit bagi para pengungsi tersebut.

Kebijakan

Persoalan pengungsi merupakan isu internasional sejak puluhan tahun silam. Karenanya dunia internasional telah mengatur mengenai pengungsi antara lain dalam The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees, The 1967 Protokol Relating to the Status of Refugees.

Pada Pasal 1 Konvensi Roma 1951, Pengungsi adalah orang yang berada di luar negaranya yang terancam keselamatannya jika kembali atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial atau pandangan politik, dan negaranya tidak mampu atau tidak mau memberikan perlindungan di luar negaranya (terjemahan bebas, red).

Sedangkan dalam Protokol 1967 pengertian pengungsi diperluas tidak lagi berdasarkan geografik, dan batas waktu sebagaimana diatur oleh Konvensi 1951.

Di samping itu Indonesia adalah salah satu negara yang menerima dan meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.

Indonesia mengakui adanya hak untuk mencari suaka ke negara lain. Sebagaimana terdapat pada Pasal 14 DUHAM yang berintikan perlindungan terhadap pengungsi.

Keaktifan Indonesia dalam meratifikasi DUHAM dan progres implementasi HAM yang bergerak mengikuti dinamika sosial politik di Indonesia.

Hal ini mendorong Pemerintah untuk lebih concern atas pengungsi yang berdomisili sementara di beberapa provinsi dan menerbitkan kebijakan yang lebih melindungi pengungsi.

Melindungi kehidupan, kebebasan dan keselamatan pengungsi adalah selaras dengan pasal 13 DUHAM. Sedangkan dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian tidak mengatur tentang pengungsi dan pencari suaka.

Pengaturan terbatas hanya pada korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia yang berada di Wilayah Indonesia ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi atau di tempat lain yang ditentukan.

Saat ini draf Rancangan UU Perubahan atas UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sedang disiapkan di tingkat Eselon I, semoga terkait pengungsi dan pencari suaka juga diakomodasi dalam draf tersebut.

Jika ketentuan pengaturan mengenai pengungsi dan pencari suaka berpijak pada UU maka dapat dibuat ketentuan turunan yang lebih tegas dan dapat menjadi solusi bagi permasalahan pengungsi di Indonesia secara komprehensif dan sudah berlarut-larut selama ini.

Baca juga: UNHCR apresiasi Indonesia atas pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh

Baca juga: Amnesty dorong Indonesia pastikan hak kesehatan pengungsi Rohingya


Sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden RI No. 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, setiap pengungsi yang memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen yang sah dikategorikan sebagai imigran ilegal. Dengan Perpres RI No. 125/2016 ini terdapat pengakuan seorang pengungsi atau asylum seeker.

Saat ini Perpres tersebut merupakan kebijakan tertinggi di Indonesia yang mengatur terkait pengungsi. Perpres ini juga yang menjadi acuan bagi ketentuan turunan yang ada di level lebih rendah.

Hal lain Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menandatangani dokumen Transforming Our World The 2030 Agenda for Sustainable Development (SDGs) atau yang dikenal dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Untuk memenuhi komitmen Pemerintah dalam implementasi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) maka diterbitkan Perpres nomor 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian SDGs.

SDGs merupakan komitmen bersama masyarakat dunia. Tiap negara akan merealisasikan sesuai aset dan sumber daya yang dimiliki.

Ketentuan lain yang berkorelasi dengan penanganan pengungsi di daerah yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 7 tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Pada Desember 2019 dalam Global Refugee Forum, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dalam bidang pendidikan, program pemberdayaan implementasi Perpres, perkuat kerja sama internasional dan pembagian data pengungsi.

Dari segi ketentuan yuridis, Perpres 125/2016, Perpres 59/2017 dan Permendagri 7/2018 dapat menjadi dasar hukum bagi Pemda untuk menangani pengungsi. Tentu saja bersinergi dengan organisasi internasional (UNHCR, UNESCO dan IOM) serta Instansi terkait lainnya.

Kemanusiaan

Secara kuantitas jumlah pengungsi luar negeri yang masuk ke Indonesia mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Berdasarkan data UNHCR dalam 3 tahun terakhir saja jumlah pengungsi di Indonesia yaitu tahun 2018 sebesar 14.016, tahun 2019 : 13.657 dan tahun 2020 seabanyak 13.743 jiwa.

Penyebaran pengungsi di Indonesia tidak merata hanya pada beberapa provinsi saja seperti Riau, DI Aceh. DKI Jakarta, Jawa Barat.

Dengan jumlah pengungsi di Indonesia yang cukup banyak, mau tidak mau Indonesia harus serius menangani pengungsi.

Apabila penanganan pengungsi dilakukan dengan setengah hati dan tanpa melibatkan organisasi internasional, pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersinergi maka pengungsi yang ada dapat menjadi beban sosial bagi negara.

Satu pertanyaan yang kerap muncul pada saat membicarakan perihal pengungsi dalam berbagai kesempatan.

Baca juga: Ketahanan pengungsi di tengah pandemi jadi perhatian UNHCR Indonesia

Baca juga: Puluhan pencari suaka kembali tempati trotoar Kebon Sirih Jakarta


Rakyat Indonesia masih banyak yang perlu dibantu, mengapa pengungsi mendapat perhatian untuk dibantu ? Pertanyaan ini tidak hanya muncul dari masyarakat umum, namun juga dari para mahasiswa.

Bila dilihat dari perspektif kemanusiaan, UNHCR sebagai lembaga internasional yang menangani pengungsi memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi.

Artinya bantuan yang diberikan UNHCR adalah bantuan dasar saja agar pengungsi dapat bertahan hidup (kebutuhan pokok) sehingga tidak menimbulkan kecemburuan bagi warga sekitar.

Jika ada bantuan tambahan lainnya maka bantuan tersebut juga diperuntukkan untuk penduduk sekitar tempat pengungsi bermukim seperti BLK di Aceh yang awalnya untuk pengungsi Rohingya, diperuntukkan juga untuk warga lokal.

Hal lain yang patut dikedepankan dalam mencermati persoalan pengungsi adalah dasar negara Indonesia. Dimana sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, sudah cukup mewakili hal tersebut.

Artinya dari sisi nilai-nilai kemanusiaan pada sila ke-2, yang diwariskan oleh founding fathers, penanganan pengungsi adalah suatu keniscayaan.

Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi sehingga masalah pengungsi bukan kewajiban Pemerintah Indonesia.

Patut disyukuri, berdasarkan catatan UNHCR selama ini tidak ada benturan yang cukup signifikan antara pengungsi dan penduduk lokal.

Dengan adanya pemberdayaan pengungsi maka akan memberikan dampak ekonomi seperti mengurangi beban pemerintah daerah dalam menangani pengungsi; dampak sosial seperti terbangun hubungan sosial yang harmonis dengan masyarakat lokal.

Penanganan pengungsi terbilang unik karena tidak dapat diselesaikan secara general, tapi secara spesifik sesuai dengan karakteristik pengungsi bahkan bisa secara individual case by case.

Tiap daerah memiliki gaya tersendiri dalam menangani pengungsi. Karena penanganan pengungsi di satu wilayah dengan wilayah lainnya cukup berbeda. Meskipun secara yuridis formal tetap berpedoman pada dasar hukum yang sama.

Penanganan pengungsi Rohingya di Aceh oleh UNHCR dapat dikatakan berhasil. Selain itu didukung juga oleh Pemda Aceh yang bersinergi dengan pemangku kepentingan atau stakeholders dalam menyelesaikan persoalan pengungsi.

Di sinilah peran Pemerintah Daerah untuk mendorong dan mendukung program-program dari organisasi internasional (dalam hal ini UNHCR) terkait pengungsi.

Baca juga: Indonesia tanggapi saran UNHCR untuk ratifikasi konvensi pengungsi

Sebagaimana kita ketahui bersama jika hanya mengandalkan anggaran Pemda maka kecil kemungkinan untuk bisa menangani pengungsi karena APBN dan APBD pendanaannya untuk WNI.

Lain halnya dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru telah memasukkan penanganan pengungsi dalam Inklusivisme Pengungsi Dalam Rancangan Berkelanjutan (SDGs) Riau dan telah diterbitkan SK Wali kota Pekanbaru Nomor 111 Tahun 2021 tentang Pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri

Kehadiran pengungsi di kota Pekanbaru sudah sekitar 7-8 tahun dengan jumlah pengungsi saat ini sekitar 900 orang.

Pemkot Pekanbaru bahkan melihat potensi pengungsi dalam sosial ekonomi di Pekanbaru karena pengungsi terdiri dari berbagai bangsa (Afghanistan, Pakistan, Irak, Iran, Somaliia, Sudan) dan tentunya memiliki kekhasan keahlian.

Pengungsi diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam pencanangan kota Pekanbaru sebagai kota wisata halal dan MICE.

Jika pengungsi Rohingya di Aceh, peran UNHCR yang dominan maka di Pekanbaru sedikit berbeda, yaitu peran IOM yang cukup dominan. Itu karena komunitas pengungsi yang berada di provinsi Riau berbeda secara spesifik dengan pengungsi di Aceh.

Pemda Aceh dan Pemda Riau merupakan ilustrasi saja dalam penanganan pengungsi. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi pemda lainnya untuk melakukan hal yang sama dengan pola kemitraan yang berbeda.

Tapi yang terpenting adalah bagaimana mengubah pengungsi dari sekadar menjadi beban ke arah meningkatkan harkat dan martabat pengungsi tanpa menimbulkan kecemburuan warga lokal.

Dalam penanganan pengungsi tentu membutuhkan koordinasi, kolaborasi dan sinergitas antar-pemangku kepentingan. Keberhasilan penanganan pengungsi juga akan memberikan dampak sosial ekonomi yang positif bagi daerah tersebut.

Selama ini penanganan pengungsi di Indonesia telah tertangani dengan baik dan manusiawi. Meskipun Indonesia bukan sebagai negara peserta Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Hingga saat ini Indonesia belum perlu meratifikasi keduanya karena pertimbangan kepentingan nasional anak bangsa lebih luas dan utama.

Dengan berbekal penanganan pengungsi selama ini, diharapkan Indonesia lebih siap untuk menangani gelombang pengungsi dari Afganistan saat ini. Karena perubahan iklim politik di negara tersebut pada beberapa pekan terakhir.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Copyright © ANTARA 2021