Yogyakarta (ANTARA News) - Korban bencana Gunung Merapi yang ternaknya mati berunjuk rasa di Yogyakarta, Senin, menuntut janji pemerintah mengganti ternak mereka segera direalisasikan.

Ratusan warga Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ternaknya mati akibat bencana letusan Gunung Merapi berunjuk rasa di kompleks kantor Pemerintah Kabupaten Sleman menuntut realisasi janji pemerintah yang akan mengganti ternak mereka.

Massa pengunjuk rasa yang didominasi pria itu, datang ke kantor Pemerintah Kabupaten Sleman dengan menumpang 17 truk dan dua mobil bak terbuka.

Koordinator aksi Pardjo mengatakan, para korban bencana Merapi ini merasa kecewa karena sebelumnya pemerintah menjanjikan akan mengganti ternak yang mati namun pada akhirnya tidak jadi diganti.

"Pemerintah pusat ternyata memberi janji tanpa bukti nyata, dulu janjnya pemerintah akan membeli ternak, baik yang hidup maupun yang mati namun kenyataanya sampai saat ini tidak ada kepastian," katanya.

Menurut dia, warga juga kecewa karena informasi terakhir justru ternak yang mati akhirnya tidak jadi dibeli, tetapi diganti dengan ternak hidup.

Ia mengatakan warga peternak di lereng Merapi kini sudah tidak memiliki kandang sehingga diharapkan pemerintah untuk menepati janji dan tetap membeli ternak yang mati.

"Kami hanya ingin janji yang telah diucapkan pemerintah ditepati, jangan hanya terkesan janji tersebut hanya untuk `ngeyem-yemi` (menghibur hati), kami minta ganti ternak yang mati dengan uang, kami sudah tidak memiliki kandang," katanya.

Ratusan warga ini ditemui Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu dan Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Riyadi Martoyo.

Yuni Satia dalam kesempatan tersebut mengharapkan warga tetap tabah dan bersabar, dan pihaknya mendukung sepenuhnya apa yang menjadi harapan warga.

"Kebijakan tersebut ada di tangan pusat, sejauh ini kami masih negosiasi dan apa yang menjadi kegelisahan warga, sudah kami sampaikan semuanya," katanya.

Selain itu, warga juga minta agar proses pembuatan "shelter" atau rumah hunian sementara dapat segera selesai karena saat ini sebagian besar warga sudah tidak punya rumah lagi akibat terkena erupsi Merapi.

Setelah menggelar aksi tersebut ratusan warga kemudian menuju ke kantor gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Kepatihan, DPRD DIY serta kantor BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) untuk melakukan hal yang sama.



Masyarakat dilibatkan

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif mengatakan masyarakat yang menjadi korban letusan Gunung Merapi akan dilibatkan dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

"Dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, rakyat akan selalu dilibatkan karena masyarakatlah yang paling mengetahui apa yang diperlukan," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif saat menjawab tuntutan dari ratusan orang korban letusan Gunung Merapi yang melakukan unjuk rasa di Posko Tanggap Darurat Merapi BNPB, di Yogyakarta, Senin.

Namun demikian, ia memberikan syarat agar seluruh warga korban bencana Merapi tetap mematuhi rekomendasi daerah aman sesuai yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Ia menjelaskan tugas utama dari BNPB adalah pada saat tanggap darurat, sedangkan rehabilitasi dan rekonstruksi akan ditangani pemerintah daerah bersama dengan kementerian dan lembaga.

"Kami hanya akan mendukung dari belakang saja. BNPB tidak akan mengambilalih tugas dari pemerintah daerah," katanya.

Sementara itu, mengenai tuntutan ganti rugi ternak, Syamsul mengatakan akan menyerahkan seluruh prosesnya ke pemerintah daerah setempat.

"Sapi yang akan diganti adalah sapi yang masih hidup. Khusus untuk sapi yang mati, akan dibahas lebih lanjut bagaimana penggantiannya," katanya, dengan mengatakan penggantian ternak tersebut pada awalnya didasarkan pada tujuan untuk meminimalisasi korban jiwa akibat letusan Merapi.

Sedangkan untuk hunian sementara (huntara) akan diberikan kepada masyarakat yang benar-benar kehilangan rumah tempat tinggalnya karena tertimbun material vulkanik Gunung Merapi atau mengalami rusak berat.

"Warga yang akan menghuni huntara juga tidak perlu khawatir tentang fasilitas yang akan diberikan, salah satunya adalah listrik. Pemasangan listrik gratis," katanya.

Di DIY, penanggung jawab utama dalam proses pembangunan huntara adalah Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan ESDM Provinsi DIY, namun dana yang digunakan berasal dari BNPB.

Ia mengatakan warga yang akan menempati huntara juga akan mendapatkan jaminan dan layanan yang sama dengan pada saat mereka tinggal di posko utama pengungsian.

Bekal hidup kepada masyarakat yang akan tinggal di huntara atau kembali ke rumah, menurut dia dapat diambilkan dari logistik-logistik di pengungsian yang masih tersisa.

"Warga dapat membawanya saat akan kembali ke rumah. Tetapi ini juga perlu pengawasan dari masyarakat," katanya.

Ia menilai sejumlah tuntutan yang disuarakan warga korban letusan Gunung Merapi yang tergabung dalam Forum Korban Merapi (Forkom) tersebut masuk akal, sehingga perlu ditanggapi dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Ratusan warga masyarakat yang tergabung dalam Forkom itu melakukan unjuk rasa di sejumlah tempat, yaitu di kompleks kantor Gubernur DIY di Kepatihan, dan kemudian melanjutkan aksinya di kantor BNPB Yogyakarta.

Peserta aksi itu datang dengan menumpang 20 truk dan sebagian mengendarai sepeda motor, sambil membawa spanduk bertuliskan tuntutan kepada BNPB.

Di Posko BNPB Yogyakarta massa melakukan orasi dengan tuntutan utama yaitu proses rehabilitasi dan rekonstruksi dipimpin oleh rakyat, serta tuntutan penggantian hewan ternak yang mati akibat erupsi Merapi.

Massa menyerahkan `ogoh-ogoh` berbentuk kepala sapi kepada Kepala BNPB Yogyakarta sebagai simbol masyarakat korban bencana.



Pemerintah jamin kebutuhan korban Merapi

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta akan menjamin kebutuhan warga korban bencana Gunung Merapi, termasuk penggantian ternak sapi, pembangunan "shelter" atau hunian sementara, dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

"Pemerintah pusat dalam penggantian ternak yang mati maupun yang masih hidup telah meluncurkan anggaran ke kabupaten. Sapi yang telah mati akan diganti dengan sapi hidup yang sehat," kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Tri Harjun Ismaji di Kepatihan Yogyakarta, Senin.

Namun, menurut dia ketika menemui warga korban Merapi yang berunjuk rasa di Kepatihan, permintaan untuk mengganti sapi dengan uang pada saat ini memang belum bisa dipenuhi, sehingga warga diminta bersabar.

"Keluhan warga yang menganggap proses penggantian ternak terkesan lamban, akan kami sampaikan kepada pemerintah pusat untuk segera mempercepat proses tersebut," katanya.

Ia mengatakan jika yang dikeluhkan warga adalah ketiadaan kandang atau pakan, Pemprov DIY akan memfasilitasi kandang di sekitar hunian sementara ("shelter", dan memenuhi kebutuhan pakan ternak.

"Dalam pembangunan `shelter` sudah ada enam lokasi yang disiapkan. Kami juga akan memberikan jaminan pemenuhan kehidupan warga yang tinggal di `shelter`," katanya.

Menurut dia, jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang akan diberikan di "shelter" di antaranya pemenuhan kesehatan dasar di mana warga diprioritaskan untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

Di bidang pendidikan warga akan diberikan fasilitas sekolah di "shelter" tanpa dipungut biaya dan akan diusahakan untuk mendapatkan beasiswa.

"Kami juga akan menjamin ketersediaan aliran listrik di `shelter`. Untuk jaminan hidup akan kita fokuskan untuk pemberdayaan masyarakat. Kami menginginkan warga tidak hanya menggantungkan hidup, tetapi bisa mandiri dengan pekerjaan dan penghasilan," katanya.

Ratusan warga korban bencana erupsi Gunung Merapi yang tergabung dalam Forum Rakyat Korban Merapi (Forkom) berunjuk rasa menuntut pemerintah memberikan ganti rugi sapi yang mati serta penyediaan "shelter" dan fasilitas ekonomi.



Tinggalkan pengungsian

Seluruh pengungsi bencana Gunung Merapi sebanyak 294 jiwa asal Desa Kepuharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, yang berada di "Rest Area" Bunder, Playen, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, meninggalkan tempat itu untuk kembali ke desanya, Senin.

"Kami atas nama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunung Kidul mengucapkan selamat jalan, selamat menempuh hidup baru bagi warga Dusun Batur, Desa Kepuharjo, yang sudah satu bulan yaitu sejak 6 November berada di pengungsian `Rest Area` Bunder," kata Wakil Bupati Gunung Kidul Badingah didampingi Kepala Kantor Kesbangpolinmas dan Penanggulangan Bencana kabupaten setempat, Kasiyo saat melepas para pengungsi itu.

Wakil bupati mengatakan pihaknya berharap pengungsi dapat tetap bersyukur dengan apa yang sudah terjadi dengan kondisi Gunung Merapi yang sudah dinyatakan dalam status "siaga", serta dengan kepindahan mereka ke pengungsian di Kepuharjo.

Ia mengatakan pengungsi nantinya kalau malam hari akan menempati barak Desa Kepuharjo, dan pada siang hari dapat memantau kondisi tempat tinggal serta kampung halamannya pascabencana Merapi ini.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan Nugati Sri Karyati mewakili Pemerintah Kabupaten Sleman yang melakukan penjemputan pengungsi, mengatakan, berterimakasih kepada Pemkab Gunung Kidul yang sudah memberikan pelayanan terbaiknya kepada pengungsi selama berada di Gunung Kidul.

"Kami sangat berterimakasih atas pelayanan Pemkab Gunung Kidul yang diberikan kepada warga Sleman yang mengungsi di Gunung Kidul, terbukti pelayanannya sangat istimewa, karena sudah berkali-kali kami membujuk pengungsi untuk pindah, namun mereka tidak mau," katanya.

Menurut dia, dengan kesediaan pengungsi untuk pindah ke barak Desa Kepuharjo diharapkan dapat mempermudah koordinasi dan pemantauan dari pemerintah kabupaten, serta dalam memberikan pelayanan kepada seluruh pengungsi.

Sedangkan Kepala Dusun Batur Tugiman yang mewakili seluruh warga Pedukuhan Batur, Desa Kepuharjo, meminta maaf apabila sudah merepotkan seluruh instansi di Gunung Kidul yang sudah membantu serta memberikan pelayanan istimewa kepada warganya selama berada di pengungsian.

"Kami minta maaf apabila telah merepotkan Pemkab Gunung Kidul dan seluruh petugas yang terlibat yang sudah memberikan layanan istimewa kepada kami selama berada di tempat ini," katanya.

Sementara itu, salah seorang warga Batur Sutini mengatakan merasa gembira, bingung dan terharu, dengan keadaan yang dialaminya. "Kami nanti akan menempati barak di Desa Kepuharjo karena rumah saya rusak, atapnya hilang karena letusan Gunung Merapi kemarin. Saya bingung, tetapi bahagia dengan semua ini," katanya sambil menyeka air mata.

Dengan kepindahan pengungsi dari Dusun Batur, Desa Kepuharjo tersebut, Posko Bunder sudah kosong dari pengungsian, karena pada hari sebelumnya para pengungsi dari Dusun Bronggang juga sudah meninggalkan lokasi itu.

Acara pelepasan pengungsi itu juga dihadiri Wakil Ketua PMI Gunung Kidul R Soeharjo, Waka Polres Gunung Kidul Kompol Wahyu Agung Jatmiko, Kepala Dinsosnakertrans Dwi Warno, serta jajaran Kodim 0730 Gunung Kidul.



Dibekali logistik

Pengungsi bencana Gunung Merapi yang meninggalkan posko pengungsian di "Rest Area" Bunder, Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, masing-masing jiwa dibekali logistik untuk tujuh hari ke depan.

"Pengungsi yang kembali hari ini kami bekali logistik untuk memenuhi kebutuhan mereka selama satu minggu ke depan," kata Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunung Kidul Dwi Warno, di sela pelepasan pengungsi dari `Rest Area` Bunder menuju barak pengungsian Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Senin.

Ia mengatakan logistik yang diberikan kepada pengungsi tersebut merupakan logistik dari bantuan para donatur dan pemerintah yang masih tersedia di Posko Bunder.

"Kami perkirakan para pengungsi yang berada di barak baru nanti masih memerlukan jaminan ketersediaan logistik. Untuk itu, kami berinisiatif untuk membekali mereka sejak meninggalkan Posko Bunder," katanya.

Bekal logistik yang diberikan berupa bahan pangan serta keperluan pribadi para pengungsi. "Kami membekali pengungsi berupa bahan pangan untuk satu minggu, dan perlengkapan pribadi, seperti keperluan mandi, yang kami perkirakan cukup untuk satu bulan ke depan," katanya.

Dwi mengatakan logistik dan kebutuhan lainnya bagi pengungsi di "Rest Area" Bunder setelah diberikan secara merata, ternyata masih ada sisa, dan akan dilakukan pendataan, untuk kemudian disalurkan kembali.

"Kami setelah melepas para pengungsi, tidak kemudian membiarkan tanpa menindaklanjuti kondisinya di tempat yang baru. Rencananya nanti kami akan melakukan peninjauan dengan mengirimkan sisa logistik yang masih ada," katanya.

Pengungsi bencana Merapi yang meninggalkan Posko Bunder sebanyak 107 kepala keluarga yang terdiri dari 297 jiwa, termasuk balita 21 orang, dan sejumlah pengungsi lanjut usia (lansia).



Wacanakan relokasi 500 KK

Pemerintah Kota Yogyakarta mewacanakan akan merelokasi sekitar 500 keluarga yang tinggal di bantaran Sungai Code, sebagai upaya penanganan jangka panjang atas banjir lahar dingin Merapi di sungai tersebut.

"Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di kawasan paling rawan terkena dampak terburuk akibat banjir lahar dingin dari Merapi adalah sekitar 500 keluarga," kata Wali Kota Herry Zudianto di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, dengan mempertimbangkan kapasitas Sungai Code, jumlah material hasil erupsi Gunung Merapi yang mengendap di Kali Boyong dan juga intensitas hujan yang akan berlangsung hingga Maret, maka pemerintah harus menyiapkan antisipasinya, salah satunya adalah dengan wacana relokasi.

Berdasarkan penelitian, jumlah material vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi yang mengendap di Kali Boyong sebagai hulu Sungai Code mencapai sekitar 30 juta meter kubik, atau hampir enam kali lipat dibandingkan dengan kapasitas maksimal sungai itu saat tidak ada sedimen.

Namun demikian, ia mengatakan wacana relokasi tersebut tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak saja, dan harus ada persetujuan serta kesediaan serta kesadaran dari masyarakat yang akan direlokasi.

Ia mengatakan dengan adanya kesadaran dari masyarakat untuk direlokasi, maka masyarakat tidak akan merasa diusir dari tempat tinggal mereka selama ini.

"Saya pikir, ini adalah antisipasi terbaik. Masyarakat ditempatkan di wilayah yang aman dan pemerintah memfasilitasinya," katanya.

Ia mengatakan jumlah keluarga yang paling banyak direlokasi adalah di kampung Jogoyudan, Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, karena keluarga tersebut tinggal di daerah "wedi kengser".

"Wedi kengser" adalah kawasan yang dulunya merupakan kawasan sungai yang mengalami sedimentasi sehingga berubah menjadi bantaran.

Warga yang akan direlokasi tersebut untuk sementara waktu akan ditempatkan di hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah.

Selain terus mengkaji wacana relokasi, Pemerintah Kota Yogyakarta juga terus menyempurnakan sistem peringatan dini banjir lahar dingin di sungai tersebut.

"Kami sedang melakukan analisis untuk pemasangan pengeras suara di sepanjang tepian Sungai Code agar masyarakat memiliki kesadaran tentang ancaman bahaya banjir lahar dingin yang akan datang," katanya.

Ia mengatakan informasi yang akan disampaikan melalui pengeras suara tersebut adalah tentang ketinggian air Kali Boyong hasil pengamatan di Pos Ngentak.

"Yang akan memberikan informasi adalah posko utama Tanggap Code yang berada di rumah dinas wali kota, sehingga ada kejelasan informasi, dan tidak membingungkan masyarakat," katanya.

Sementara itu, Camat Jetis Sisruwadi mengatakan wilayah yang paling parah terlanda banjir lahar dingin Merapi adalah di kampung Jogoyudan.

Di kampung tersebut terdapat 94 rumah dari enam rukun warga (RW) yang sudah tidak dapat dihuni karena terus menerus terkena luapan sungai berupa lumpur dan pasir berketinggian 50 centimeter (cm) hingga 75 cm.

"Masyarakat pun diungsikan ke tempat yang lebih aman, di antaranya ke masjid serta sejumlah rumah penduduk lainnya," katanya. (E013*V001*B015*ANT-160/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010