Jakarta (ANTARA News) - Pekan awal di bulan penghujung tahun ini seperti menjadi Pekan Kemarahan. Orang marah-marah secara serentak di mana-mana. Bahkan hampir tak ada ruang yang terbebas dari orang marah. Di jalan, di warung, kafe hingga di kantor-kantor yang dihuni orang-orang terdidik.

Celakanya, sasaran kemarahan mereka tertuju pada satu orang, yakni orang yang telah berani-beraninya menyebut kata "monarki" yang membuat alergi warga Yogya.

Kata monarki meluncur dari penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dalam pengantar sidang kabinet pada 26 November yang membahas RUUK DIY, presiden memaparkan model tata pemerintahan daerah Yogya yang formulanya tengah dirancang.

SBY menghendaki adanya suatu pranata yang menghadirkan sistem nasional NKRI, keistimewaan DIY yang harus dihormati dan dijunjung tinggi, serta nilai-nilai demokrasi dalam RUU tentang Keistimewaan DIY.

Lalu, kata-kata yang kontroversial itu menyusul.

"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," kata Presiden.

Dari sinilah petaka itu berawal. Bak bara tersiram bensin, amarah itu berkobar, menjalar ke segala arah. Dari Jakarta merebak ke Yogya. Dari Sultan menular ke para kawula. Dari media, pengamat sampai orang yang tidak memiliki kepentingan (langsung) pun turut menyemarakkan pesta kemarahan kolosal ini.

Kegaduhan ini kian gemuruh oleh pemberitaan media yang mebombardir ruang layar kaca, halaman koran dan monitor laman-laman berita. Semua jenis berita disajikan, dari berita selintas, analisa hingga talkshow siaran langsung.

Segala macam pengamat dihadirkan, untuk mengurai kata "monarki" dari berbagai sudut dan cara pandang. Kajian bahasa, analisa politik juga aneka komentar.

Kata "monarki" semakin naik daun, jadi buah (banyak) bibir dan bahan pergunjingan yang meruncing.

Untuk jadi penonton saja rasanya memusingkan kepala, laksana iklan obat sakit kepala yang melingkar-lingkar berputar itu. Apakah harus sedemikian gegap-gempita untuk membahasnya? Hingga harus mengerahkan seluruh tenaga dengan bambu runcing untuk meresponnya.

Perlukah menggelontorkan segala caci-maki untuk menanggapi dan menumpahkan sumpah-serapah untuk mengumbar amarah?

Galeri Reaksi

Di sini hanya tersedia ruang untuk menampung reaksi yang berasal dari pihak-pihak pemangku kepentingan atas RUUK DIY (saja). Sedangkan media yang disesaki provokator hanya bisa membakar suasana tanpa iktikad meredam setelahnya.

Maka, reaksi pertama yang wajib dikemukakan adalah yang berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ngarso Dalem merupakan pihak yang merasa terkena sasaran tembak oleh kata "monarki" itu. Meski berbalut gaya kelembutan, tapi kata-kata raja Yogya ini menyiratkan ketersinggungan yang amat.

"Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali," ujar Sinuhun.

Sayangnya, Sultan tidak berkenan memperjelas pernyataanya. Malah, ia mempersilakan publik menafsirkan sendiri.

Ketika media menanyakan pada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai hal ini, ia menilai telah terjadi misintepretasi.

"Saya kira Presiden menyatakan kita harus memperhatikan beberapa aspek. Beliau mengatakan ada monarki, ada nilai demokrasi, dan ada juga nilai-nilai konstitusi yang harus dipertimbangkan secara keseluruhan pada perumusan undang-undang baru ini. Nah, apa yang salah dari situ?" kata dia.

Terhadap kata "monarki" Gamawan memandang penafsiran kata ini diperbesar, tanpa melihat nilai demokrasi dan konstitusi yang disebut bersamaan rangkaian kata dalam kalimat tersebut. Ini merupakan satu kesatuan yang menurutnya harus dipertimbangkan secara utuh.

"Hanya saja, orang melihat, kenapa Presiden menyebut monarki. Padahal bukan sekadar itu. Presiden menyebut secara utuh akan mempertimbangkan aspek monarki, aspek konstitusi, dan nilai demokrasi," bela Mendagri.

Namun, Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung berpendapat, pernyataan terbuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal monarki dalam konteks Kesultanan Yogyakarta sangat serius. Bagi dia, keistimewaan Yogyakarta tidak boleh diganggu gugat.

Bagaimanapun, kata Pram, kesepakatan antara Bung Karno dan Sultan Hamengkubuwono IX yang tertuang dalam Maklumat 5 September 1945 merupakan bagian dari sejarah.

Tetapi bila pernyataan kontroversial SBY berujung tuntutan referendum oleh rakyat Yogya, Pram tidak mendukungnya. Referendum, ia khawatirkan akan mengganggu bingkai NKRI.

Maka, politisi PDIP ini mendorong pemerintah untuk menyudahi polemik monarki agar tidak terjadi disinformasi kelewat jauh.

Menjawab kehendak banyak pihak, presiden pun memberi klarifikasi sepekan kemudian. Di hadapan media dan seluruh menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu II yang diundangnya di Istana Negara, SBY menyampaikan pembelaannya.

Tapi ia berupaya menenangkan suasana tidak dengan kata "maaf" seperti yang diinginkan para kawula Yogya. Malah, kata "monarki" yang menimbulkan alergi itu diucapkannya lagi. Tanpa ragu-ragu ia eja kata-demi kata seraya mengharap publik mendengar dengan cermat dan lalu memperoleh pemahaman sejalan dengan yang ia pikir dan maksudkan.

Pada bagian lain, Presiden juga meminta agar persoalan ini tidak digeser-geser ke ranah poltik dan direduksi hanya pada masalah penetapan kepala daerah.

Kemarahan masyarakat Yogya memang mereda tapi tetap saja meninggalkan ganjalan. Pertama karena kata "monarki" terlanjur terucap. Kedua, tidak ada kata maaf untuk menyabutnya.

Dan pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kalau presiden meminta maaf lantas selesai perkara? Apa tidak justru meneguhkan bahwa ia mempunyai maksud buruk atas pengucapan kata itu? Sebab, sebuah kata tidak bisa diartikan secara mandiri dan harfiah begitu saja. Ada konteks kalimat dan semangat serta suasana kebatinan yang melingkupi sebuah kata terungkap.

Mendata Kesalahan SBY

Walau bagaimanapun kecerobohan SBY melontarkan kata "monarki" adalah salah. Salah waktu, salah tempat dan salah strategi.

Salah waktu karena masyarakat Yogyakarta baru saja dilanda bencana letusan gunung Merapi yang belum usai melewati tahap rehabilitasi. Juga salah waktu, sebab rancangan undang-undang ini sudah lama tertunda-tunda.

Bahkan kegagalan DPR periode 2004-2009 mengesahkan RUUK ini terhalang oleh Fraksi Demokrat, partai yang dilahirkan dan dibina SBY. Dari tujuh hal terkait keistimewaan Yogyakarta, enam di antaranya sudah disepakati dan hanya menyisakan soal mekanisme pemilihan kepala daerah yang belum disepakati.

Jadi, bagaimana mungkin SBY meminta publik untuk tidak mereduksi persoalan keistimewaan Yogya hanya pada tataran suksesi gubernur.

Memang tinggal masalah itu yang menggantung selama sewindu sejak konsep RUUK berada di tangan pemerintah. Mereka sudah jengah menanti usainya pembahasan RUUK ini dan lalu disulut dengan kata "monarki".

Salah tempat, tidak seharusnya SBY yang bergelar doktor itu menyebut kata "monarki" menyangkut keistimewaan Yogya. Padahal biasanya ia paling bisa menempatkan diri, dengan siapa berhadapan dan kata apa yang pantang diucapkan.

Presiden mestinya sangat mafhum bagaimana kawula Yogya telah lama nyaman hidup dalam model pemerintahan kerajaan. Pengabdian adalah hal terluhur yang mereka punya dan lakukan terhadap baginda raja terpuja.

Dan jangan ada yang mengusik hukum kekekalan raja, maka mala petaka akan tiba. Dan benar saja, SBY tersandung kata "monarki" yang lantas memanen cercaan seketika.

Salah strategi, karena sidang kabinet itu terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pengantar bersifat terbuka dan diliput media. Lalu break dan dilanjutkan sidang tertutup dengan bahasan yang lebih mendalam. Dan sewaktu sidang kabinet tentang RUUK DIY, kenapa presiden melempar kata yang sensitif itu pada sesi pengantar yang dikonsumsi media?

Jika ia seorang penjaga citra, seyogyanya hanya memilih kata-kata yang aman saja demi terkesan baik.

Telaah RUUK DIY

Sungguh, media tidak dalam kapasitas dan posisi membela presiden, sultan atau siapapun. Dan sangat disayangkan jika, massa telah mengerahkan amarah akibat terluka oleh persepsi sendiri. Adalah sesuatu yang sia-sia, bukan?

Maka, untuk lebih obyektif mengkritisi, intip saja poin-poin penting yang terkandung dalam konsep RUUK tersebut.

RUUK ini hendak memisahkan antara kekuasaan Raja di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selaku Kepala Daerah.

Karena keduanya memiliki karakteristik kepemimpinan yang bertolak belakang. Raja memiliki kedudukan kultural tertinggi di wilayah Yogyakarta yang karena kedudukannya itu ia dilayani oleh rakyat. Sedangkan Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Untuk memenuhi syarat demokrasi, jabatan ini dipilih oleh rakyat. Dan karena rakyat yang memiliki daulat maka seorang kepala daerah berkewajiban melayani rakyat.

Jika kedua jabatan ini dirangkap oleh sultan, tentulah terjadi kerancuan peran. Kalau saja masyarakat Yogyakarta memahami konsep melayani dan dilayani dari kedua jabatan tersebut, apakah masih rela rajanya "direndahkan" dengan menjadi gubernur?

Setelah memisahkan kedua jabatan ini masih dari konsep RUUK Sri Sultan HBX bersama dengan Adipati Paku Alam IX selanjutnya tetap diletakkan sebagai orang nomor satu dan dua di wilayah DIY dengan sebutan Pengageng.

Hal ini termaktub dalam pasal 11: "Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Pengageng, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta."

Pengageng di sini bukan simbol semata, tapi mereka berdua dilengkapi dengan hak veto. Pasal 13 dari RUUK ini memberikan kewenangan bagi Pengageng untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur.

Hak veto juga untuk persetujuan atau penolakan terhadap perorangan bakal calon atau bakal-bakal calon Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, bahkan yang dinyatakan telah memenuhi syarat kesehatan dan administratif oleh KPU Provinsi DIY.

Lalu Pengageng berhak pula memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Tak hanya itu, pasal 18 memberikan kekebalan hukum bagi Pengageng. Berdua memperoleh pengawalan protokoler setingkat menteri. Seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan juga berhak ia peroleh. Mereka pun dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Sedangkan satu-satunya larangan yang disyaratkan pasal 20 RUUK DIY ini adalah Pengageng tidak diperkenankan menjadi pengurus dan anggota partai politik.

Setelah menilik segala keistimewaan yang dilimpahkan RUUK terhadap Pengageng, ada yang masih keberatan?

ANT/T010

Oleh Siti Zulaikha
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010