Jakarta (ANTARA) - Asisten Gubernur/Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta, mengatakan bahwa sistem pembayaran secara digital merupakan salah satu penggerak utama digitalisasi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia di masa pandemi.

"Digitalisasi UMKM dapat dimulai dengan digitalisasi pada sisi pembayaran. Kondisi pandemi ini membuat akselerasi digital semakin cepat, karena harus, dan 'terpaksa' melakukannya, dan akhirnya menghasilkan customer experience to customer behaviour karena sudah terbiasa," kata Filianingsih dalam seminar daring, Senin.

Lebih lanjut, Filianingsih mengatakan tren digitalisasi baik dari sisi konsumen maupun pelaku UMKM semakin bertumbuh. Hal ini disebabkan banyaknya pilihan pembayaran digital yang semakin beragam hingga preferensi masyarakat yang sudah terbiasa bertransaksi dari rumah atau secara daring.

"Pertumbuhan ini sejalan dengan preferensi masyarakat dan aktivasinya (layanan pembayaran / keuangan digital). Perluasan pembayaran digital juga semakin beragam mulai dari mobile banking, QRIS, uang elektronink, e-commerce, dan lainnya," jelas dia.

"Ini juga menunjukkan bahwa transaksi ekonomi digital tumbuh karena meningkatnya acceptance dari masyarakat terhadap layanan tersebut. Pun dengan bank yang bertransformasi untuk memberikan kemudahan bagi nasabahnya," ujarnya melanjutkan.

Filianingsih mengatakan, Bank Indonesia (BI) melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 memberikan arah kebijakan sistem pembayaran BI untuk menavigasi peran industri sistem pembayaran di era ekonomi dan keuangan digital.

Blueprint berisikan lima Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang dilaksanakan oleh lima working group yaitu Open banking, Sistem Pembayaran Ritel, Sistem Pembayaran Nilai Besar dan Infrastruktur Pasar Keuangan, Data dan Digitalisasi, dan Reformasi Regulasi, Perizinan, dan Pengawasan.

BSPI 2025 akan diwujudkan melalui 23 key deliverables yang akan diimplementasikan secara bertahap dalam kurun waktu tahun 2019-2025.

"Perlu adanya reformasi, dan bagaimana regulator juga mampu mengatur industri dan mengawasi perkembangan digitalisasi ini. Namun, BI tidak bisa bekerja sendiri," kata Feli.

"Selanjutnya adalah bagaimana para pemangku kepentingan (stakeholder) mulai dari industri, penyedia jasa dan infrakstruktur sistem pembayaran, kementerian/lembaga, otoritas lain dan masyarakat dapat bersinergi untuk mewujudkan ekosistem ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (sustainable)," imbuhnya.

Salah satu hal yang menjadi sorotan BI untuk pembayaran digital adalah penggunaan Quick Response Indonesia Standard (QRIS) untuk pelaku UMKM dan masyarakat umum.

Bank sentral mencatat saat ini sudah terdapat 8 juta merchant UMKM yang telah terintegrasi dengan QRIS dan ditargetkan akan mencapai 12 juta pada akhir tahun 2021.

Tak hanya digunakan dalam negeri, BI pada 17 Agustus lalu meluncurkan pra-resmi QRIS Antarnegara yang bekerja sama dengan Bank of Thailand.

BI kini juga sedang menjajaki kerja sama QR antarnegara dengan Bank Negara Malaysia. Dilaporkan, Arab Saudi juga memiliki minat untuk mengadopsi sistem pembayaran digital tersebut.

Baca juga: BNC canangkan transformasi digital secara masif di 2021

Baca juga: Mengembangkan destinasi wisata lewat pembiayaan digital

Baca juga: BSI perkuat Ultimate Service lewat transformasi digital

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021