Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran berharap mekanisme perhitungan royalti musik dapat ditinjau ulang oleh pemerintah sebab pemutaran lagu di restoran, kafe, atau hotel tidak semata-mata hanya terkait dengan kepentingan bisnis.

Ia mengatakan pada dasarnya pemutaran suatu lagu di kebanyakan hotel atau tempat makan bertujuan untuk menciptakan suatu suasana atau membangkitkan rasa nyaman pengunjung.

“Memutar lagu di restoran dan hotel itu kan juga ingin menunjukkan suatu suasana yang berbeda. Misalnya, saat kita masuk ke restoran sunda berarti lagunya sunda, atau kita masuk ke restoran padang berarti lagunya padang, dan seterusnya,” kata Maulana kepada ANTARA pada Kamis.

Baca juga: Aturan pengelolaan royalti hadiah untuk industri musik

Baca juga: Bekraf akan manfaatkan blockchain untuk hak cipta musik

“Ini berbeda dengan karaoke, kalau mereka tidak memutar lagu maka tidak ada bisnisnya. Tetapi kalau restoran tidak memutar lagu, kan masih ada bisnis restorannya,” tambahnya.

Maulana juga berpendapat perhitungan tarif royalti setidaknya dapat mempertimbangkan besaran volume pengunjung sebab, misalnya, tidak selamanya kursi di suatu restoran atau kafe akan penuh.

Pada Maret, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik. Peraturan tersebut menyebutkan orang yang menggunakan lagu atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial harus membayar royalti.

Bentuk layanan publik yang bersifat komersial termasuk beberapa jenis pertokoan; seperti supermarket, pasar swalayan (department store), dan kompleks pertokoan (mall); serta restoran, kafe, hotel, dan sebagainya.

Tarif royalti telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM tahun 2016. Untuk pertokoan, tarif dihitung berdasarkan luas ruang tiap meter persegi (per m2) per tahun. Sementara untuk restoran dan kafe ditentukan berdasarkan jumlah kursi sebesar Rp60.000 per kursi per tahun.

Untuk hotel, tarif royalti dihitung berdasarkan jumlah kamar. Sementara untuk jenis resor, hotel eksklusif, dan hotel butik ditetapkan sebagai lumpsum sebesar Rp16.000.000 per tahun.

Menurut Maulana, permohonan untuk peninjauan ulang dari pihak pengusaha, seperti yang disampaikan Asosiasi Ritel Indonesia (Aprindo) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin (8/9), merupakan hal yang wajar sebab permasalahan yang dikeluhkan harus didengarkan dari kedua belah pihak dan pemerintah harus mengambil jalan tengah sehingga tidak terjadi perdebatan.

Sebelumnya pada Rabu (8/9), Ketua Umum Aprindo Rou Nicholas Mandey bersama sejumlah asosiasi pengusaha lain bertemu dengan Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartanto untuk membahas sejumlah permasalahan yang dialami pengusaha saat menghadapi pandemi COVID-19, salah satunya terkait royalti musik yang diputar di pasar swalayan.

Roy mempertanyakan mekanisme perhitungan royalti musik dan berharap agar ada pengaturan ulang. Roy berpendapat jika perhitungan didasarkan pada luas gerai maka nilainya menjadi signifikan. Selain itu, pendengar musik hanyalah pelanggan yang berjalan di gerai ritel, bukan termasuk produk-produk yang dipajang.

“Masing-masing pihak tentu membawa pemikiran dari sektornya masing-masing. Kami paham tentang hak cipta tersebut, hanya saja bagaimana menyusun kriterianya sehingga semua pihak menerima ini,” ujar Maulana.

Maulana juga menekankan pihaknya berharap agar pusat data lagu atau musik segera dilakukan dan diterbitkan oleh pemerintah sehingga dapat dijadikan suatu acuan oleh semua pihak, bahkan akan jauh lebih bagus dan tertata dengan baik.

Baca juga: PHRI: Restoran langgar prokes harus disanksi

Baca juga: Mudik dilarang, PHRI terima imbauan negara

Baca juga: Kemenkumham akan buat pusat data lagu dan musik untuk transparansi

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021