Lebak (ANTARA News) - Harapan beberapa Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia asal Kabupaten Lebak Provinsi Banten untuk membawa uang hasil jerih payah selama bekerja di Arab Saudi hanya impian belaka.

Bukan hanya harapan yang kandas, kepergiannya ke Arab Saudi bahkan membawa duka mendalam bagi keluarga di kampung halaman.

Sepanjang 2010 dua TKW asal Kabupaten Lebak, yakni Bayi (30) dan Lusi (26), wanita itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi, mendapat siksaan dari majikannya, gajinya tidak dibayar dan nyaris menjadi korban pemerkosaan.

"Kedua orang itu sudah berkumpul kembali bersama keluarga di kampung halamannya," kata Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Kabupaten Lebak, Suprapto, Minggu.

Suprapto mengatakan, pihaknya merasa lega kedua wanita pekerja itu bisa kembali ke Tanah Air dalam kondisi selamat, meskipun mereka tidak membawa uang selama bekerja di luar negeri.

TKW warga Kecamatan Malinging dan Rangkasbitung bisa dipulangkan ke Tanah Air berkat kerja keras Pemerintah Kabupaten Lebak dalam melindungi warganya, walaupun kedua wanita itu tidak terdaftar melalui Dinas Tenaga Kerja setempat.

Pemerintah Kabupaten Lebak terus menghubungi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Konsulat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi.

"Dari perjuangan itu akhirnya Bayi dan Lusi bisa kembali ke kampung halamanya dengan selamat," katanya.

Bayi, warga Cisaat Rt 13/Rw 03 Desa Bolang, Kecamatan Malingping, kini tidak bisa bekerja di sawah maupun ladang karena kedua tanganya tidak bisa digerakan akibat penganiayaan yang dilakukan majikanya di Arab Saudi.

Majikanya bernama Fahad bin Dakil di Al Ahssa, Arab Saudi selama bekerja 1,5 tahun hanya menerima penyiksaan berkali-kali, disetrika, dipukul dengan tangan atau benda tajam, terutama apabila dianggap tidak benar saat bekerja.

Bayi hingga kini juga belum menerima hak-haknya, seperti gaji dan asuransi dari majikan maupun Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

Bayi berangkat melalui PJTKI Kemuning Sejati yang beralamat di Rawamangun nomor 15 Jakarta Timur.

"Bayi berangkat September 2008 lalu dan pulang sekitar pertengahan tahun 2010," katanya.

Begitu pula dengan Lusi, warga Kelurahan Cijoro Pasir, Kecamatan Rangkasbitung. Selama 10 bulan bekerja di Arab Saudi Lusi juga mengalami hal yang sama dengan Bayi.

Lusi yang hanya menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Rangkasbitung, terpaksa kabur dari rumah majikanya karena mendapat penyiksaan dan bahkan nyaris menjadi korban percobaan pemerkosaan yang dilakukan majikanya.

Ia berangkat 2009, melalui PJTKI PT Salha Putri Tunggal yang beralamat di Cipinang, Jakarta Timur dan bekerja di Riyad Arab Saudi.

Selama kabur dari rumah majikanya, Lusi ditemukan petugas KBRI di Arab Saudi.

"Kedua TKW Lebak hanya berharap sang majikan maupun PJTKI bertanggung jawab, karena gaji mereka hingga kini belum diterima," katanya.



Satgas TKI

Pemerintah Kabupaten Lebak akan membentuk satuan tugas atau satgas pemberantasan penempatan tenaga kerja Indonesia nonprosedural karena banyak TKI tidak tercatat di dinas tenaga kerja dan transmigrasi setempat.

Menurut Suprapto, pembentukan satgas itu merupakan salah satu upaya menekan TKI agar terdaftar di dinas tenaga kerja setempat. Selama ini mereka bekerja ke luar negeri berangkat melalui sponsor PJTKI.

Satgas dibentuk di setiap kecamatan dengan melibatkan lima anggota dari kepolisian, koramil, kecamatan, desa, dan masyarakat.

"Kami saat ini hanya memiliki data TKI sebanyak 200 orang, namun berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencapai 3.000 orang per tahun," katanya.



Jangan dihentikan

Namun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lebak Oong Syahroni mengatakan pemerintah meminta pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) jangan sampai dihentikan karena sangat membantu ekonomi masyarakat pedesaan.

Penyiksaan yang dilakukan majikan di luar negeri tidak semua menimpa TKW Indonesia. Pemerintah lebih baik membenahi pengiriman TKI mulai dari keberangkatan sampai kembali ke Tanah Air.

Saat ini, diprediksikan jumlah TKI asal Kabupaten Lebak yang bekerja ke Timur Tengah, mencapai 20.000 orang.

Dari 20.000 orang itu, kata dia, mereka setiap bulan mengirimkan uang kepada anggota keluarga antara Rp6 miliar sampai Rp10 miliar.

"Saya keberatan jika pemerintah menghentikan pengiriman TKI, sebelum ada solusi yang baik untuk lapangan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan," katanya.

Dia menyatakan, pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan bagi TKI/TKW dengan cara melakukan pembenahan sistem pemberangkatan dan proses kepulangan ke Tanah Air.

Selama ini, nasib TKW banyak yang menjadi korban penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan.

Karena itu, pihaknya meminta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi agar memperketat izin PJTKI untuk menghindari pengiriman TKI ilegal.

"Kami sangat prihatin mendengar banyak TKW kita menjadi korban penyiksaan bahkan menghilang," katanya.

Pemerintah Kabupaten Lebak pada 2011 akan mengalokasikan anggaran untuk pencatatan data TKI, karena saat ini belum memiliki data pasti.

Pengiriman TKI akan diatur melalui Peraturan Daerah (Perda), sehingga mereka setiap bekerja ke luar negeri harus terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kabupaten Lebak.

"Dengan adanya pendataan dan Perda itu tentu para TKI merasa terlindungi," ujarnya.



Tidak ada data

Ketua Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi Banten, Sumardi mengatakan, pihaknya hingga kini tidak memiliki data pasti TKI asal Banten, karena mereka belum menerima laporan dari masing-masing kabupaten/kota.

Selama ini, pihaknya hanya menerima laporan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Pada 2009 jumlah TKI asal Banten yang pulang ke Tanah Air sebanyak 23.307 orang, dan akhir Oktober 2010 tercatat 20.997 orang.

Dengan tidak adanya data, kata Sumardi, pihaknya merasa kesulitan untuk melakukan pemantauan maupun pengawasan jika terjadi penyiksaan yang dialami TKI Banten.

Pihaknya sepanjang Januari-November 2010 menangani sebanyak 42 kasus TKI asal Banten yang bermasalah dan mereka bekerja di Arab Saudi, Kuwait, Jordania, Malaysia, Suriah, dan Afrika.

Dari 42 kasus tersebut hingga kini belum selesai tercatat 32 orang karena kendalanya belum ada tanggapan dari perusahaan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).

Kasus TKI yang bermasalah itu antara lain penganiayaan, gaji tidak dibayarkan, tidak jelas keberadaan TKI, tidak bisa berkomunikasi, melebihi masa kontrak, dan sakit.

Dia menambahkan, pihaknya akan menindaklanjuti kepada perusahaan yang memberangkatkan ke luar negeri, apabila ada laporan TKI bermasalah dari kabupaten/kota.

Namun pengaduan itu sebagian besar belum ada tanggapan sehingga kasus ini berlarut-larut.

"Saya kira meskipun terjadi penderitaan yang dialami TKI, tetapi animo masyarakat untuk bekerja ke luar negeri cukup tinggi," katanya. (MSR/K004)

Oleh Oleh Mansyur
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010