Pontianak (ANTARA News) - Laki-laki paruh baya asal desa perbatasan di kabupaten Bengkayang (Kalbar) tak bisa menyembunyikan curahan hatinya saat diberi kesempatan berbicara di hadapan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring yang sedang berada di Desa Jagoi pada 11 Desember lalu.

"Kami sangat senang, ada pejabat pusat ke sini. Karena selama ini sejak Indonesia Merdeka, bapak (Menkominfo) adalah menteri pertama yang mengunjungi desa ini. Dua pejabat tinggi lain yang pernah datang adalah bapak gubernur, saat itu bapak Usman Jafar (mantan Gubernur Kalbar) sekali ke sini dan bapak Cornelis (Gubernur Kalbar saat ini) juga," kata Ahau Kadou, lelaki asal Suku Dayak yang juga menjadi Ketua Forum Masyarakat Adat Jagoi.

Curahan Ahau ini sesungguhnya mewakili ratusan ribu warga perbatasan Kalbar-Sarawak (Malaysia)yang merindukan perhatian para pejabat tinggi negerinya sendiri, yang selama ini dirasakan mengabaikannya.

Perasaan terabaikan itu sepertinya terhunjam dalam hati karena warga perbatasan merasakan berbagai sarana infrastruktur kehidupan terasa lamban pembangunannya. Atau, kalau sudah ada infrastruktur itu betapa rusak kondisinya, tanpa perawatan yang memadai.

Kepala Desa Kaliau, Kabupaten Sambas, Petrus Atus, mengeluhkan kondisi jalan desanya menuju kota Sambas yang tidak kunjung beraspal yang laik. Bahkan hampir separuh dari panjang jalan sekitar 90 km masih berupa tanah yang bisa memerosokkan saat hujan.

Kondisi itu, lanjutnya, mengakibatkan segala urusan warga desanya, seperti pembuatan KTP dan akta kelahiran, menjadi sering lambat untuk meminta pengsahan dari kantor dinas kabupaten lambat.

"Bashkan bokong saya ini sampai tipis harus bersepeda motor selama empat jam ke Sambas. Belum kalau musim hujan, tambah lambat lagi," keluh lelaki Dayak dari wilayah perbatasan itu.

Lebih parah lagi kondisi jalan antardesa perbatasan yang berada di pedalaman dan tidak dilalui jalan nasional alur ke pos lintas batas (PLB). Kondisi jalan yang ada tidak layak untuk alat transportasi darat, sehingga jalur sungai menjadi sarananya, walau harus memakan waktu lama dan biaya besar yang bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk membeli bahan bakar minyak.

Kepala Dusun Badat Baru, Kecamatan Entikong, Matius Leset mengatakan, keadaan di dusunnya sendiri sangat mengkhawatirkan karena hanya terdapat satu sekolah dasar dan tidak adanya pelayanan kesehatan, serta tidak tersedia infrastruktur jalan.

"Kalau ke kota kecamatan hanya mengandalkan transportasi sungai yang sangat jauh," ucap Matius, sambil mengungkapkan bahwa biaya transportasi air menggunakan perahu motor tempel bisa mencapai sekitar Rp2 juta dengan jarak tempuh tujuh hingga delapan jam lamanya.


Ke Malaysia

Kondisi infrastruktur dasar, terutama jalan yang tak memadai itu menjadikan warga perbatasan dalam berhubungan sosial ekonomi lebih dekat ke wilayah di Malaysia.

Martius, Warga Sungkung di kecamatan Entikong mengungkapkan, setiap kali ingin menjual hasil pertanian mereka lebih memilih ke negeri tetangga Malaysia, walau harus berjalan kaki tiga hingga enam jam dibandingkan ke ibu kota kecamatan dengan waktu lima hingga delapan jam perjalanan menggunakan perahu motor.

"Untuk penjualan hasil bumi ke Malaysia, karena jaraknya relatif singkat, dan tidak butuh biaya besar, seperti butuh solar," kata Martius.

Selain itu, lanjutnya, sebagian besar hasil pertaniannya dari hasil kebun miliknya atau warga lain hampir selalu habis dibeli orang Malaysia, walau bertransaksi dengan ptokan mata uang ringgit Malaysia.

Tidak hanya Martius, warga Desa Jagoi, Kabupaten Bengkayang, Kasman mengakui, sebagian besar kebutuhan pokok untuk keperluan rumah makannya dibeli di wilayah Serikin (Sarawak, Malaysia).

"Khususnya gas, gula, the, kopi, dan mie kita beli dari Malaysia," kata Kasman, asal Kebumen (Jateng) yang beristerikan warga Dayak setempat dan membuka rumah makan Padang di desa perbatasan itu.

Tidak hanya kebutuhan pangan, bahkan listrik di perbatasan berasal dari Malaysia, akibat PLN tidak bisa memenuhinya.

Setidaknya tiga kawasan perbatasan telah dipasok listrik dari pembelian ke perusahaan listrik di Sarawak, yaitu Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas; Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu; dan kecamatan Entikong, kabupaten Sanggau.

Menurut PLN, pembelian listrik ini ditawarkan hanya senilai Rp900/kwh. Jauh lebih rendah daripada harga pokok produksi pembangkit listrik milik PLN di Kalbar yang rata-rata sekitar Rp4.000/kwh.

"Mereka mengalami extra supply (kelebihan daya) dan kita bisa membelinya dengan harga yahg luar biasa murah. Kita tidak harus gengsi karena ini murni kepentingan bisnis ," ujar Direktur Operasional PLN Wilayah Indonesia Barat Harijaya Pahlawan suatu ketika di Pontianak.


Harapan Realisasi

Infrastruktur jalan merupakan hal utama yang harus dibangun segera, demikian ungkapan warga perbatasan maupun para pejabatnya.

Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) pun telah berjanji akan memperjuangkan jalan perarel perbatasan, sebagai upaya mempercepat pembangunan di kawasan perbatasan yang berkategori tertinggal di Provinsi Kalbar ini.

Bupati Sanggau Setiman H Sudin menegaskan jalan pararel perbatasan mutlak dibangun. Saat ini baru dibangun jalan inspeksi untuk permulaan sebelum membangun jalan pararel. Besar dana yang digunakan untuk membangun jalan inspeksi ini sebesar Rp3,4 miliar.

"Ini dukungan kami. Jalan perbatasan mutlak harus dibangun untuk mempercepat proses pembangunan di perbatasan," kata Setiman.

Hal senada diungkapkan Bupati Sambas, Burhanuddin Rasyid yang menginginkan pembangunan jalan pararel perbatasan segera dilaksanakan.

"Kita ingin segera ada jalan pararel perbatasan untuk Kalbar mulai dari Temajok, Sambas hingga ujung Kapuas Hulu. Malu juga kita dengan negara tetangga yang sudah ada jalan pararelnya, sedangkan kita masih `jalan tikus?," ungkap Burhanuddin.

Jalan paralel yang dijanjikan pemerintah pusat akan terbentang melalui lima kabupaten perbatasan di wilayah Kalbar dari Temajok, kabupaten Sambas hingga ujung Kapuas Hulu dengan panjang lebih dari 800 km.

Selain infrastruktur jalan, prasarana kesehatan yaitu klinik desa harus banyak dibangun dengan disertai dokter, bidan dan perawatnya. Tidak mungkin warga Indonesia di perbatasan menggantungkan diri ke klinik kesehatan Malaysia untuk urusan kesehatan dan kehamilan.

"Tenaga kesehatan di daerah pedalaman masih minim. Kita berharap setiap desa memiliki tenaga medis," ujar Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong.

Sementara itu untuk masalah hubungan dagang antarwarga perbatasan Indonesia dan Malaysia, solusinya menurut Gubernur kalbar Cornelis, sebaiknya di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia perlu adanya daerah bebas perdagangan.

"Jika bisa di jalur perbatasan Aruk (Sambas), Jagoi Babang (Bengkayang), Entikong (Sanggau), Jasa (Sintang) dan Badau (Kapuas Hulu) terdapat daerah bebas untuk perdagangan sehingga pedagang dari Malaysia dan pedagang dari Indonesia bisa masuk ke daerah tersebut dengan bebas tanpa menggunakan paspor," kata Gubernur Kalbar Cornelis.

Dengan daerah bebas itu pula, kata Cornelis, akan memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia karena hasil pertanian dan peternakan mereka bisa langsung dijual dalam keadaan yang masih sangat segar.

Selain itu, Cornelis juga meminta agar Perjanjian Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia (Sosek-Malindo) direvisi dengan memperbolehkan masyarakat perbatasan yang menggunakan buku biru, yakni sebuah buku yang dijadikan tanda bahwa diperbolehkannya warga perbatasan berbelanja di Malaysia, nilainya dinaikkan dari saat ini dibatasi hingga tertinggi 600 ringgit Malaysia.


Menunggu malaikat

Kunjungan pejabat pusat memang diharapkan warga perbatasan agar bisa melihat kondisi sebenarnya di lapangan, meski warga juga tak ingin pejabat pusat datang hanya sekadar berkunjung tanpa memberikan perubahan bagi kemjuan dan kesejahteraan di daerah perbatasan.

Khusus di pos perbatasan Entikong, menurut Endang Rosmiati, seorang warga Entikong, mengungkapkan telah puluhan kali pejabat nasional dan anggota DPR, mengunjunginya.

"Tetapi tetap saja tidak ada perubahan yang berarti," keluh Endang yang juga sebagai ketua koperasi di daerahnya.

Hal serupa diungkapkan Wakil Gubernur Chritaiandy Sanjaya bahwa dirinya sejak diangkat sebagai Wakil Gubernur pada 2008, setidaknya sudah empat kali mendampingi Menteri berkunjung ke kawasan perbatasan, dan Pemprov Kalbar sudah menyodorkan berbagai konsep untuk membangun kawasan perbatasan, salah satunya melalui pembangunan jalan paralel di perbatasan sepanjang lebih dari 800 km dengan nilai dana yang dibutuhkan sekitar Rp5,4 triliun.

Nilai tersebut, menurut dia, jauh lebih kecil dibandingkan dana untuk peninggian jalan tol dari Jakarta ke Bandar Udara Soekarno-Hatta sepanjang dua kilometer mencapai Rp3,2 triliun. Atau untuk Jembatan Suramadu sepanjang lima km yang menghabiskan dana Rp3,4 triliun.

"Namun nilai ini tidak bisa ditanggung Pemprov Kalbar karena lebih besar dari APBD Kalbar tahun ini yang hanya Rp 1,5 triliun," katanya.

Menurut dia, jalan paralel di beranda negara itu bukan hanya untuk membuka keterisolasian semata, tetapi untuk kepentingan bersama terutama kemudahan tenaga medis, pelayanan birokrasi, pelayanan pendidikan, serta memudahkan pengawasan dan patroli anggota TNI dan Kepolisian di tapal batas.

Kini tahun 2010 sebentar lagi akan tutup dan terbuka lembaran baru tahun 2011. Warga perbatasan masih tetap menggantungkan harapannya pada pemerintah pusat, apalagi dengan dibentuknya Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.

Ke depannya, warga perbatasan memang masih harus menunggu realisasi janji-janji pemerintah pusat untuk menjadikan beranda negara ini membaik sebagai beranda terdepan, dan semoga tidak terjadi, seperti ungkapan pesimis warga perbatasan, harus menunggu malaikat datang, baru nasib warga di perbatasan berubah secara berarti. (ANT/K004)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010