PITTI Ketidaksesuaian menjadi penting karena digunakan sebagai acuan penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan di atasnya
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI) Ketidaksesuaian, berhasil mengidentifikasi permasalahan ketidaksesuaian yang terjadi sebesar 46,8 juta hektar atau sekitar 24,6 persen dari total luasan wilayah nasional yang tersebar secara merata di seluruh dataran pulau di Indonesia.

“Penyelesaian Sektor Tatakan pada PITTI Ketidaksesuaian menjadi penting karena digunakan sebagai acuan penyelesaian ketidaksesuaian izin, konsesi, hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan di atasnya,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Wahyu menjelaskan PITTI Ketidaksesuaian merupakan upaya untuk mengidentifikasi permasalahan ketidaksesuaian batas administrasi, tata ruang, kawasan hutan, izin usaha pertambangan, dan hak atas tanah melalui Kebijakan Satu Peta. Pemerintah pun telah melakukan sosialisasi Rancangan PITTI Ketidaksesuaian dengan melibatkan 34 pemerintah daerah provinsi dan kementerian/lembaga terkait secara virtual, pada 8-9 September 2021.

Ia mengungkapkan permasalahan tumpang tindih yang terjadi dapat dikategorikan menjadi empat. Pertama, ketidaksesuaian antara RTRW Provinsi dengan Kawasan Hutan 3,9 persen, ketidaksesuaian antara RTRW Kabupaten/Kota dengan Kawasan Hutan 6,6 persen. Lalu, ketidaksesuaian antara RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dengan Kawasan Hutan 2 persen serta ketidaksesuaian antara RTRW Provinsi dengan RTRW Kabupaten/Kota 12 persen.

Adapun kondisi PITTI Ketidaksesuaian Tatakan berdasarkan pulau, yakni di Pulau Sumatera mencapai 8 juta hektar atau 16,8 persen dari luasan pulau. Sebesar 6,6 juta hektar terjadi di Pulau Jawa 49,3 persen dari luasan total pulau, lalu 10,1 juta hektar terjadi di Pulau Kalimantan atau 19 persen dari luasan pulau.

Kemudian di Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara terjadi permasalahan ketidaksesuaian sebesar 3,27 juta hektar atau 44,6 persen dari total luasan pulau. Sebesar 5,76 juta hektar atau sebesar 31 persen dari luasan dataran terjadi di Pulau Sulawesi, sedangkan sebanyak 12,9 juta hektar permasalahan ketidaksesuaian terjadi di Kepulauan Maluku dan Papua 26,2 persen.

Tak hanya itu, pemerintah juga melakukan sosialisasi Kepmenko Bidang Perekonomian Nomor 164/2021 yang memuat hasil telaah dan peta indikatif tumpang tindih ketidaksesuaian perizinan pertambangan dalam kawasan hutan (PITTI Ketidaksesuaian) untuk seluruh wilayah Indonesia.

“Penyelesaian Ketidaksesuaian antara Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah menjadi penting adanya untuk mewujudkan pengelolaan pemanfaatan ruang yang harmonis dan berkelanjutan,” ujar Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan Dody S. Riyadi.

Hasil PITTI Ketidaksesuaian Tatakan untuk selanjutnya oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah bersama-sama untuk melakukan penyelesaian ketidaksesuaian yang termuat dalam PITTI Ketidaksesuaian paling lama 3 bulan sejak ditetapkannya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 dengan memperhatikan regulasi yang berlaku baik regulasi pada rezim tata ruang dan pertanahan, rezim kehutanan, maupun rezim kelautan.

Baca juga: Moeldoko: Kebijakan Satu Peta cegah korupsi dan konflik agraria
Baca juga: Kemenko Perekonomian paparkan lima target kebijakan Satu Peta
Baca juga: Kepala BIG baru diharapkan percepat Kebijakan Satu Peta


Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021