Merapi (ANTARA News) - Sejak sore, mereka berduyun-duyun memasuki bangunan tanpa dinding yang mereka namai "Gubug Selo Merapi" (GSPi), untuk merayakan misa kudus malam Natal di kawasan lereng barat puncak Gunung Merapi.

Langit memang terlihat cerah, saat sang penguasa siang menghilang di cakrawala barat. Gunung Merapi dari sekitar sembilan kilometer di tempat itu tampak tertutup awan.

Hujan tidak turun sebagaimana dua hari sebelumnya yang lebat disusul suara gemuruh banjir lahar dingin susulan di alur Kali Senowo, sekitar 300 meter dari Dusun Grogol, Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tempat bangunan serba guna itu berdiri kokoh.

Biasanya setiap hari besar keagamaan Kristiani, umat setempat merayakannya dalam kemasan budaya kontemporer. Tetapi pada Natal 2010 mereka seakan ingin menukik kepada makna peristiwa rohani mengenang kelahiran Yesus Kristus itu dalam kaitan dengan letusan Merapi.

Merapi meletus sejak akhir Oktober hingga pertengahan November 2010, disusul banjir lahar dingin berkali-kali yang masih mengancam mereka hingga saat ini.

"Meski perayaan malam Natal kali ini berlangsung sederhana, kami tidak ingin kehilangan makna khusus karena kami baru saja menghadapi fase letusan dahsyat Merapi," kata seorang tokoh umat Katolik setempat, Sutar (39).

Ia pun kemudian duduk bersila di belakang kendang dan memimpin sekitar 12 penabuh seperangkat gamelan pelog dari besi yang ditata di sisi timur bangunan GSPi itu.

Sekitar 400 umat setempat duduk berderet di bangku, sebagian duduk bersila di balkon, sedangkan lainnya duduk di teras bangunan di samping GSPi itu.

Lagu berbahasa Jawa "Betlem Sang Timur" umat dalam irigan gamelan pelog milik komunitas setempat mengalun, mengiring pemimpin umat Katolik setempat, Romo Vincensius Kirjito, Pr, dua orang bertugas sebagai prodiakon, dan sejumlah anak yang menjadi misdinar memasuki gedung itu.

Hari semakin gelap, mereka takzim dalam perayaan Natal. Tak ada properti cukup menonjol yang menghiasi bangunan itu selain gua Natal sederhana dibuat dari rangkaian kertas bekas wadah semen di pojok GSPi, di samping kanan altar dengan patung bayi Yesus, Maria, Yusuf, gembala, beberapa domba, tiga raja dari timur, dan beberapa pelita cukup kecil.

"`Gusti nyuwun kawelasan, Sang Kristus nyuwun kawelasan, Gusti Nyuwun Kawelasan, Lan manggiha tentrem manungso ing donya, ingkang kinasih ing Gusti" yang maknanya: "Tuhan kasihanilah kami, dan tenteramlah manusia di dunia yang dikasihi Tuhan". Demikian penggalan salah satu tembang rohani misa itu yang mereka lantunkan dalam iringan tabuhan gamelan sumbangan seorang pelukis Yogyakarta, Joko Pekik.

Dua orang mengenakan pakaian tokoh punakawan dalam dunia pewayangan, masing-masing Gareng (Sarwoto) dan Petruk (Bernadus Supratik), setelah sesi pembacaan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maju ke depan altar memainkan peran sebagai pengganti kutbah yang biasanya dibawakan oleh pastor saat misa.

Dialog mereka tentang pengalaman masyarakat lereng Merapi menghadapi fase letusan belum lama ini, yang penuh dengan humor segar, sesekali ditimpali dengan derai tawa umat.

"`Aku orang ngungsi kok Truk, mung pindah turu karo diwenehi mangan sing enak-enak." (Saya tidak mengungsi Truk, hanya pindah tidur dan mendapat makanan yang enak). Demikian sepenggal dialog antara pemeran Gareng dengan Petruk terkait dengan pengalaman warga Merapi di penampungan pengungsi.

Saat Merapi meletus, masyarakat setempat mengungsi ke berbagai tempat baik yang telah disiapkan pemerintah, lembaga swasta, maupun pengungsian mandiri di berbagai rumah keluarga mereka yang relatif lebih aman dari bencana gunung berapi di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Yogyakarta itu.

Lebih dari 100.000 warga berasal dari berbagai desa rawan letusan Merapi di Kabupaten Magelang, ketika itu mengungsi. Kini mereka telah pulang ke rumah masing-masing karena kondisi Merapi sudah aman dari letusan.

"`Lha wong romo yo ngungsi kok Reng, dadi yo nang nggrejo kene ora ono misa pirang-pirang minggu". (Romo juga mengungsi Reng, sehingga tidak ada misa beberapa minggu di gereja). Itulah dialog pemeran Petruk kepada Gareng.

Romo Kirjito yang duduk di belakang altar didampingi dua prodiakon tersenyum mendengar dialog itu. Kirjito memimpin Gereja Paroki Santa Maria Lourdes di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, yang antara lain membawahi sekitar 3.500 umat Katolik termasuk di sekitar GSPi, di sebelah utara alur Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Merapi.

Selama beberapa waktu Romo Kirjito bersama belasan relawan lokal turun dari Pastoran Sumber sekitar sembilan kilometer barat puncak Merapi untuk mengungsi ke Pastoran Sanjaya Muntilan

Lokasi daerah itu sekitar 30 kilometer barat puncak Merapi. Ia sambil terus melanjutkan penyaluran bantuan kepada pengungsi di beberapa lokasi di kota terbesar di Kabupaten Magelang itu dan warga yang masih bertahan di rumahnya di beberapa desa terakhir dari puncak Merapi.

Sejak status aktivitas vulkanik Merapi diturunkan oleh Badan Vulkanologi dari "awas" ke "siaga" pada 3 Desember 2010, Kirjito dan relawan kembali ke Pastoran Sumber.

Hingga saat ini tim relawan lokal yang mereka kibarkan dengan nama "Gerakan Cinta Sedulur (saudara,red.) Merapi" itu terus melanjutkan pemberian bantuan termasuk rehabilitasi saluran air bersih kepada masyarakat umum pascaletusan Merapi.

Letusan Merapi secara intensif yang dimulai 26 Oktober 2010 hingga pertengahan November 2010 memang sesuai dengan mitigasi pihak Badan Vulkanologi sebelumnya yakni bersifat eksplosif.

Beberapa fase letusan sebelumnya bersifat guguran atau lelehan lava pijar disertai semburan awan panas. Karakter letusan guguran itu telah dihafal oleh sebagian masyarakat Merapi disertai dengan ketajaman mereka menangkap tanda-tanda alam dan kearifan lokal lainnya yang mereka sebut sebagai "ilmu titen".

"Letusan Merapi kemarin telah memberi pelajaran penting dan pengalaman hidup yang baru kepada kita untuk semakin dekat dengan Allah," kata Kirjito, saat berbicara di hadapan umat pada misa malam Natal itu.

Ia menyebut letusan Merapi 2010 sebagai peristiwa dahsyat dan mengagumkan. Semburan awan panas membawa hujan abu, pasir, dan lumpur hingga tempat yang cukup jauh, tidak hanya di Magelang tetapi hingga daerah lain.

Mereka yang biasanya tidak mengungsi saat Merapi meletus, katanya, pada erupsi 2010 harus menyingkir dari rumahnya menuju berbagai penampungan yang aman.

Material vulkanik yang dikeluarkan Merapi cukup banyak, mencapai sekitar 150 juta meter kubik, yang sebagian kecil telah turun menjadi banjir lahar dingin melewati berbagai alur sungai dan sebagian lainnya telah menerjang kawasan pemukiman dan jalan raya di daerah itu.

"Selama ini Merapi sering disebut masyarakat sebagai Kiai Petruk, Semar, atau Mbahne (kakeknya), pada kesempatan malam natal ini saya ingin memberi sebutan juga untuk Merapi dengan nama Mbok Luwih` (semoga berlebih)," katanya.

Secara kasat mata, material yang dikeluarkan Merapi pada letusan 2010 disebutnya serba berlebih ketimbang fase letusan tahun-tahun sebelumnya.

"Merapi bekerja lebih besar dan dahsyat melalui letusan terakhir ini," kata Kirjito yang juga peraih "Maarif Award 2010" itu.

Penghargaan itu dikeluarkan oleh Maarif Institute di Jakarta yang didirikan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan salah seorang tokoh pluralisme Indonesia, Syafi`i Ma`arif, atas kepemimpinan seseorang dalam pengembangan masalah kearifan lokal.

Kirjito yang selama 10 tahun memimpin gereja setempat itu mengajak umat Merapi untuk tekun belajar hidup secara baik atas letusan berlebih Merapi 2010 yang disebutnya sebagai elok, mendebarkan, dan mengagumkan itu.

"Tidak ada istilah pemulihan.  Kalau pemulihan itu artinya kembali kepada keadaan sebelumnya," katanya.

Tetapi, katanya, pascaletusan Merapi, semua kalangan masyarakat harus memiliki kesadaran atas semangat hidup yang berlebih dan bukan "luweh" atau acuh terhadap sesamanya.

"Kita ingin semangat yang `luwih` bukan `luweh`. Semangat hidup Kristiani yang `luwih`, umat lebih rajin ke gereja, petani lebih tekun mengolah pertanian, masyarakat bekerja lebih giat, anak muda lebih rajin belajar agar pandai, pemerintah juga harus memperhatikan secara `luwih` terhadap nasib rakyatnya," katanya.

Kini, katanya, masyarakat Merapi tidak lagi cukup mengandalkan `ilmu titen` menghadapi karakter baru Gunung Merapi. Mereka juga harus lebih mencermati mitigasi bencana yang dikeluarkan oleh Badan Vulkanologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atas gunung berapi itu.

Perayaan Natal 2010 dan energi dahsyat Gunung Merapi diharapkan membuat tebaran semangat "Mbok Luwih" makin meluas.
(U.M029/T010/P003)

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010