Jakarta (ANTARA News) - Untuk memastikan pemerintahan yang kuat, sistem presidensialisme yang kuat dan efektif, Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih menjadi Presiden 2009-2014, menggandeng enam partai politik untuk masuk Kabinet Indonesia Bersatu II.

Awalnya hanya lima partai yang masuk barisan pendukung pemerintah, yaitu partai pemenang pemilu Partai Demokrat yang meraih 148 kursi dan juga juga partainya Presiden Yudhoyono, Partai Keadilan Sejahtera dengan 57 kursi, Partai Amanat Nasional 46 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 37 kursi dan Partai Kebangkitan Bangsa 28 kursi.

Namun kemudian Partai Golkar yang memiliki 107 kursi turut bergabung dalam koalisi pendukung Presiden. Partai Golkar yang semula mengajukan Calon Presiden Jusuf Kalla dan Wakil Presiden Wiranto, bergabung di saat-saat akhir dalam koalisi untuk memperkuat posisi pemerintah di parlemen.

Dengan masuknya Partai Golkar, total suara partai pendukung pemerintah adalah 423 kursi, atau 75 persen dari total 560 kursi DPR.

Sementara hanya tiga partai politik yang berada di luar pemerintahan yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Hanura yang totalnya tak lebih dari 25 persen suara DPR.

Partai politik pendukung pemerintah mendapat jatah untuk menempatkan kadernya sebagai menteri. Dari 34 kursi menteri, 22 diantaranya dari partai politik. Delapan kursi menteri untuk Partai Demokrat, tiga kursi untuk Partai Golkar, empat kursi dari PKS, tiga dari PAN, sedangkan PPP dan PKB masing-masing mendapat jatah dua menteri.

Kabinet dilantik pada 22 Oktober 2009. Ini berarti, sudah satu tahun lebih tiga bulan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II bekerja.

Meski mengantongi 75 persen suara di parlemen, namun skenario presiden untuk memperkuat pemerintahan presidensial yang efektif selama 2010 tidak terjadi.

Pemerintah tidak efektif dalam membuat kebijakan terutama ketika berurusan dengan DPR. Hampir sepanjang tahun muncul berbagai kasus yang menjadi kontroversi. Mulai dari kasus Century pada akhir 2009 yang terus bergerak liar di awal 2010. Dalam kasus ini, Presiden tidak memperoleh dukungan yang kompak dari partai-partai koalisi.

Kebijakan penyelamatan Bank Century pada akhirnya menyisakan kontroversi setelah Partai Golkar dan PKS menjadi partai politik koalisi paling keras yang terus mendesak dan menilai ada pelanggaran hukum dalam kasus tersebut.

Dalam kadar yang lebih lunak, PPP dan PAN sebenarnya memiliki pandangan hampir sama, sehingga praktis hanya Demokrat dan PKB yang membela kebijakan pemerintah tersebut.

Gonjang-ganjing itu akhirnya diredam dengan mundurnya Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan yang diumumkan sendiri oleh Presiden Yudhoyono.

Pengalaman kasus Century membuat Presiden lebih waspada. Guna memperkuat dukungan parlemen dan menjadikan jembatan antarpemerintah dan partai politik, Yudhoyono membentuk sekretariat gabungan partai koalisi atau biasa disebut Setgab. Setgab diketuai Presiden SBY dengan ketua pelaksana harian, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Pascakasus Century dan pembentukan setgab ternyata tak berhasil menutup kontroversi selama 2010. Berbagai kasus kemudian muncul. Dukungan partai politik koalisi terhadap pemerintah seringkali dirasakan setengah hati. Mulai dari penempatan pejabat publik, sampai kerja pemerintahan yang alot karena harus bernegosiasi bila tidak harus bertransaksi sehingga butuh waktu cukup lama.

Kebijakan lamban itu diantaranya berkaitan dengan kasus penangkapan petugas KKP oleh polisi diraja Malaysia, pemilihan ketua KPK, masalah penetapan Jaksa Agung Hendaraman, mafia kasus Gayus, sampai keistimewaan Yogyakarta. Bahkan kemudian, muncul kasus-kasus hukum yang melibatkan politisi sehingga memperunyam keadaan.

Kasus-kasus hukum ini, kata pengamat Charta Politika Yunarto Wijaya, kadang digunakan untuk menjaga loyalitas partai-partai politik koalisi pendukung pemerintah.

Kasus penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom melibatkan politisi Golkar, PDIP, PPP, sementara kasus mafia pajak Gayus terus dihubungkan dengan Aburizal Bakrie. Begitu pula kasus L/C fiktif yang melibatkan politisi PKS.

"Presiden tersandera oleh setgab dan seringkali tidak memperoleh dukungan yang memadai dari Parlemen. Alhasil, banyak kebijakan yang harus bernegosiasi secara alot antara pemerintah dan parlemen ataupun kadang terlihat saling mengancam dan saling menyandera," kata Yunarto.

Pemerintahan Terpisah


Mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti mengatakan gejala kurangnya dukungan mayoritas parlemen terhadap para presiden telah terlihat sejak reformasi. Mulai dari Presiden Habibie, Presiden ABdurrahman Wahid, Presiden Megawati hingga Presiden Yudhoyono.

Gejala ini adalah salah satu kelemahan sistem presidensialisme yang disbeut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga itu sebagai pemerintahan terpisah (divided government).

"Yakni apabila presiden tidak memperoleh dukungan mayoritas parlemen, atau bila Presiden dari satu partai politik tertentu sedangkan parlemen didominasi partai politik lainnya," katanya.

Akibatnya kebijakan tidak efektif. Parlemen cenderung untuk menolak. Jika diterima pun, pensahannya butuh waktu lama dan disertai politik transaksional. Gejala ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga di daerah.

"Itu yang terjadi di Indonesia, meluasnya politik transaksional yang hanya melayani kepentingan elite, bukan kepentingan publik," katanya.

Sulitnya Presiden memperoleh dukungan dari mayoritas parlemen, menurut pangamat politik Valina Singka Subekti, terjadi karena sistem multipartai yang komplek sebagai akibat reformasi yang telah mendorong pertumbuhan partai-partai politik seperti jamur di musim hujan.

Sistem multipartai yang komplek ini mengakibatkan suara menyebar ke berbagai partai politik, sedangkan mayoritas partai politik tidak otomatis mengendalikan parlemen sebab harus berbagi dengan partai politik lainnya.

Meski memiliki 26 persen kursi Partai Demokrat harus berbagai dengan Golkar yang memiliki 19 persen suara, PKS 10 kursi di DPR, PAN 8 persen suara di DPR, PPP enam persen kursi dan PKB lima persen kursi. Persebaran kursi dari partai-partai politik tersebut membuat sebuah dukungan politik yang kuat sulit didapatkan.

Alhasil, pemerintah seringkali harus bernegosiasi dan bertransaksi alot dengan partai pendukung koalisinya sendiri.

"Sistem multipartai yang komplek sebenarnya secara teori sulit cocok dengan sistem presidensialisme yang kuat dan efektif," kata Valina yang juga mantan anggota KPU itu.

Namun demikian, menurut dia, bukan berarti `divided government` tersebut tidak bisa dikendalikan. Sayangnya, pada pemerintahan Yudhoyono keadaan ini tidak dikendalikan, malah semakin parah karena sistem pendukung yang tidak mengarah kepada bentuk presidensialisme kuat dan efektif.

Tanpa arti


Menurut Ramlan Surbakti, salah satu penyebab lemahnya presidensialisme adalah koalisi politik pedukung Presiden hampir tidak bermakna.

Koalisi hanya merupakan kumpulan partai-partai politik di kabinet, bukan mengarah pada pembentukan sistem presidensialisme yang kuat dan efektif.

Kondisi ini, menurut Ramlan, muncul karena tiga sebab.

Pertama, tiadanya waktu untuk membentuk koalisi yang solid saat mengusung calon presiden, yaitu hanya satu setengah bulan. Kedua, koalisi dibangun bukan berdasarkan platform politik, hanya berdasarkan kursi sehingga rawan pengkhianatan. Ketiga, presiden terpilih tersandera oleh partai-partai politik yang selalu memainkan dukungan parlemen.

"Lebih parahnya lagi, presiden seperti tidak mampu menghukum partai-partai koalisi yang mengkhianati atau tak setia kepada pemerintah," kata Yunanto Wijaya.

Kondisi ini menunjukkan carut-marutnya sistem presidensial yang ingin dibentuk. Di satu sisi, ingin membentuk sistem presidensial yang kuat sesuai amanat konstitusi, namun di sisi lain tidak ada dukungan untuk membentuk sistem tersebut.

Penyebabnya, demikian Valina Singka, diantaranya karena sistem penyelenggaraan pemilu dan kepartaian tidak mengarah kepada sistem presidensial.

Menurutnya, penyelenggaraan pemilu yang didahului pemilihan legislatif hanya mendorong koalisi berdasarkan hitung-hitungan kursi sehingga pembentukan koalisi pengusung presiden hanya ditentukan oleh langkah taktis dari berapa jumlah suara yang dimiliki. Sementara acuan strategis berkebijakan, dengan program nilai dan ideologi yang bisa dijalankan bersama, dianggap sepi.

Koalisi kemudian menjadi ajang kumpul-kumpul partai, jauh dari kesamaan program, nilai, apalagi ideologi. Hasilnya, koalisi bukan berarti pendukung pemerintah karena program pemerintah bisa berbeda 180 derajat dengan keinginan partai politik. Konsensi yang diberikan pun hanya melulu kursi di kabinet.

"Tidak ada koalisi yang permanen yang membuat partai politik koalisi memahami dan mendukung sebuah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah," katanya.

Selain itu, sistem multipartai yang terlalu komplek mengakibatkan suara tersebar sehingga partai sulit menjadi dominan. Untuk itu perlu upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian.(*)

M041/H-KWR/AR09

Oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010