Jakarta (ANTARA) - Indonesia saat ini sudah melakukan kerja sama penyelesaian transaksi bilateral dengan mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) bersama empat negara, yaitu Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok.

Kerja sama tersebut tentunya memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, maupun negara yang menjadi mitra kerja sama, bahkan penting diterapkan mengingat ketidakpastian akibat COVID-19 masih berlangsung.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky menilai implementasi LCS cukup mendesak, apalagi di tengah kondisi ketidakpastian COVID-19 saat ini yang menyebabkan mata uang rupiah menjadi sangat volatil karena bergantung sentimen pasar

Volatilitas mata uang Garuda tersebut akan berdampak terhadap industri, di mana 90 persen bahan baku dan barang modal Indonesia masih berasal dari impor.

Jika volatilitas nilai tukar rupiah tidak dapat dijaga, proses produksi dan kapasitas produksi domestik akan terganggu, sehingga penurunan volatilitas rupiah melalui LCS akan sangat membantu industri.

"Jadi tidak hanya dari stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan domestik, tetapi juga ke sektor riil di Tanah Air," kata Riefky kepada Antara.

Direktur Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI) Rahmatullah Sjamsudin mengungkapkan setidaknya terdapat empat manfaat penting penerapan LCS di Indonesia.

Pertama, tentunya menurunkan kebutuhan dolar AS di dalam negeri, yang saat ini cukup tinggi karena merupakan musim pembayaran dividen, musim keluarnya arus modal asing, dan waktunya pembayaran kewajiban di luar negeri.

Ketergantungan terhadap dolar AS tidaklah sehat mengingat dolar AS merupakan mata uang suatu negara, sehingga penggunaanya sebagai mata uang global perlu dikurangi.

"Dengan demikian dampaknya akan terasa terhadap stabilisasi nilai tukar rupiah karena sebelum ada LCS, perdagangan barang dan jasa, termasuk investasi ke luar negeri dan lain-lain, seperti pembayaran remitansi hingga pembayaran transfer dividen memakai dolar AS," jelas Rahmatullah.

Kedua, membuat biaya transaksi dua negara menjadi lebih murah karena tidak perlu lagi mengonversi mata uangnya terlebih dahulu ke dolar AS.

Dengan begitu, importir Indonesia yang mau membeli ringgit Malaysia, baht Thailand, yen Jepang, maupun yuan Tiongkok untuk membayar barang bisa langsung menukarkan ke bank Appointed Cross Currency Dealers (ACCD) LCS, sehingga tidak perlu lagi membeli dolar AS terlebih dahulu, begitu pula sebaliknya.

Ketiga, manfaat lainnya, yaitu unsur lindung nilai (hedging) yang memperbolehkan pelaku usaha melakukan hedging menggunakan beberapa instrumen, termasuk Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).

Baru-baru ini, BI memperbolehkan bank ACCD untuk melakukan transaksi DNDF mengikuti kerangka kerja sama LCS dengan negara mitra tertentu.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/9/PBI/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/12/PBI/2020 tentang Penyelesaian Transaksi Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal melalui Bank (PBI LCS), yang berlaku efektif sejak tanggal 19 Juli 2021.

Dengan diberlakukannya ketentuan dalam PBI LCS ini, maka ketentuan terkait larangan bagi Bank ACCD melakukan transaksi DNDF dan ketentuan pengenaan sanksi atas larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam PBI Nomor 20/10/PBI/2018 tentang Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Baca juga: BI: Nilai transaki LCS dengan Malaysia dan Jepang berkembang positif

Namun, bank ACCD tidak diperbolehkan melakukan transaksi DNDF dengan negara di negara mitra di luar kerangka LCS, bagi bank yang melanggar ketentuan akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.

Keempat, manfaat lain LCS adalah membuat ketentuan threshold pembelian para pelaku usaha menjadi lebih fleksibel, contohnya threshold transaksi LCS dengan baht Thailand dan ringgit Malaysia sampai dengan 200 ribu dolar AS tidak perlu menggunakan underlying, serta yen Jepang sampai dengan 500 ribu dolar AS.

Tetapi, fleksibilitas tersebut tak berlaku dengan Tiongkok mengingat ketatnya peraturan di Negeri Panda yang menetapkan seluruh transaksi harus menggunakan underlying.

Adapun implementasi LCS dilakukan pertama kali bersama Malaysia dan Thailand pada 2 Januari 2018.

Dengan Malaysia, kerangka kerja sama LCS mencakup transaksi perdagangan, underlying transaksi LCS dengan menambahkan investasi langsung dan income transfer, termasuk remitansi, serta pelonggaran aturan transaksi valuta asing (valas).

Sementara dengan Thailand, meliputi transaksi perdagangan, pelonggaran aturan transaksi valas dengan pemberian relaksasi persiapan dokumen transaksi, serta underlying investasi langsung.

Kemudian, BI memperluas kerja sama LCS bersama Jepang pada 31 Agustus 2020 dengan kesepakatan pelonggaran aturan transaksi valas, antara lain mencakup hedging atas dasar proyeksi perdagangan dan investasi, peningkatan fleksibilitas transfer atas rekening rupiah di Jepang, dan peningkatan threshold nilai transaksi.

Terakhir, yang baru saja diimplementasikan pada 6 September 2021 adalah bersama Tiongkok, dengan kerja sama LCS yang terdiri dari penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung serta relaksasi regulasi tertentu untuk mendorong penggunaan mata uang lokal.

Implementasi LCS dengan Tiongkok disambut baik oleh berbagai pihak, mengingat negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia selama ini.

Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun menyampaikan inisiatif yang digagas oleh BI dan Bank Sentral Tiongkok, People's Bank of China (PBC) dapat meningkatkan kerja sama perdagangan dan investasi antara kedua negara.

“Saya juga optimis bahwa keterkaitan ekonomi antara Indonesia dengan Tiongkok akan semakin kuat, antara lain didukung oleh komitmen kedua negara untuk meningkatkan jalinan hubungan kerja sama ke depan", tutur Djauhari.

Direktur Treasury dan Internasional Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan Bank Mandiri sebagai salah satu bank yang ditunjuk menjadi ACCD mengapresiasi langkah BI dan PBC, serta siap mendukung penuh pelaksanaan LCS.

Maka dari itu, implementasi LCS memiliki potensi yang besar untuk terus didorong, sejalan dengan terus meningkatnya tren transaksi dan investasi langsung antara Indonesia dan Tiongkok.

Baca juga: Penguatan LCS, transfer dalam rupiah, ringgit dan yen lebih fleksibel

Transaksi signifikan

Implementasi LCS sejak tahun 2018, serta penguatannya pada tahun 2020 telah menunjukkan hasil positif sebagaimana ditunjukkan dari peningkatan volume transaksi, frekuensi transaksi dan jumlah nasabah pengguna transaksi LCS.

Rahmatullah menyebutkan nilai kerja sama LCS bersama Thailand, Malaysia, dan Jepang telah mencapai 1,2 miliar dolar AS sejak Januari-Juli 2021, dengan rata-rata per bulan sebesar 177 juta dolar AS.

Untuk yen Jepang saja, transaksi LCS tercatat sudah cukup signifikan tahun ini, yakni mencapai 190 juta dolar AS selama Januari-Juli 2021.

Hal tersebut sebagai implikasi Negeri Sakura yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, sehingga menyebabkan besarnya transaksi.

Dari segi perdagangan barang saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pangsa ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang pada Juli 2021 mencapai 1,19 miliar dolar AS atau 7,14 persen, berada di peringkat ketiga setelah Tiongkok dan Amerika Serikat.

Belum lagi jika dilihat dari transaksi impor, Jepang merupakan pengimpor nonmigas ke Tanah Air terbesar kedua, dengan nilai 1,13 miliar dolar AS dengan pangsa 8,48 persen di Juli 2021.

Sementara pada 2018, nilai transaksi LCS dengan Thailand dan Malaysia rata-rata per bulan sebesar 31,7 juta dolar AS, sehingga totalnya 350 juta dolar AS untuk keseluruhan tahun.

Kemudian pada 2019, transaksi LCS juga masih hanya dilakukan dengan Thailand dan Malaysia dengan total 760 juta dolar AS atau rata-rata 63,3 juta dolar AS per bulan.

Sementara di 2020, transaksi LCS kian meningkat dan sudah dilakukan bersama tiga negara yakni Thailand, Malaysia, dan Jepang dengan rata-rata 72,2 juta per bulan atau totalnya 800 juta dolar AS dalam satu tahun tersebut.

Baca juga: RI dan China mulai implementasi kerja sama mata uang lokal

Perluasan penggunaan LCS diharapkan dapat mendukung stabilitas rupiah melalui dampaknya terhadap pengurangan ketergantungan pada mata uang tertentu di pasar valas domestik.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi mengungkapkan perluasan negara mitra LCS akan terus dilakukan bank sentral dengan cakupan kegiatan ekonomi domestik yang masih sangat luas.

Saat ini, pihaknya akan mencoba memperluas transaksi LCS dengan beberapa negara di Asia, terutama negara di Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Jika sudah menyasar wilayah Asia, perluasan LCS secara bertahap akan menuju ke kawasan Timur Tengah lantaran banyaknya transaksi Indonesia dalam konteks perdagangan, remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan jasa perjalanan.

Kendati demikian dirinya belum bisa menerangkan lebih lanjut negara mana yang sedang dijajaki Indonesia untuk kerja sama LCS, karena masih adanya proses komunikasi dan negosiasi.

"Intinya secara prinsip ini belum selesai. Kami memang sedang mencoba memperluas dan fokusnya adalah negara-negara di kawasan utama yang memang kita memiliki hubungan perdagangan, baik barang maupun jasa, serta investasi yang besar," ucap Doddy.

Baca juga: BI sebut kerja sama mata uang lokal turunkan kebutuhan dolar AS di RI

Baca juga: BI: Kerja sama mata uang lokal capai 1,2 miliar dolar AS per Juli 2021

 

Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021