TIM menjadi barometer seni
Jakarta (ANTARA) - Jauh sebelum Indonesia merdeka, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, awalnya merupakan sebuah kebun binatang pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1864.

Raden Saleh, seorang pelukis kelahiran Semarang yang kini namanya diabadikan menjadi sebuah jalan raya. Ia kala itu memelihara banyak satwa; mulai dari gajah, harimau hingga jerapah.

Ia memelihara satwa-satwa itu di kediamannya yang membentang dari RS PGI Cikini hingga lokasi Taman Ismail Marzuki (TIM) saat ini.

Hewan penghuni pekarangan rumahnya itu menjadi inspirasi sang pelukis untuk berkarya. Akhirnya, Raden Saleh membuka taman rumahnya untuk dikunjungi warga karena banyak yang tertarik melihat satwa tersebut.

Setelah tutup usia, Raden Saleh menghibahkan seluruh aset, termasuk tanah seluas 10 hektare di Cikini Raya, beserta satwanya kepada Pemerintah Indonesia.

Berselang 100 tahun atau pada 1964, Taman Raden Saleh yang kemudian berubah nama menjadi Kebun Binatang Cikini itu dipindahkan ke Ragunan karena lokasinya yang lebih luas untuk menampung banyak satwa serta jauh dari hiruk pikuk Ibu Kota.

Namun demikian, fungsi kawasan tersebut sebagai "kediaman" seniman tetap dipertahankan kala Gubernur Ali Sadikin menjawab segala keluhan seniman-seniman Jakarta tentang kurangnya fasilitas penyaluran bakat dan kesenian kreatif.

Kawasan seluas 70 hektare di Jalan Cikini Raya Nomor 73 itu berhasil disulap Gubernur Ali Sadikin, yang kemudian diresmikan sebagai pusat kesenian dan kebudayaan pada tahun 1968.

Nama komponis besar Indonesia asal Kwitang, Ismail Marzuki, disematkan sebagai bentuk apresiasi tinggi kepada seniman Betawi itu yang telah menciptakan lagu-lagu nasional, seperti "Rayuan Pulau Kelapa" dan "Sepasang Mata Bola".

Seiring waktu, banyak fungsi bangunan hilang, seperti teater arena, teater halaman dan wisma untuk seniman. Kondisi fisik bangunan TIM juga dianggap tidak lagi mumpuni untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seni bertaraf internasional.

Baca juga: TIM fasilitasi seniman beristirahat dengan konsep guyub
Baca juga: TIM sajikan arena pertunjukan teater di dalam dan luar ruangan

 
Perkembangan pembangunan Wisma Seni dan renovasi Planetarium dalam proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Senin (23/8). (ANTARA/HO PT Jakarta Propertindo)


Revitalisasi TIM

Pada 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevitalisasi kembali Pusat Kesenian TIM dengan anggaran sekitar Rp1,8 triliun. Pemprov DKI Jakarta pun menugaskan BUMD DKI Jakarta, PT Jakarta Propertindo (JakPro) untuk mengerjakan proyek tersebut.

Kondisi TIM memang cukup memprihatinkan. Fungsi-fungsi bangunan banyak yang sudah tidak beroperasi secara maksimal.

"Hal itu yang menjadi pemicu bagi Pemprov DKI Jakarta untuk bisa melakukan revitalisasi di TIM," kata Project Director Revitalisasi TIM Luky Ismayanti.

Meski terbentur dengan kondisi pandemi COVID-19, proyek revitalisasi TIM terus berjalan sejak 2019 dengan pengerjaan bersifat pembangunan gedung baru maupun pemugaran bangunan yang sudah ada.

Pelaksanaan proyek dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap 1 yang meliputi pembangunan Masjid Amir Hamzah, Gedung Parkir dan Gedung Panjang.

Sementara pada tahap dua, pengerjaan meliputi Planetarium dan Pusat Latihan Seni, Graha Bhakti Budaya, Galeri Annex dan Teater Halaman.

Berbeda dengan sebelumnya, wajah baru TIM terkesan lebih futuristik dan modern namun tetap ramah lingkungan.

Arsitek Revitalisasi TIM, Andra Martin menyebutkan bahwa ruang terbuka hijau pada TIM baru lebih banyak, yakni dari sebelumnya 11 persen menjadi 27 persen.

TIM itu satu-satunya tempat yang akan menjadi oase. "Kalau kita jalan kaki atau naik mobil di Cikini Raya itu kan satu arah, itu semuanya adalah bangunan," katanya.

Ia ingin ada jeda, yakni melalui TIM. Akhirnya ia berusaha membuat semuanya ini menjadi lebih hijau agar orang merasakan ada perbedaan.

Dari Jalan Cikini Raya, ruang terbuka hijau (RTH) sudah terlihat dengan adanya taman di atas atap (rooftop) Gedung Parkir yang nantinya akan menjadi ruang publik atau wadah interaksi antarseniman.

Bangunan lainnya yang tidak kalah mencolok, yakni Gedung Panjang, bangunan tertinggi di kawasan TIM yang terdiri dari 14 lantai.

Gedung yang bentuknya berundak-undak seperti terasering ini akan memuat banyak fungsi, seperti Galeri Seni, Perpustakaan dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Wisma Seni, Ruang Komite Seni dan Kantor Pengelola TIM.

Selain penggunaan banyaknya kaca untuk masuknya cahaya, Gedung Panjang juga dibangun dengan fasad atau dinding luar yang dirancang dengan ruh Ismail Marzuki.

Penggalan not "Rayuan Pulau Kelapa" diterjemahkan menjadi tinggi rendahnya bentuk fasad bangunan TIM. Selain sebagai bentuk apresiasi pada Ismail Marzuki, bentuk fasad itu berguna untuk mereduksi sinar matahari yang masuk ke dalam Perpustakaan.

Ia akan masukkan fasad dan unsur pola batik Betawi ke seluruh bangunan, seperti di Graha Bhakti Budaya dan Planetarium karena simbol ini seperti dikhususkan untuk Ismail Marzuki.

Meski terkesan modern, revitalisasi TIM tetap membawa ciri khas pada bangunan lama, yakni kubah pada Planetarium yang tidak akan diubah. Perubahan pada Planetarium hanya bersifat renovasi dan menambahkan gedung baru di area sekelilingnya.

Planetarium yang didesain oleh Ciputra itu berstatus Cagar Budaya sehingga arsitektur bangunan baik kubah maupun menara hanya dilakukan pemugaran.

Saat ini, konstruksi revitalisasi TIM tahap 1 dan tahap 2 secara keseluruhan sudah mencapai 68,86 persen atau masih berjalan sesuai target (on the track). Meski bangunan pada tahap 1 sudah rampung, wajah baru TIM baru akan diresmikan pada akhir 2021.

Baca juga: Revitalisasi TIM, seniman apresiasi teater arena dihadirkan kembali
Baca juga: Pentas seni di antara revitalisasi TIM

 
Foto udara revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta, Sabtu (27/2/2021). Pembangunan tahap I revitalisasi kawasan TIM oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro) per akhir Januari 2021 mencapai 65,15 persen. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.


Barometer seni

Walaupun pada perjalanannya dikritik dan ditentang oleh pelaku seni, revitalisasi TIM berupaya untuk mewadahi seni dan kreativitas yang nantinya menjadi etalase serta barometer kesenian Nasional.

Seniman senior sekaligus Ketua Lembaga Sertifikasi Kreator Film dan Televisi Embie C. Noer mengapresiasi TIM baru yang menghadirkan kembali sejumlah fasilitas lama yang pernah ada dan sempat hilang, seperti Teater Halaman, Teater Arena dan Wisma Seni.

Fungsi Teater Halaman dan Teater Arena akan melengkapi wadah seni pertunjukan di TIM, selain Gedung Teater Jakarta yang sudah ada.

Selain itu, pembangunan kembali Graha Bhakti Budaya akan dilengkapi dengan sistem pencahayaan, "sound system" dan akustik yang bertaraf internasional.

Jakpro bahkan menggandeng konsultan internasional untuk memberi masukan terhadap interior yang akan dipasang di Graha Bhakti Budaya.

Wisma Seni juga nantinya akan memfasilitasi seniman beristirahat dengan penempatan tempat tidur tingkat "bunk bed". Dengan konsep guyub yang diusung, pelaku seni dapat saling berdiskusi sambil mempersiapkan acara yang digelar di TIM.

Mengingat perannya sebagai barometer kesenian nasional, karya seni yang tampil di TIM, baik musik, teater hingga seni rupa harus dikurasi terlebih dahulu.

Kalau untuk pentas teater, maka teater nomor satu di Indonesia. "TIM menjadi barometer seni," katanya.

Akademis seni seluruh Indonesia punya ajang bergengsi untuk menampilkan karya-karya sampai maestro seni di Indonesia.

Dengan seluruh fungsi dan bangunan yang sedang dikerjakan, revitalisasi TIM diharapkan menjadi tempat bagi para pelaku seni untuk mendukung segala aktivitas, baik dari proses berkarya hingga pertunjukan.

TIM yang disulap selama dua tahun ini juga telah dinantikan menjadi laboratorium, etalase dan barometer kesenian Nasional.

Sejalan dengan cita-cita Gubernur Ali Sadikin, Jakarta tidak hanya menjadi kota dagang, administrasi negara serta pusat kegiatan politik, melainkan juga kota budaya. Apalagi kesenian Indonesia muncul pula dari bibit-bibit seniman Jakarta.
 

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021