Jakarta (ANTARA) - Jajaran pemain dalam film "Penyalin Cahaya" garapan sutradara Wregas Bhanuteja juga diperkuat oleh Lukman Sardi dan Ruth Marini. Dua aktor kawakan Indonesia ini berperan sebagai orang tua Sur, tokoh utama film "Penyalin Cahaya" yang dimainkan Shenina Cinnamon. Performa Lukman dan Ruth mengokohkan ensambel seni peran dalam film produksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures ini sekaligus memperkaya warna akting dari susunan pemainnya yang didominasi para talenta muda, seperti Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, Dea Panendra, dan Giulio Parengkuan.

Dalam cerita film "Penyalin Cahaya", yang akan melakukan World Premiere dan masuk program kompetisi utama di Busan International Film Festival (BIFF) ke-26 di Korea Selatan pada 6-15 Oktober 2021 ini, Lukman Sardi memerankan karakter ayah Sur dan Ruth Marini menjadi ibu Sur. Keberadaan mereka sebagai orang tua berpengaruh besar terhadap perjalanan karakter Sur maupun konflik yang dialaminya.

Baca juga: Teknologi bantu sineas muda buat film di masa pandemi

Baca juga: Cara Lukman Sardi kelola perencanaan keuangan


Konflik yang dialami Sur (Shenina Cinnamon) bermula sejak ia harus kehilangan beasiswanya akibat dianggap mencemarkan nama baik fakultas usai swafotonya dalam keadaan mabuk beredar. Ia tidak mengingat apa pun yang terjadi pada dirinya saat menghadiri pesta kemenangan komunitas teater di kampusnya. Dalam pesta tersebut, Sur tidak sadarkan diri. Ia lantas meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), teman masa kecilnya yang juga tukang fotokopi yang tinggal dan bekerja di kampus, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya di malam pesta.

"Karakter ayah Sur bukannya tidak bertanggung jawab pada rumah tangga, tapi dia lupa bahwa seorang anak yang telah menjadi manusia dewasa juga punya harga diri, keinginan, rasa, dan hati. Harga diri bukan hanya milik ayah atau milik keluarga, apalagi kalau sudah menyentuh ke ranah pribadi. Ayah Sur tidak punya koneksi erat dengan anaknya. Dia hanya berpikir bagaimana caranya agar nama baik keluarga dan dia sebagai ayah terjaga tanpa memikirkan perasaan maupun peristiwa yang dialami anaknya," jelas Lukman dalam keterangan resmi, Sabtu.

Berakting sebagai orang tua dalam film bukanlah hal asing baik bagi Lukman maupun Ruth Marini. Namun, karakter orang tua yang dilakoni mereka dalam film "Penyalin Cahaya" memberikan perbedaan, tantangan, dan keunikan tersendiri, tak terkecuali bagi Ruth.

"Film ini menjadi istimewa buat saya, karena saya memerankan karakter ibu dari seorang korban kekerasan seksual. Film ini memperlihatkan bagaimana karakter ibu Sur berjuang di antara masalah relasinya dengan suaminya, bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarganya, mengalami rasa sedih serta malu atas peristiwa kekerasan seksual terhadap anaknya, dan pilihannya untuk membela anaknya," ungkap Ruth, yang pernah meraih penghargaan sebagai Aktris Monolog Terbaik dalam Festival Monolog se-Indonesia pada tahun 2017.

Dari sudut pandang sebagai aktor sekaligus seorang perempuan, Ruth menilai kisah film "Penyalin Cahaya" menjadi penting untuk banyak orang.

Sebab, film ini memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual harus diberikan ruang yang aman untuk bicara. 
Di balik layar "Penyalin Cahaya" (ANTARA/HO)


"Keluarga, terutama orang tua, berperan sangat besar terhadap perlindungan maupun pemulihan korban kekerasan seksual. Rasa percaya kepada keluarga dikembalikan, karena keluarga adalah tempat kembali dan kesaksian para korban bisa didengar. Film ini juga mengembalikan rasa percaya kepada korban dan menunjukkan bahwa ia tidak sendirian," papar Ruth.

Dalam hal seni peran, Lukman Sardi dan Ruth Marini sudah tertempa dengan kuat. Sebelum terjun berakting dalam film, Ruth lebih dulu mengasah kemampuan seni peran dan berkarya di panggung teater selama 15 tahun di Teater Satu Lampung.

Baca juga: Membedah "The Science of Fictions" lewat kacamata kreator dan aktornya

Ia lalu mendirikan Sanggar Aktor Cilik Indonesia di Jakarta pada 2016. Ruth lalu berakting pertama kali dalam film panjang lewat "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" pada 2018, yang membuatnya diganjar nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Setelah itu, ia bermain dalam film "Sebelum Iblis Menjemput (2018)", "Ratu Ilmu Hitam" (2019), dan "Asih 2" (2020).

Sementara Lukman Sardi berpengalaman akting sejak kecil melalui film panjang pertamanya "Pengemis dan Tukang Becak" (1978). Pada awal era 2000-an, Lukman kembali menyeriusi karier akting dengan bermain film "Gie" (2004), yang membuatnya langsung dinominasikan sebagai Aktor Pendukung Terbaik FFI 2005. Sejak itu, Lukman aktif dan tidak pernah absen berakting dalam film panjang setiap tahunnya. Hingga saat ini, ada lebih dari 80 judul film yang sudah dimainkan Lukman. Sejumlah film yang sukses melambungkan namanya dan menorehkan prestasi untuk Lukman, antara lain "9 Naga" (2006), "Nagabonar Jadi 2" (2007), "Quickie Express" (2007), "Sang Pencerah" (2010), "Soekarno: Indonesia Merdeka" (2013), "27 Steps of May" (2018), hingga "Gundala" (2019).

Dengan rekam jejak serta kemampuan akting Lukman dan Ruth yang sudah tak perlu diragukan lagi itu, Wregas Bhanuteja sebagai sutradara dan penulis film "Penyalin Cahaya" langsung merasa kedua aktor tersebut adalah pilihan yang tepat untuk memerankan orang tua Sur. Wregas sendiri kepincut dengan performa akting Ruth saat memerankan Sinto Gendeng dalam film "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212".

"Ruth Marini adalah aktor film dan teater yang sangat kuat. Banyak sekali ilmu dalam seni peran yang ia kuasai mencakup teknik vokal, raut wajah, maupun pernafasan. Hal-hal inilah yang membuat saya merasa ia sangat kuat untuk memerankan ibu Sur. Sosok yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi kehidupan dan harus terus bekerja untuk ketahanan hidup keluarganya. Banyak lapisan emosi yang sudah terpendam lama, dan semua lapisan itu harus terwujud melalui raut wajah. Hanya dengan melihat wajahnya pun, kita tahu sejarah yang telah dilalui karakter ibu Sur," jelas Wregas.
Di balik layar "Penyalin Cahaya" (ANTARA/HO)


Sementara kekuatan Lukman Sardi, menurut Wregas, terletak pada matanya. Kekuatan mata ini Wregas amati sejak pertama kali melihat akting Lukman dalam "Sang Pencerah".

"Ia mampu menahan emosi yang meluap-luap, yang tidak harus terwujud dari kata-kata maupun gerak tubuh, melainkan hanya diwujudkan dari mata. Mata yang menahan emosi dan perasaan. Pada saat memikirkan peran ayah Sur ini, pikiran saya langsung tertuju pada Lukman Sardi. Bagaimana suatu perasaan yang campur aduk mencakup tekanan sosial, rasa sayang terhadap anak, spiritualitas, dan lain-lain harus dipadukan ke dalam satu peran, dan diwujudkan dengan porsi yang pas," ungkap Wregas.

“Penyalin Cahaya” merupakan debut film panjang Wregas Bhanuteja. Sebelumnya, ia sudah membuat film-film pendek yang berhasil masuk kompetisi festival film internasional. Antara lain, “Lemantun” (pemenang Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2015), “Lembusura” (berkompetisi di Berlin International Film Festival 2015), “Prenjak” (pemenang Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan Piala Citra FFI 2016), serta “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” (pemenang Piala Citra FFI 2019 dan berkompetisi di Sundance Film Festival 2020).

Dalam membuat “Penyalin Cahaya”, produser Adi Ekatama dan Ajish Dibyo dari Rekata Studio berkolaborasi dengan produser Willawati dari Kaninga Pictures. Kaninga Pictures sendiri pernah memproduksi film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017). Dalam kompetisi utama Busan International Film Festival (BIFF) pada Oktober mendatang, film "Penyalin Cahaya" (judul internasional: "Photocopier") akan bersaing dengan sepuluh film dari delapan negara lain untuk memperebutkan empat penghargaan bergengsi, yakni New Currents Award, New Currents Audience Award, NETPAC Award, dan FIPRESCI Award.

Baca juga: "De Oost" dan perang yang tak akan membawa kita ke manapun

Baca juga: Reza Rahadian Ketua FFI 2021 hingga Hyundai rilis Avante N

Baca juga: Reza Rahadian jabat Ketua FFI 2021-2023 gantikan Lukman Sardi


 

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021