Yogyakarta (ANTARA News) - Bahaya sekunder Gunung Merapi di perbatasan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tidak hanya berasal dari banjir lahar dingin sungai-sungai di kawasan kaki gunung ini, tetapi juga dari letupan timbunan material vulkaniknya.

Material lahar erupsi Gunung Merapi yang menumpuk di aliran Sungai Gendol di Dusun Besalen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Minggu (9/1) sore, meletup. "Akibatnya, batu-batu besar dan material vulkanik lainnya terlontar sejauh puluhan meter," kata Camat Cangkringan Samsul Bakri, Senin.

Letupan dari timbunan material vulkanik Merapi di Sungai Gendol itu terjadi karena belerang yang masih panas terkena air hujan, dan kemudian menyebabkan letupan, sehingga batu-batu besar yang tertimbun material vulkanik terdorong keluar.

Menurut dia, letupan semacam itu masih berpotensi terjadi lagi di Sungai Gendol terutama yang lokasinya dekat dengan lereng Merapi.

"Saat ini material vulkanik Merapi di aliran Sungai Gendol masih banyak yang panas, sehingga jika terguyur hujan, besar kemungkinan terjadi lagi letupan," katanya.

Ia mengatakan banjir lahar dingin di Sungai Gendol yang terjadi Minggu (9/1) sore mengakibatkan tiga rumah hanyut dan 13 lainnya terendam.

"Kami baru mengetahui banjir lahar dingin yang terjadi kemarin (Minggu, 9/1) itu, malam harinya sekitar pukul 22.30 WIB," katanya.

Samsul mengatakan tiga rumah yang hanyut tersebut milik warga Dusun Besalen, Glagaharjo, Sleman, yakni rumah milik Paino, Mbok Ijah dan Mbok Joyo Sunyitno.

"Sedangkan 13 rumah yang terendam material lahar dingin sebagian di Dusun Guling, Desa Argomulyo," katanya.

Menurut dia, hanyutnya tiga rumah itu karena tanggul Sungai Gendol di Dusun Besalen jebol akibat terjadi letupan besar di Sungai Gendol.

"Letupan yang terjadi tergolong besar, sehingga menyebabkan tanggul jebol, kemudian dialiri air yang membawa material lahar dingin masuk ke dusun, tetapi beruntung warga sudah mengungsi, sehingga tidak ada korban jiwa," katanya.



Curah hujan meningkat

Sementara itu, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandrio terus mengingatkan masyarakat yang tinggal di dekat sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk terus mewaspadai ancaman banjir lahar dingin. "Apalagi saat ini curah hujan meningkat, sehingga kewaspadaan perlu terus ditingkatkan," katanya.

Menurut dia, seluruh sungai yang berhulu di Gunung Merapi telah dipenuhi endapan material vulkanik hasilerupsi gunung ini sejak akhir Oktober hingga November 2010 yang volumenya mencapai sekitar 140 juta meter kubik.

Subandrio mengatakan seluruh material vulkanik tersebut tidak akan habis dalam satu kali musim hujan, namun diperlukan waktu dua sampai tiga kali musim hujan.

Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Toni Agus Wijaya, di Yogyakarta, Senin, mengatakan, curah hujan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama musim hujan 2011 diperkirakan mengalami peningkatan sekitar 15 persen dibandingkan dengan curah hujan saat musim hujannya normal.

"Kenaikan curah hujan tersebut disebabkan adanya fenomena La Nina, yaitu adanya kenaikan suhu di Lautan Pasifik sehingga meningkatkan uap air, yang kemudian menjadi hujan," katanya.

Menurut dia, curah hujan selama Januari 2011 diperkirakan mencapai 500 milimeter (mm), dan kemudian turun menjadi sekitar 400 mm pada Februari, dan kembali berkurang pada Maret 2011 menjadi 300 mm.

Ia juga memperkirakan DIY sudah akan memasuki musim kemarau pada pertengahan April 2011. "Hujan cenderung terjadi dengan intensitas ringan hingga sedang, namun berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu satu hingga dua jam," katanya.

Selain terjadi peningkatan curah hujan, pada musim hujan 2011 juga terjadi anomali waktu terjadinya hujan karena hujan terjadi pada waktu yang tidak menentu.

Hujan yang terjadi, menurut dia sangat dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin yang membawa awan hujan. "Dalam satu periode waktu tertentu, hujan dapat turun di pagi hari, siang, sore atau malam hari," katanya.

Ia mengatakan masyarakat perlu terus mewaspadai peningkatan curah hujan tersebut, misalnya dengan memangkas pohon yang sudah terlalu rimbun agar tidak tumbang.

"Yogyakarta tidak berpotensi mengalami banjir besar, namun masih ada ancaman terjadi tanah longsor. Ini juga perlu terus diwaspadai," katanya.



Kerugian Rp2 miliar

Kerugian akibat beberapa kali terjadi banjir lahar dingin Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sekitar Rp2 miliar.

"Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir lahar dingin baik yang melalui Sungai Gendol maupun Sungai Opak mencapai sekitar Rp2 miliar, yang meliputi kerusakan infrastruktur serta sektor pertanian dan perikanan," kata Camat Cangkringan Samsul Bakrie, Senin.

Menurut dia, pihaknya masih terus melakukan pendataan untuk kerugian terutama untuk sektor pertanian dan perikanan.

"Hasil pendataan sementara ini, kerugian infrastruktur mencapai Rp1,9 miliar, sedangkan kerugian untuk sektor pertanian dan perikanan berkisar Rp100 juta. Namun jumlah tersebut masih fluktuatif karena kami masih terus melakukan pendataan," katanya.

Ia mengatakan terkait dengan kerusakan infrastruktur seperti ambrolnya tujuh jembatan dan satu jembatan perlintasan penduduk, pihaknya belum akan membangun jembatan darurat, meskipun saat ini wilayah Kecamatan Cangkringan terbelah menjadi dua, di sisi kiri dan kanan Sungai Opak.

"Kami belum akan membangun jembatan darurat meskipun saat ini sebenarnya cukup vital, kami masih fokus pada keamanan warganya terlebih dahulu," katanya.

Samsul mengatakan banjir lahar dingin yang beberapa kali terjadi di Sungai Opak mengakibatkan berbagai infrastruktur rusak.

"Kerusakan tersebut meliputi tujuh jembatan dan satu jembatan perlintasan putus,selain itu, kantor Polsek Cangkringan juga rusak berat," katanya.

Ia mengatakan saat ini kondisi masih rawan terjangan banjir lahar dingin, sehingga pembangunan jembatan darurat belum menjadi prioritas.

"Kami pikirkan keselamatan dan keamanan warga terlebih dahulu, nanti kalau kondisi sudah memungkinkan, termasuk hasil kajian pemerintah, pasti perbaikan semua infrastruktur akan dilakukan demi kelancaran warga," katanya.

Dari tujuh jembatan yang putus itu, kata Samsul ada satu jembatan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DIY yakni jembatan Opak di Dusun Geblok-Salam, Desa Wukirsari.

"Saat ini warga hanya bisa menggunakan jembatan Desa Banjarharjo, Kecamatan Ngemplak, yang terletak sekitar tujuh kilometer dari Dusun Panggung, Desa Argomulyo," katanya.



Lokasi penampungan sementara

Pemerintah Kota Yogyakarta menambah dua lokasi penampungan sementara bagi warga yang tinggal di bantaran Sungai Code yang menjadi korban banjir lahar hujan berupa material vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi.

"Kami sudah menghubungi pemilik tempat itu, yaitu Pak Probosutedjo, dan melalui utusannya, beliau sudah memberikan izin penggunaan lokasi tersebut untuk penampungan sementara," kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, di Yogyakarta, Senin.

Kedua tempat yang akan menjadi lokasi baru untuk penampungan masyarakat korban banjir lahar hujan Merapi di Sungai Code adalah di Parkir Kedaung dan tanah kosong bekas Hotel Trio yang keduanya berlokasi di Jalan Mangkubumi, Kota Yogyakarta.

Wilayah di sepanjang bantaran Sungai Code yang berpotensi mengalami banjir lahar hujan ada di delapan kecamatan, 16 kelurahan, dan 66 rukun warga (RW), dengan penduduk yang tinggal di bantaran sungai itu total sekitar 13.000 jiwa.

Pemerintah Kota Yogyakarta telah menyiapkan sebanyak 90 titik evakuasi apabila terjadi banjir lahar hujan yang mampu menampung 70 persen dari total warga yang berpotensi menjadi korban banjir lahar hujan.

Haryadi mengatakan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta telah melakukan pengukuran mengenai luas lahan yang bisa dijadikan lokasi penampungan sementara untuk masyarakat yang menjadi korban banjir lahar hujan.

Pemerintah Kota Yogyakarta akan menyiapkan tenda-tenda penampungan atau "shelter box" yang bisa dipasang dalam waktu singkat.

"Ini adalah penampungan sementara, bukan hunian sementara (huntara). Lokasi tersebut baru akan digunakan untuk penampungan saat terjadi banjir lahar hujan," katanya.

Hunian sementara (huntara) bagi warga masyarakat di sepanjang Sungai Code yang menjadi korban banjir lahar hujan atau lahar dingin dari Gunung Merapi hanya disiapkan di satu lokasi, yaitu di sisi timur Stadion Mandala Krida Yogyakarta.

"Selain di lokasi itu, tidak akan dibangun huntara lainnya. Di lokasi tersebut dapat dibangun 300 hingga 400 unit huntara," katanya.

Seluruh proses pembangunan huntara bagi warga masyarakat korban luapan air banjir lahar hujan dari Gunung Merapi ditangani langsung Dinas Pekerjaan Umum Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi DIY.

Sementara itu, Camat Jetis Sisruwadi mengatakan ada sebanyak 81 kepala keluarga (KK) yang mendaftar untuk bisa tinggal di huntara.

"Dari 222 KK yang terancam banjir lahar hujan Gunung Merapi sudah ada 81 KK yang mendaftar," katanya.

Sosialisasi, kata dia akan kembali digencarkan apabila sudah ada kepastian terkait pembangunan huntara di sisi timur Stadion Mandala Krida.

Sedangkan mengenai lokasi penampungan yang baru di area Parkir Kedaung dan bekas Hotel Trio, Sisruwadi mengatakan sudah mencukupi untuk menampung seluruh keluarga yang berpotensi menjadi korban banjir lahar hujan.



Kaliurang pulih

Sementara itu, objek wisata Kaliurang di kawasan kaki Gunung Merapi bagian selatan di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini kondisinya mulai pulih, setelah beberapa bulan sepi pengunjung karena terkena dampak bencana erupsi Merapi.

"Wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan mencanegara (wisman) mulai banyak terlihat mengunjungi objek wisata ini," kata Ketua Paguyuban Pedagang Kaliurang Kabupaten Sleman Christian Awuy, di Yogyakarta, Senin.

Ia mengatakan aktivitas yang mulai normal di kawasan objek wisata Kaliurang ini akan berdampak positif bagi pemulihan perekonomian masyarakat setempat dan sekitarnya, sehingga para pedagang memperoleh penghasilannya kembali secara rutin.

"Ketika terjadi erupsi Merapi pada 2010 banyak pedagang di objek wisata Kaliurang terpaksa mengungsi, dan tidak berjualan di kawasan itu," katanya.

Menurut dia, setiap libur akhir pekan banyak rombongan keluarga berekreasi di Kaliurang. "Meskipun di beberapa lokasi, bekas `keganasan` Merapi masih bisa dilihat, antara lain dengan gundulnya kawasan hutan setempat," katanya.

Sementara itu, tampak penjual makanan khas Kaliurang seperti jadah-tempe, dan pisang emas masih menjadi perhatian wisatawan yang berkunjung khususnya di kawasan Tlogo Putri.

Sedangkan sebagian wisatawan dengan menumpang kereta mini berkeliling menikmati pemandangan alam di kawasan setempat.

"Objek wisata alam pegunungan ini memang cocok untuk rekreasi keluarga, sehingga wisatawan yang datang sebagian besar adalah rombongan keluarga," kata Christian Awuy.



Minta pinjaman diputihkan

Sebanyak 64 kelompok simpan pinjam perempuan di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, meminta bantuan pinjaman dana program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri pedesaan diputihkan karena mereka kesulitan mengembalikannya akibat erupsi Gunung Merapi.

"Sebagian besar anggota kelompok ini menjadi korban bencana erupsi Gunung Merapi di Cangkringan, seperti di Desa Kepuharjo, Umbulharjo, Argomulyo, Glagaharjo, dan Wukirsari," kata Ketua Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM MP) Dwi Nugrahawati, Senin.

Menurut dia, para anggota kelompok meminta pinjamannya diputihkan karena pada umumnya mereka kini kehilangan seluruh asetnya seperti rumah dan ternak.

"Penerima dana bergulir Simpan Pinjam Perempuan di Cangkringan mencapai 700 orang yang tergabung dalam 64 kelompok masyarakat, dari 2008 sampai 2010, SPP yang dikucurkan kepada 64 kelompok itu sudah mencapai sekitar Rp800 juta dan rata-rata tiap kelompok meminjam Rp20 juta hingga Rp40 juta dengan bunga 1,5 persen per bulan," katanya.

Ia mengatakan, setelah bencana erupsi Gunung Merapi pada umumnya pengembalian dana tersebut agak seret.

"Hanya pengembalian dari warga Desa Wukirsari yang masih lancar karena dampak Merapi terhadap desa tersebut tidak separah di desa-desa lainnya," katanya.

Dwi mengatakan sebagai ketua UPK dirinya tidak bisa memutuskan pemutihan ini, namun permintaan warga ini akan diteruskan ke Jakarta agar bisa ditindaklanjuti.

"Kami sebenarnya juga ingin agar dana pinjaman itu bisa diputihkan, setidaknya untuk membantu warga yang tertimpa musibah Merapi ini," katanya.

Staf UPK PNPM-MP Cangkringan Hamid Kurniawan mengatakan dari 2008 hingga 2010 pihaknya sudah menerima dana sekitar Rp4 miliar.

"Sekitar Rp800 juta di antaranya dipakai untuk kegiatan SPP yang keuntungannya dipakai untuk kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Saat ini dari Rp800 juta itu sekurangnya sudah terkumpul dana sosial dan kemasyarakatan sampai Rp25 juta," katanya.

Ia mengatakan pada 2011 UPK Cangkringan akan mendapatkan bantuan dana Rp4 miliar dalam program PNPM-MP.

"Sebanyak 25 persen dari dana tersebut akan dipakai untuk menambah modal kegiatan SPP, dan sisanya seperti biasa akan dipakai untuk kegiatan pembangunan fasilitas publik seperti jalan, bangunan taman kanak-kanak, serta pemberian biaya pendidikan dan kesehatan yang sifatnya hibah," katanya.

Hamid mengatakan pada 2010 sebenarnya PNPM-MP di Cangkringan sudah membangun sejumlah jalan semen di Desa Kepuharjo dan Umbulharjo. "Namun jalan-jalan tersebut saat ini hancur tertutup material erupsi Gunung Merapi," katanya.(V001*E013*H008/M008/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011