Raut muka lelaki bertubuh gempal itu tetap ceria, sinar matahari menerpa rambut cepak dengan sedikit helainya yang berwarna putih.

Berulang-ulang suara "yo...! yo....! yo....!" terdengar dari mulut belasan pemuda yang dipimpinnya menjadi aba-aba mereka mendorong sebongkah batu sepanjang sekitar dua meter keluar dari timbunan pasir yang meluap menutup sebagian dari studio alam "Gadung Mlati" di tepian alur Kali Tringsing, siang itu.

Ismanto (42), pematung dan sekaligus pemimpin grup komunitas seniman "Gadung Mlati" itu memimpin mereka menyelamatkan sejumlah karya patung dan batu calon karya lainnya yang selama ini ada di studi di tepian alur kali itu di Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Studio yang sejak 2006 mulai menjadi salah satu tempat berkarya Ismanto bersama sejumlah pemuda muridnya seluas 150 meter persegi itu semula berada di ketinggian sekitar sembilan meter dari permukaan air Sungai Tringsing.

Tetapi banjir lahar dingin berkali-kali dari Merapi dan terbesar pada Minggu (9/1) telah membuat permukaan studio itu sama dengan permukaan alur sungai.

Jembatan Sungai Tringsing, penghubung Desa Paten dengan Sengi, Kecamatan Dukun, desa tempat tinggalnya bersama isteri dan dua anaknya, serta sejumah "cantriknya" rusak dan tertutup material Merapi sehingga tak bisa dilalui lagi.

Siang itu mereka dibantu belasan pemuda desa setempat lainnya menggali sejumlah calon patung yang sempat terendam luapan pasir karena banjir lahar dingin susulan cukup besar pada Minggu (9/1) malam.

Sejumlah calon patung yang bakal diberinya nama "Buddha Tidur", "Heroes", "Family", "Torso", dan belasan batu bundar ukuran relatif kecil untuk patung lainnya berjudul "Buddha Tidur" mereka angkat dari endapan material untuk diangkut ke tempat aman. Mereka membawanya ke studio satunya di utara Kali Tringsing di Desa Sengi.

Sekitar 250 batu yang mereka sebut sebagai "watu enton", calon batu karya candi, untuk karya pameran tunggalnya kelak, terpendam pasir di tepian kali itu. Sejumlah patung ukuran cukup besar masih bertengger di studio itu tampak masih selamat dari banjir lahar dingin.

Merapi meletus intensif pada akhir Oktober hingga pertengahan November 2010, sedangkan saat ini status aktivitas vulkaniknya telah turun hingga di level kedua yakni "waspada".

"Tidak ada yang harus disedihkan, ini alam sedang menyapa kami, banjir lahar dingin sedang mewarnai karya-karya patung kami," kata Ismanto.

Ia terkesan menyadari betapa banjir lahar dingin itu sebagai bagian penting dari perjalanan alam Merapi.

Respons Ismanto, seniman autodidak, atas banjir lahar dingin yang membenamkan karya dan menghayutkan aset batu untuk patungnya bukan pasrah, apalagi merasa dirinya sebagai korban bencana alam itu.

Tetapi Ismanto yang secara akademis hanyalah lulusan SMP itu memperlihatkan kesadaran cukup tinggi atas alam Merapi. Merapi tampaknya disadari selama ini telah menghaburkan inspirasi kesenimanannya sehingga dia memiliki nama besar khususnya di kancah seniman patung Indonesia.

"Biarlah banjir lahar dingin berlalu apa adanya, Merapi telah memberi banyak kepada saya dan anak-anak, kalau dia (Merapi, red.) mengambil, itu bagian persembahan kami kepada Tuhan," katanya.

Seorang warga Desa Sengi, Harjo Sumali (76), siang itu terlihat berjalan di atas material pasir Kali Tringsing, memandang bekas tebing sungai yang longsor akibat tergerus arus air dengan membawa batu dan pasir saat banjir lahar dingin tersebut.

Suara banjir lahar, katanya, bergemuruh sedangkan rumahnya di tepi kali itu sempat bergetar bagaikan dikepung gempa dahsyat selama sekitar satu jam.

"Ini yang kedua saya alami, banjir lahar dingin semalam (9/1) persis saat banjir lahar dingin 1954," katanya.

Permukaan sungai setempat telah rata dengan tepiannya. Jembatan sepanjang sekitar 30 meter dengan lebar enam meter di atas sungai itu telah tidak tampak lagi karena tertimbun material.

Selagi hujan cukup deras terutama dari puncak Merapi, terus mengguyur kemungkinan aliran banjir lahar dingin melalui berbagai alur sungai tetap terbuka.

Banjir lahar dingin susulan Merapi pada Minggu (9/1) malam memang paling besar di antara peristiwa serupa berkali-kali sejak awal Desember 2010.

Ratusan rumah di sejumlah desa yang dilalui alur Kali Putih dan Pabelan terendam material, ratusan warga mengungsi dari rumahnya ke tempat aman, sejumlah jembatan tertimbun pasir dan rusak.

Jembatan darurat jenis "bailey" di atas Kali Pabelan, Dusun Srowol, Desa Progowati, Kecamatan Mungkid, penghubung Magelang dengan Kulon Progo, Yogyakarta hanyut dan mengakibatkan jaringan listrik dan telepon yang melintasi jembatan itu putus dengan sejumlah tiang roboh.

Enam sekolah di Kecamatan Salam terkena limpasan material dari Sungai Putih dan ratusan warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam diungsikan ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) Tanjung, Kecamatan Muntilan.

Jalan Raya Magelang-Yogyakarta harus ditutup dari arus lalu lintas karena tertutup material pasir hingga ketinggian dua meter dengan panjang hampir satu kilometer, para petugas dengan sejumlah alat berat dikerahkan untuk membersihkan ruas jalan itu di Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dari material Merapi.

"Pembersihkan jalan dari material pasir dan batu, tidak cukup dua hari," kata Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Magelang, Utoyo.

Banjir lahar dingin telah mengakibatkan alur baru sejumlah sungai yang berhulu di Merapi. Warga menonton berbagai alur baru sungai itu antara lain di Jembatan Pabelan penghubung kota Kecamatan Sawangan dengan Dukun, bekas lokasi Jembatan "bailey" Srowol, Jembatan Pabelan di ruas jalan Magelang-Yogyakarta, dan Jembatan Talun, Kecamatan Dukun.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang berkantor di Yogyakarta, Subandriyo, menyatakan pentingnya warga mewaspadai bahaya banjir lahar dingin.

Sekitar 50 juta dari 140 juta meter kubik material hasil letusan Merapi 2010 yang nyaris sama karakternya dengan peristiwa 1872 itu, katanya, mengarah ke berbagai sungai termasuk di Kabupaten Magelang seperti Kali Bedog, Krasak, Putih, Lamat, Senowo, Sat, Trising, dan Apu.

Ia mengajak masyarakat terutama di kawasan Merapi menyikapi karakter gunung berapi di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu secara arif.

"Kita harus mau belajar tentang Merapi sehingga bisa menghadapinya lebih arif. Nenek moyang orang Merapi juga mengalami hal seperti ini, bisa bertahan dan hidup sejahtera," katanya saat dialog bertajuk "Budaya Merapi Luwih (Lebih,red)" dengan ratusan warga lereng barat Merapi di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, beberapa waktu lalu.

Merapi dengan letusan intensifnya beberapa waktu lalu dan disusul banjir lahar dingin hingga saat ini tak cukup dipandang sebagai bencana yang merusak dan merugikan manusia.

Tetapi gunung berapi yang terus mencatatkan sejarah panjang letusan, telah menjadi salah satu laboratorium vulkanologi dunia, dan melahirkan "ilmu titen" warganya secara turun temurun itu mesti dipandang secara menyeluruh sebagai sumber daya kesejahteraan masyarakat.

Jadi Merapi harus disikapi secara positif dan biarlah banjir lahar dinginnya berlalu apa adanya, sebagai bagian dari otonomi Merapi. (ANT/K004)

Oleh Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011