Semarang (ANTARA News) - "Kasihan ya," kata Aminah, warga Semarang Selatan sesaat setelah mengetahui berita enam bersaudara di Kabupaten Jepara meninggal dunia bukan karena serangan penyakit, tetapi karena keracunan saat makan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon.

Bukan hanya Aminah, berita tragis tersebut menjadi bahan pembicaraan setiap orang dan memunculkan sejumlah pertanyaan tak berjawab, di antaranya apakah mungkin keluarga tersebut tidak mampu untuk membeli beras miskin (raskin) meskipun harganya jauh dari harga pasaran, sehingga terpaksa mengkonsumsi tiwul.

Jamhamid (45), orang tua korban membenarkan bahwa keluarganya selalu bergelut dengan kekurangan. Penghasilannya sebagai penjahit di Semarang yang hanya berkisar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu sepekan jauh dari cukup.

Penghasilan tersebut hanya bisa menopang kehidupan untuk tiga hari hingga empat hari keluarga yang tinggal di Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.

"Terkadang, kami hanya bisa membeli beras 10 kilogram saja untuk memenuhi kebutuhan delapan anggota keluarga," katanya.

Ia mengakui sejak dua pekan terakhir sebelum duka datang, dirinya sekeluarga harus mengkonsumsi makanan alternatif berupa tiwul yang disediakan istrinya, Siti Sunayah (41).

Siti Sunayah membuat tiwul yang terbuat dari sari ketela pohon, dicampur gula aren dan parutan kelapa.

Nahas, tiwul yang sedinya dijadikan makanan pengganti nasi mengakibatkan enam anak pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah pergi untuk selamanya.

Keenam anaknya yang meninggal yakni Lutfiana (22), meninggal pada Sabtu (1/1) pagi. Belum kering air mata menetes, Sabtu (1/1) malam, anaknya lelakinya Abdul Amin meninggal dunia.

Tak hanya dua anaknya yang menjadi korban tiwul, menyusul Ahmad Kusrianto (5) anak nomor enam dan Ahmad Hisyam Ali (13) anak nomor empat.

Rupanya duka masih belum mau beranjak dari keluarga Jamhamid, walau sudah merenggut empat anaknya, anak nomor lima dan tiga, yakni Saidatul Kusniah (8) dan Faridatul Solihah (15) meninggal Senin (3/1) dini hari.

Kasus tragis tewasnya enam bersaudara karena keracunan makan tiwul, bagi pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, FX. Sugiyanto dikarenakan daya beli yang rendah di tingkat masyarakat.

Warga Kabupaten Jepara tersebut makan tiwul karena tidak mampu membeli beras akibat pendapatan tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Keluarga Jamhamid dan Siti Sunayah tidak sendiri, banyak keluarga lain yang senasib yang masuk dalam kategori keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan di Jateng.

Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng pada Maret 2009 melansir, jumlah penduduk miskin di provinsi ini pada Maret 2009 sebanyak 5,726 juta orang atau 17,72 persen dari total penduduk Jateng.

Sementara jumlah penduduk miskin Maret 2008 berjumlah 6,190 juta orang atau 19,23 persen. Jika dibandingkan dengan Maret 2008, angka penduduk miskin di Jateng Maret 2009 memang terdapat penurunan sebesar 464 ribu orang.

Penurunan penduduk miskin tersebut banyak terjadi di perkotaan, tercatat dalam satu tahun (Maret 2008 hingga Maret 2009) dapat turun sebesar 0,136 juta orang. Sementara penurunan kemiskinan di tingkat pedesaan hanya berjumlah 0,328 juta orang.

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin dipengaruhi garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Selama Maret 2008-Maret 2009, garis kemiskinan naik 8,53 persen yaitu dari Rp168.168 per kapita per bulan (Maret 2008) menjadi 182.515 per kapita per bulan (Maret 2009).

Komponen garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Di Jateng peranan komoditas makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan, seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Garis kemiskinan di Jateng tahun 2009 sebesar Rp182.515 per kapita per bulan. Pengeluaran untuk makanan sebesar 72,78 persen, sedangkan pengeluaran untuk komoditi bukan makanan hanya sebesar 27,22 persen.

Jika dilihat dari persentase, jumlah penduduk miskin di Jateng dari tahun 2008 hingga 2009 banyak berada di pedesaan. Pada Maret 2009 di pedesaan terdapat 57,72 persen penduduk miskin dan pada Maret 2008 sebanyak 58,7 persen.

Produksi Beras

Data BPS Jateng mencatat produksi padi dari tahun 2002 hingga 2009 di Jateng selalu mengalami peningkatan baik padi sawah maupun padi ladang.

Jika dilihat dari tahun 2002 tercatat produksi padi sebanyak 8,5 juta ton (untuk padi sawah sebanyak 8,2 juta ton dan padi ladang 219,6 ribu ton), produksi padi tahun 2003 ada sedikit penurunan menjadi 8,1 juta ton (padi sawah sebanyak 7,9 juta ton dan padi ladang 189,6 ribu ton).

Tahun 2004 produksi padi meningkat menjadi 8,5 juta ton (padi sawah 8,3 juta ton dan padi ladang 198 ribu ton). Agak menurun sedikit di tahun 2005 produksi padi 8,4 juta ton (padi sawah 8,2 juta ton dan 183,8 ribu ton).

BPS Jateng mencatat mulai tahun 2006 produksi padi meningkat 8,7 juta ton (padi sawah 8,5 juta ton dan padi ladang 178 ribu ton), produksi padi tahun 2007 sebanyak 8,6 juta ton (8,4 juta ton padi sawah dan 173,6 ribu ton padi ladang), dan produksi padi tahun 2008 sebanyak 9,1 juta ton (8,9 juta ton padi sawah dan 189,6 ribu ton padi ladang).

Peningkatan produksi secara signifikan terjadi pada tahun 2009 yang mencapai 9,6 juta ton, terdiri hasil panen padi sawah sebanyak 9,3 juta ton dan padi ladang sebanyak 219,9 ribu ton.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam laporan pertanggungjawaban tahun anggaran 2009 menjelaskan, provinsi ini mengalami surplus produksi beras provinsi selama tahun 2009 dan menjadi pendukung ketersediaan beras nasional.

Daerah lumbung padi di Jateng yang mendongkrak produksi pangan di antaranya, Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Blora, Demak, Pati, dan Jepara.

Gubernur mengatakan, pada 2009 Jateng surplus beras sekitar 2.570.000 ton dan ke depan memungkinkan untuk melakukan ekspor beras, namun tetap mempertimbangkan kebutuhan beras dan kelebihannya.

Rencananya yang akan diekspor adalah beras premium jenis mentik wangi susu. Jadi tidak semua jenis beras akan diekspor. Budidaya padi tersebut dilakukan dengan ramah lingkungan dan dikembangkan di Kabupaten Magelang seluas 420 hektare dengan estimasi produktivitasnya mencapai lima ton per hektare.

Hal sama disampaikan Kepala Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Jateng, Gayatri Indah Cahyani bahwa tahun 2009, Jateng mengalami surplus beras hingga 2,6 juta ton.

FX. Sugiyanto menilai peningkatan produksi padi di Jateng yang tinggi tidak menjadi salah satu tolok ukur Jateng memiliki stok beras yang cukup karena beras bisa cepat "lari" ke luar daerah.

"Beras `mobile`. Jadi selesai panen, beras bisa langsung dibawa ke Jakarta dan daerah lainnya. Jadi tingginya produksi padi di Jateng tidak dapat mewakili ketersediaan beras," katanya.

Data yang diungkapkan Perum Bulog Divre Jateng, target pengadaan beras pada 2010 sebanyak 500.000 ton hanya tercapai 61,07 persen.

"Dari target pengadaan beras 500.000 ton itu, realisasinya hanya 305.382 ton selama 2010," kata Kepala Humas Perum Bulog Divre Jateng, Siti Retno Farida.

Realisasi pengadaan beras selama periode 2010 terdiri atas 236.019 ton beras dan gabah sebanyak 109.233 ton atau setara dengan 69.363 ton beras.

"Kalau soal faktornya (tidak tercapainya target, red.), saya fikir semua sudah tahu, sekarang ini kan hujan terus. Faktor cuaca memang memengaruhi produktivitas beras," katanya.

Ia mengatakan, sebagian lahan pertanian di Jateng saat ini juga dialihkan untuk tanaman pangan lainnya, hal itu turut memengaruhi penurunan jumlah panen selama periode 2010.

FX. Sugiyanto menambahkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah dengan menambah pendapatan. Solusinya, pemerintah harus menciptakan lapangan kerja lebih banyak.

Kasus masyarakat tidak mampu membeli beras di Kabupaten Jepara tersebut, sebenarnya hanya sebagian dari potret masyarakat di Jateng yang bisa jadi merupakan fenomena gunung es.

Kasus yang menimpa keluarga Jamhamid muncul ke permukaan dan menjadi pemberitaan, karena kebetulan mereka makan tiwul dan mengakibatkan keracunan hingga merenggut korban jiwa.
(ANT/A024)

Oleh Nur Istibsaroh
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011