Jakarta (ANTARA) - Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah menjadi komitmen dan cita-cita bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Mengutip dari laman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kata damai tidak hanya didefinisikan sebagai absennya peperangan di dunia. Kata damai mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar nihilnya peperangan.

Dalam pidatonya di High-level Forum on the Culture of Peace yang diprakarsai oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2014, mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mendefinisikan kedamaian sebagai terjaminnya martabat dan kesejahteraan untuk semua orang.

Perdamaian, tutur Ban Ki-moon, tergambar dari bagaimana hak-hak setiap orang dapat terjamin, bagaimana kehidupan di dunia berlangsung, serta bagaimana setiap orang berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Ia memaparkan interaksi yang berlangsung harus berlandaskan pada toleransi, rasa hormat, dan saling mengerti. Mengingat dunia, saat ini, rentan akan kekerasan, konflik, ekstremisme, dan terorisme.

Pernyataan tersebut selaras dengan isi pidato Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) pada Sidang Majelis Umum PBB ke-76 yang disiarkan di kanal YouTube MoFA Indonesia, Kamis (23/9).

Presiden Jokowi mengatakan, seluruh negara di dunia harus serius dalam melawan intoleransi, konflik, terorisme, dan perang.

“Perdamaian dalam keberagaman, jaminan hak perempuan dan kelompok minoritas, harus kita tegakkan,” tutur Jokowi menegaskan.

Pernyataan dari Presiden Jokowi telah menggambarkan komitmen Indonesia di masa pimpinannya untuk turut berpartisipasi dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Baca juga: Indef: Presidensi G20 2022 tingkatkan pengakuan kapabilitas RI

Indonesia dalam Perdamaian Dunia
Melalui pidatonya, Jokowi mengemukakan bahwa terdapat potensi praktik kekerasan dan marjinalisasi perempuan di Afghanistan. Isu marjinalisasi perempuan di Afghanistan telah menjadi perhatian dunia sejak Taliban berhasil menduduki ibu kota Afghanistan, Kabul.

Dalam praktiknya, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi dengan aktif menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh terkait guna mendukung proses perdamaian di Afghanistan. Terdapat dua isu utama yang menjadi fokus dari Menlu Retno, yaitu kerja sama di kalangan ulama dan pemberdayaan perempuan.

Retno mengatakan kepentingan Indonesia adalah melihat rakyat Afghanistan menikmati perdamaian, sejahtera, dan hak-hak penduduknya, secara khusus hak-hak perempuan, dapat terpenuhi.

Menlu RI ini memanfaatkan forum Majelis Umum PBB untuk terus mengangkat isu Afghanistan, serta melangsungkan pertemuan bilateral dengan negara mitra, yaitu Turki, Arab Saudi, Inggris, dan Jordan.

Bahkan, ia juga mengaitkan peran penting Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah sementara Afghanistan mengenai pentingnya penghormatan terhadap hak-hak perempuan.

Selanjutnya, dalam Majelis Umum PBB, Indonesia mengangkat krisis politik di Myanmar sebagai isu yang juga harus memperoleh perhatian dunia.

Indonesia bersama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya telah melakukan pertemuan di Jakarta untuk membahas permasalahan politik Myanmar.

Pertemuan tersebut menghasilkan Konsensus Lima Poin (Five-Point Consensus) pada tanggal 24 April 2021, yang mana di poin kelima menyebutkan bahwa Utusan Khusus ASEAN harus mengunjungi Myanmar dan bertemu dengan pihak-pihak terkait.

Implementasi kelima poin dalam Five-Point Consensus membutuhkan komitmen dari militer Myanmar.

Terkait dengan isu Myanmar, Menlu RI dengan aktif mengingatkan kepada dunia untuk tidak mengesampingkan isu politik di Myanmar. Isu tersebut melibatkan diskriminasi pada etnis Rohingya yang diperburuk oleh kudeta militer di Myanmar.

Etnis Rohingya kesulitan untuk dapat memperoleh hak akses terhadap vaksin COVID-19, alat kesehatan, dan obat-obatan.

Indonesia menjalankan komitmennya tentang pemenuhan hak terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini etnis Rohingya, dengan mendorong masyarakat internasional untuk mendukung ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) yang saat ini sedang menyalurkan bantuan kemanusiaan di Myanmar, termasuk bantuan untuk etnis Rohingya di sana.

Indonesia yang terlibat dengan aktif dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan di berbagai negara adalah wujud nyata dari komitmen Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Lantas, bagaimana dengan Presidensi Indonesia di G20?

Baca juga: Menko Airlangga ungkap 5 strategi RI pimpin Presidensi G20

Presidensi G20
Group of 20 atau yang dikenal dengan G20 merupakan kelompok yang terdiri dari 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, ditambah dengan Uni Eropa. G20 didirikan pada tahun 1999 di Roma, Italia.

Dimulai pada tanggal 1 Desember 2021 nanti, Indonesia akan memegang Presidensi G20 untuk yang pertama kalinya sejak G20 berdiri. Italia akan melakukan serah terima kepada Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) atau G20 Leaders' Summit di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021.

Adapun tema utama dari Presidensi G20 Indonesia adalah "Recover Together, Recover Stronger", atau yang juga berarti Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat.

“Inklusifitas menjadi salah satu kata kunci dalam Presidensi G20 Indonesia,” ucap Retno Marsudi dalam Press Statement: Menuju Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube MoFA Indonesia.

Adapun yang ia maksud dengan inklusifitas adalah, Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tidak hanya memperhatikan kepentingan negara anggota G20 saja, tetapi juga kepentingan negara berkembang dan kelompok rentan.

Retno mengatakan, Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi, menjembatani perbedaan yang terjadi di kancah internasional, dan selalu menyuarakan kepentingan negara berkembang.

Negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, termasuk negara-negara kepulauan kecil di Pasifik dan Karibia akan memperoleh perhatian dari Indonesia.

Pada masa Presidensi G20, Retno mengatakan Indonesia akan merangkul dan melibatkan berbagai kalangan perempuan, pemuda, akademisi, dunia usaha, dan parlemen.

Janji Presidensi G20 yang diutarakan oleh Indonesia merupakan wujud komitmen Indonesia untuk mencapai perdamaian dunia melalui upaya menyejahterakan negara-negara berkembang dan melibatkan seluruh kalangan.

Perdamaian dapat tercapai dengan menciptakan kesejahteraan bersama dan pemenuhan hak dari segala kalangan.

Oleh karena itu, Presidensi G20 memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya dalam menciptakan perdamaian dunia.

Baca juga: Indonesia agendakan tiga isu prioritas untuk Presidensi G20 2022

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021