Ada yang berbeda dari kegiatan Babe (58), warga Pekayon, Bekasi, beberapa hari belakangan ini. Pensiunan BUMN yang gemar memelihara lele di kolam sempit depan rumahnya ini setiap sore selalu "stand by" di ruang keluarga yang jadi satu dengan ruang tamu dan ruang makan.

Dia berdiri mondar-mandir di depan televisi yang sedang ramai menampilkan Gayus yang diduga sebagai mafioso pajak, yang memiliki "kesaktian" dapat berulang kali "menembus" tembok penjara.

Kakek dengan dua orang cucu ini sama dengan yang lain, ikut gregetan, bukan pada Gayus melainkan pada penegak hukum yang katanya "terlalu hati-hati" mengeksekusi kasus si "teri".

"Gayus sanggup selesaikan penanganan korupsi dalam dua tahun. Wah, polisinya ditantang ini, harusnya Kapolri dan Jaksa Agung langsung bilang sanggup tuntaskan kurang dari dua tahun," ujar Babe dengan nada berapi-api mengomentari duplik Gayus Halomoan Tambunan yang dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Berita-berita panas yang akhir-akhir ini sering diberitakan media massa, seperti persidangan terdakwa Gayus Tambunan, plesiran Gayus ke berbagai negara padahal dalam status sebagai tahanan, pembuatan paspor palsu Gayus, desakan pengambilalihan kasus Gayus dari Kepolisian ke KPK, dugaan Gayus mengamankan asetnya di Singapura, penyerahan data-data aliran dana Gayus dari PPATK ke KPK, istri Gayus ikut plesir, anggota Komisi III DPR sidak imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, dan margin harga cabai di tingkat pedagang dengan petani yang terlalu tinggi, tidak pernah ia lewatkan.

Bukan cuma Babe yang "keranjingan" berita Gayus, politikus negeri ini pun tidak berhenti mengangkat topik Gayus si mafia pajak. Pernyataan politikus Partai Demokrat yang juga Ketua Komisi III DRP RI, Benny Kabur Harman, soal "bincang-bincangnya" dengan mantan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang menyebutkan jika kasus Gayus diungkap dikhawatirkan negara guncang.

Kontan pernyataan Benny menjadi "headline" di berbagai media massa dan membuat panas para politikus di Senayan. Hasilnya, dua hari setelah pernyataan dilontarkan Benny terpaksa meralat ucapannya tersebut, bahwa pengungkapan kasus Gayus akan membuat guncang negara hanya opini pribadinya bukan sebagai Ketua Komisi III DPR tetapi selaku Ketua DPP Demokrat.

Setelah polisi dan jaksa, gantian Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang dibuat ribut oleh Gayus. Semua karena anak dari Amir Syariffudin Tambunan (64) ini plesiran dari Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, ke Singapura, Kuala Lumpur, Makau, dan Guangzhou.

Pejabat imigrasi pun menjadi orang yang paling dicari oleh para pemburu berita. Hampir setiap hari, sejak orang yang diduga Gayus yang plesiran ke Singapura "dilaporkan" Devina ke surat pembaca Harian Nasional Kompas dan twitter Sekjen Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Deny Indrayana memamerkan paspor atas nama Sony Laksono dengan foto yang sama ketika Gayus dengan rambut palsu dan kacamata plesiran ke Bali, mulai dari Menteri sampai humas mendapat kunjungan dari wartawan.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya membentuk tim sendiri untuk mengetahui apa yang terjadi di jajarannya, hingga Gayus lolos keluar masuk Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Hingga Rabu (12/1), Kementerian Hukum dan HAM belum berani mengungkap hasil temuannya karena ternyata disinyalir jaringan sindikat pemalsuan paspor terlalu luas sehingga butuh waktu lebih lama mengusutnya.

"Tolong kami dihargai, dihormati, kalau semua temuan kami sampaikan, yang masih setengah matang atau tiga perempat matang kan nanti juga mengganggu pemeriksaan. Yang perlu kami jaring bukan satu atau dua masalah saja karena kami harus dapatkan semuanya. Untuk itu kami tidak bisa ekspos semuanya karena bisa memicu perdebatan, opini, dan segala macam," ujar Irjen Kementerian Hukum dan HAM, Sam L Tobing, menjawab pertanyaan wartawan yang sedikit terdengar gregetan.

Nada bicaranya terdengar sedikit tinggi, tidak terlalu senang dengan rentetan pertanyaan wartawan yang seperti tidak sabar menyelesaikan cerita dari mafioso pajak Gayus Tambunan. Tapi apa mau dikata, lebih baik tidak terburu hingga hasilnya memuaskan.

Pada hari Rabu (12/1) itu pula, Komisi III DPR yang membidangi persoalan hukum kembali mengetuk palu untuk pembentukan Panja Mafia Pajak. Padahal, Pansus Bank Century hingga kini masih "menggantung" hasilnya.

Saat ini rakyat sudah mulai geram, frustrasi, stres dengan pemberitaan "kegilaan" bertubi-tubi tentang Gayus dan berharap agar pimpinan tertinggi negeri ini turun tangan mengingat kepercayaan publik terhadap jajaran penegak hukum goyah. Presiden menyatakan tidak akan mengintervensi kasus hukum Gayus Tambunan.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat "ditodong" para wartawan usai membuka aksi donor darah di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk berkomentar soal sikap pimpinan negera yang tidak mau mengintervensi kasus mafia pajak ini mengatakan kalau seorang Presiden turun tangan untuk kasus sekelas mafia pajak, bukanlah intervensi.

Turun tangan atau tidaknya Presiden, ia mengatakan tergantung pandangan Presiden sendiri. "Kalau waktu saya menjabat sebagai Wapres (Wakil Presiden), jika saya anggap perlu, saya perintahkan. Presiden tidak bisa mengintervensi, tapi Undang-Undang menyatakan (bisa) kasih perintah".

Gayus keblinger
Semua hiruk-pikuk pemberitaan belakangan ini bersumber dari Gayus Halomoan Tambunan.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kementerian Keuangan golongan IIIA yang masa kecilnya dihabiskan di sebuah rumah munggil di daerah Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, lingkungan sosial yang kondisinya jauh berbeda dengan Kelapa Gading di mana ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.

Berbeda dengan empat saudaranya, Gayus kecil diakui memang lebih pintar secara akademik oleh ayahnya, Amir Syarifuddin Tambunan, mengingat mantan pegawai pajak ini selalu juara di sekolahnya. Banyak yang mengakui bahwa bukan perkara mudah bisa masuk ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) karena seleksinya begitu ketat, tapi ternyata Gayus pada saat yang sama juga diterima di Sekolah Tinggi Telekomunikasi (STT) Telkom dan Universitas Indonesia.

Pilihan melanjutkan ke STAN, menurut Amir, karena dapat langsung diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tahun 2000 Gayus menyelesaikan pendidikannya di STAN dan langsung ditugaskan ke Balikpapan, baru ditempatkan di kantor pusat Ditjen Pajak setelah lulus D4 di STAN.

Jabatan terakhir Gayus sebelum dinonaktifkan dan akhirnya dipecat adalah Penelaah Keberatan Ditjen Pajak. Pendapatan saat pertama terdakwa kasus mafia pajak ini masuk ke Ditjen Pajak tentu tidak sama dengan saat dia tidak lagi menjabat.

Ingat saat Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan kala itu mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007 yang isinya menaikkan uang tunjangan atau dikenal dengan sebutan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN)?

Gaji pegawai Departmen Keuangan, termasuk Gayus pastinya, menjadi lebih tinggi dibanding PNS di lembaga dan instansi negara lainnya. Dari pendapatan di kisaran Rp2 juta dan menjadi sekitar Rp12 juta untuk seorang Penelaah Keberatan di Ditjen Pajak.

Jika secara psikologis harus menelaah kasus Gayus Halomoan Tambunan, jawabannya Gayus keblinger. Entah kosa kata apa yang sepadan untuk menggantikan kata keblinger, namun yang jelas Gayus menjadi lupa diri terperdaya kesuksesannya, sukses jabatan, sukses harta, sukses kekuasaan.

Trauma menjadi orang biasa yang hidup dengan segala kesederhanaan di tengah kondisi ekonomi dan lingkungan sosial yang terpuruk membuat orang-orang yang cerdas seperti Gayus tidak lagi menghiraukan nilai-nilai budi pekerti, moral, dan agama.

"... atau justru penyidik tim yang katanya independen sangat sayang pada negara tercinta ini, Republik Indonesia, karena jika cerita-cerita saya diseriusi, maka terpaksa Direktorat Jenderal Pajak harus dilikuidasi, karena sebelum tahun 2007, kami di pajak menyebutnya dengan zaman jahiliyah, sulit menemukan pejabat ataupun aparat yang benar benar bersih di Direktorat Jenderal Pajak".

Kutipan di atas diambil dari pledoi Gayus Halomoan Tambunan berjudul "Indonesia Bersih, Polisi dan Jaksa Risih, Saya Tersisih" yang dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pada 13 Juni 2008 saat mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 18 pejabat eselon II Ditjen Pajak di Gedung Djuanda Departemen Keuangan meminta bawahannya, khususnya di Ditjen Pajak, untuk menahan diri dari suap dan benar-benar melaksanakan reformasi birokrasi.

"Kita tahu pajak ini memang tidak seperti Bea dan Cukai yang penyelewengannya bisa ketahuan lewat transaksi fisik, tapi di pajak memang sulit dipergoki. Tapi anda harus menghilangkan kebiasaan itu sebab `sooner or later` anda bisa kepergok juga, baik itu lewat KPK atau lewat rekan-rekan anda," ujar Sri Mulyani kala itu.

Berkaca dari kasus Gayus, tidak dapat dipungkiri faktor lingkungan sosial selain ekonomi juga menjadi salah satu penyebab seseorang lupa akan nilai-nilai moral, agama, dan budi pekerti. Kemiskinan yang berlarut-larut tanpa harapan membuat virus lupa diri lebih mudah berkembang saat uang, kemewahan, jabatan ditawarkan di hadapan seseorang.

Jadi, apakah salah jika intervensi seorang Presiden yang dianggap menyalahi aturan dilakukan, jika pada akhirnya justru dapat lebih cepat menyelamatkan rakyat-rakyat yang terpuruk dalam kemiskinan? (V002/KWR/K004)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011