stok pangan di DKI Jakarta terbilang masih tinggi untuk beberapa komoditas utama misalnya beras pada Agustus 2021 mencapai hampir 80 ribu ton dengan rata-rata konsumsi per hari diperkirakan mencapai 3.400 ton
Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta merilis inflasi di Ibu Kota pada Agustus 2021 mencapai 0,08 persen setelah selama dua bulan sebelumnya mengalami deflasi.

Tercatat pada Juni 2021, DKI Jakarta mengalami deflasi minus 0,27 persen dan pada Juli 2021 juga masih minus 0,04 persen.

Terjadinya inflasi setelah dua bulan “adem ayem” itu mengindikasikan geliat ekonomi mulai terjadi yakni adanya perbaikan permintaan masyarakat.

Gelontoran bantuan sosial dari Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta nyatanya berperan sebagai bantalan dan menolong kemampuan masyarakat di Ibu Kota untuk membelanjakan uangnya.

Sederhananya, inflasi menggambarkan keadaan di suatu negara atau wilayah di mana terjadi kenaikan harga barang dan jasa.

Kenaikan harga barang dan jasa itu salah satu penyebabnya karena pasokan terbatas namun permintaan masyarakat tinggi.

Sebaliknya, jika pasokan melimpah dan permintaan rendah maka disebut deflasi atau kebalikan dari inflasi.

Baca juga: Ekonom: pergeseran tenaga kerja di DKI dorong inflasi rendah

Apabila pasokan memadai sehingga mampu mengisi permintaan, maka kestabilan harga bisa terjadi, sehingga hasilnya inflasi tidak rendah, juga tidak tinggi alias terkendali.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakata Onny Widjanarko mengatakan jika inflasi terlalu rendah, bisa jadi hal itu mengindikasikan daya beli masyarakat yang juga rendah.

Jika dibandingkan periode sama pada 2020, realisasi inflasi saat itu mencapai 1,21 persen sehingga inflasi pada Agustus tahun ini memang lebih rendah dibandingkan tahun lalu.

“Inflasi naik sedikit tidak apa-apa asal terkendali,” kata Onny Widjanarko ketika menyampaikan diseminasi laporan perekonomian DKI Jakarta periode Agustus 2021.

Di sisi lain, stok pangan di DKI Jakarta terbilang masih tinggi untuk beberapa komoditas utama misalnya beras pada Agustus 2021 mencapai hampir 80 ribu ton dengan rata-rata konsumsi per hari diperkirakan mencapai 3.400 ton.

Begitu juga cabai rawit mencapai 61 ton dan bawang merah mencapai 104 ton, minyak goreng sebanyak 293 ton dan daging ayam ras 271 ton.

Ekonom dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta Donni Fajar Anugerah mengatakan stok komoditas itu meningkat seiring dengan musim panen.

Sedangkan bantuan sosial pemerintah melalui penyaluran bahan pangan subsidi juga meningkatkan distribusi bahan pangan kepada kelompok tertentu.
 

Arsip foto - Sejumlah pekerja konstruksi sedang mengerjakan proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Sabtu (7/8/2021) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
 

Pergeseran ketenagakerjaan

Tidak dapat dipungkiri pandemi COVID ini menyebabkan turunnya penduduk bekerja termasuk di DKI Jakarta. Di sisi lain, pekerja sektor informal mengalami peningkatan atau ada pergeseran sektor tenaga kerja.

Berdasarkan data ketenagakerjaan BPS per Februari 2021, jumlah penduduk bekerja di DKI Jakarta mencapai 5,17 juta pada 2020 dan menurun pada 2021 mencapai 4,90 juta.

Adapun pekerja sektor formal pada 2021 mencapai 3,14 juta atau menurun dibandingkan 2020 mencapai 3,50 juta.

Sedangkan pekerja sektor informal tahun ini bertambah banyak yakni 1,76 juta orang, dibandingkan 2020 mencapai 1,66 juta.

Dengan begitu, porsi pekerja sektor formal di DKI pada 2021 mencapai 64 persen dan pekerja informal 36 persen.

Jika dibandingkan pada 2020, porsi tenaga kerja formal mencapai 68 persen dan informal 32 persen.

Pergeseran tenaga kerja di DKI Jakarta diperkirakan turut mempengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga di ibu kota sebab pendapatan pekerja informal relatif tidak pasti.

Baca juga: Pengamat: Penyesuaian PPKM di DKI dongkrak daya beli masyarakat

Akibatnya, mereka tidak serta merta menaikkan kosumsinya, sehingga ketika saat ini pendapatan mereka besar, belum tentu bulan berikutnya pendapatan mereka juga besar atau justru berkurang.

“Bulan depan belum tentu (pendapatan) besar sehingga uangnya bisa jadi ditabung, tidak meningkatkan belanja,” kata Donni.

Sementara itu, kajian bank sentral di DKI menyebutkan rumah tangga pengeluaran rendah, lebih banyak membelanjakan uangnya untuk makanan dengan porsi mencapai 54,7 persen dan belanja barang mencapai 45,3 persen pada 2021.

Sedangkan konsumsi rumah tangga pengeluaran tinggi, sebanyak 66 persen untuk belanja barang, dan hanya 33 persen untuk makanan.

Padahal kelompok makanan menguasai porsi lebih besar membentuk inflasi pada 2021 mencapai 1,63 persen dibandingkan inflasi non makanan mencapai 0,99 persen.

Arsip foto - Aktvitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, jakarta Utara, Jumat (22/01/2021). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Padat karya

Lantas bagaimana caranya agar daya beli masyarakat di DKI Jakarta lebih bergairah lagi?

Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dr Telisa Aulia Falianty mengatakan bantuan sosial memiliki peran dalam mendorong daya beli masyarakat khususnya ekonomi rendah saat pandemi.

Namun, bantuan sosial juga tidak bisa selamanya menjadi andalan atau menjadi ketergantungan karena yang harus digenjot adalah program produktif seperti padat karya tunai yang sudah dijalankan selama ini.

Baca juga: Pemkot Jaksel temukan daya beli masyarakat menurun 70 persen

Investasi di sektor padat karya dinilai lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan, dibandingkan investasi di sektor padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.

Misalnya investasi saat ini yang lebih banyak bertumpu dengan teknologi tinggi dengan keahlian yang tinggi pula sehingga, tidak banyak menyerap tenaga kerja.

Ia mengungkapkan desain ekonomi perlu memikirkan pasar tenaga kerja misalnya di bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve yang tidak akan menaikkan suku bunga jika sektor tenaga kerja sudah terjamin.

Baca juga: BPS DKI: Daya beli masyarakat Jakarta belum pulih

“Salah satu pekerjaan rumah bagaimana memperbaiki sektor informal, kesejahteraan buruh, tenaga kerja di sektor informal itu jadi perhatian. Tapi tidak mudah, dengan UU Cipta Kerja tidak otomatis memperbaiki penciptaan lapanan kerja karena kebanyakan padat modal,” ucapnya.

Tidak kurang dalam waktu empat bulan lagi 2021 akan segera tutup dan menyongsong 2022.

Tentunya dalam sisa tahun ini permjntaan atau daya beli masyarakat diharapkan kembali menguat seiring pemerintah melakukan relaksasi dalam PPKM di Jakarta sudah diturunkan ke level tiga.

Kebijakan akomodatif yang ditempuh pemerintah dan percepatan vaksinasi COVID-19 diharapkan semakin mendukung geliat ekonomi Jakarta dan nasional.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021