Kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan korupsi kedua tersangka mencapai Rp4,9 miliar.
Mamuju (ANTARA) - Penyidik Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Barat (Sulbar) melimpahkan berkas perkara kasus dugaan korupsi subsidi angkutan laut atau tol laut perintis pangkalan Mamuju ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulbar.

Direktur Kriminal Khusus Polda Sulbar Kombes Pol Agustinus Suprianto, di Mamuju, Selasa, mengatakan pihaknya telah melimpahkan berkas perkara beserta dua orang tersangka, yakni IER, selaku pejabat pembuat kontrak, dan EH,.selaku pihak penyedia yang juga Direktur PT Suasana Baru Line, ke Kejati Sulbar untuk proses hukum lebih lanjut.

"Hari ini, berkas perkara dan dua tersangka kasus korupsi kegiatan subsidi pengoperasian angkutan laut perintis pangkalan Mamuju trayek R-45 yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2018 pada Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Mamuju, yang dilaksanakan oleh PT Suasana Baru Line, telah kami serahkan kepada Kejati Sulbar," kata Agustinus Suprianto.

Kedua tersangka, yakni IER sebagai pejabat pembuat kontrak EH, dan Direktur PT Suasana Baru Line ditetapkan sebagai tersangka, setelah melakukan tindak pidana korupsi subsidi angkutan laut atau tol laut perintis pangkalan Mamuju tahun anggaran 2018.

Hasil audit BPKP, kerugian negara yang ditimbulkan akibat dugaan korupsi kedua tersangka mencapai Rp4,9 miliar.

Ia mengungkapkan, dalam proses penyidikan, diketahui jika PPK dan pihak penyedia, dalam hal ini PT Suasana Baru Line melakukan adendum kontrak yang tidak sesuai ketentuan sebagai mana diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Perhubungan, meliputi biaya labuh dan biaya tambat.

Pada pelaksanaannya, kata Agustinus Suprianto, terjadi perubahan kontrak atas kapal yang dioperasionalkan seharusnya menggunakan kapal dengan ukuran 2.000 GT berdasarkan kontrak awal.

"Namun pada pelaksanaannya, pihak penyedia menggunakan kapal dengan ukuran 1.200 GT dan dalam pembayaran tetap menggunakan perhitungan dengan kapal 2.000 GT, sehingga dari hasil audit ditemukan adanya kelebihan pembayaran karena penggunaan kapal yang tidak sesuai dengan spesifikasi," ujar Agustinus Suprianto.

Dari kasus tersebut, kata dia lagi, penyidik tipikor menyita barang bukti berupa dokumen DIPA pada Kantor UPP Mamuju, dokumen kontrak, administrasi pencairan dana/SPM dan SP2D, dokumen kapal yang dioperasionalkan serta dokumen lain terkait pelaksanaan kontrak.

Barang bukti lain, katanya lagi, uang tunai senilai Rp1 miliar yang disita dari penyedia serta bukti penyetoran ke kas negara senilai Rp348,3 juta.

Kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 subsider Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman pidana maksimal penjara seumur hidup atau paling sedikit 4 tahun.
Baca juga: Perairan Selat Makassar layak jadi tol laut

Pewarta: Amirullah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021